Minggu, 17 Januari 2016

Gerakan Percepatan Tanam

Gerakan Percepatan Tanam

Toto Subandriyo  ;   Pengamat Ekonomi Pertanian;
Lulusan IPB dan Pascasarjana Unsoed
                                                       KOMPAS, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Meski saat ini kita telah berada di awal 2016, curah hujan di beberapa daerah masih sangat kecil sehingga para petani belum melakukan ritual tanam padi. Fenomena El Nino telah mengakibatkan kemarau berkepanjangan sehingga aktivitas pertanaman padi di sejumlah wilayah terpaksa mundur beberapa bulan.

Menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, awal musim hujan 2015/2016 mulai November 2015 terjadi di 139 zona musim atau 40,6 persen, dan mulai Desember 2015 sebanyak 103 zona musim (30,1 persen). Dibandingkan rata- rata 30 tahun (1981-2010), awal musim hujan 2015/2016 sebagian besar (74,9 persen) mundur.

Negara kita sebenarnya sudah berkali-kali mengalami bencana kekeringan yang dipicu fenomena El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini dan akurat terhadap fenomena tersebut sangat lemah. Akurasi ramalan baru diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti inilah yang membuat langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan selalu terlambat.

Antisipasi pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto saat negara ini dilanda bencana kekeringan pada 1997/1998 sangat terlambat. Kegagalan panen ratusan ribu hektar tanaman padi mengakibatkan krisis beras yang parah. Kondisi krisis beras itu kemudian menjadi bola liar yang memicu gejolak sosial di masyarakat.

Rekor jumlah impor beras lebih dari 5 juta ton yang belakangan dilakukan pemerintah juga tidak mampu menyelamatkan keadaan. Kondisi itu diperparah oleh krisis ekonomi dunia yang mulai menyapa. Angka inflasi tak terkendali bahkan menggila. Kerusuhan sosial pecah di mana-mana, termasuk di pusat pemerintahan. Ibu kota Jakarta lumpuh karena kerusuhan sosial dan penjarahan.

Pemerintahan Orde Baru harus membayar mahal atas keterlambatan antisipasi tersebut. Sejarah pun mencatat, rezim yang sangat berkuasa selama 32 tahun itu tumbang secara tragis.

Fenomena gerontokrasi

Kegagalan panen puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar tanaman pangan serta mundurnya waktu tanam akibat bencana kekeringan yang berkepanjangan harus segera disikapi pemerintah. Bayang-bayang krisis beras telah mengancam di depan mata. Oleh karena itu, produksi pangan yang hilang tersebut harus segera dikompensasi melalui rekayasa sosial percepatan tanam secara nasional.

Pemerintah harus segera membentuk dan menggerakkan satuan tugas (satgas) percepatan tanam dari tingkat pusat hingga desa. Tugas satgas tersebut adalah merencanakan dan mengorganisasikan pelaksanaan percepatan tanam di semua lini.

Banyak permasalahan yang harus segera dipecahkan untukpelaksanaan percepatan tanam ini. Pertama, kurangnya tenaga kerja. Keluhan yang banyak dilontarkan oleh kelompok tani pada saat rapat koordinasi Dewan Ketahanan Pangan beberapa tahun terakhir adalah kurangnya tenaga kerja. Telah terjadi fenomena gerontokrasi di sektor pertanian, di mana komposisi ketenagakerjaan didominasi oleh kaum tua yang tidak produktif. Para pemudanya banyak yang meninggalkan desa untuk mengadu nasib di kota.

Ketika lahan sawah mereka sudah siap untuk diolah, mereka kesulitan mencari tenaga pengolah tanah. Ketika sawah mereka telah siap untuk ditanami, mereka kesulitan untuk memperoleh tenaga tanam. Untuk mengatasi permasalahan ini, mau tidak mau, suka tidak suka, program mekanisasi harus segera dimasyarakatkan.

Pemerintah harus menyediakan dan memobilisasi alat mesin pertanian untuk pengolahan tanah dan tanam, seperti pompa air, traktor tangan, dan mesin tanam (transplanter). Alat mesin pertanian ini harus disesuaikan dengan spesifik lokasi, karena selama ini banyak alat mesin tanam bantuan pemerintah pusat tidak sesuai dengan karakteristik lokasi, akhirnya alat tersebut banyak yang mangkrak.

Kedua, ketersediaan sarana produksi. Program percepatan tanam serentak ini membutuhkan penyediaan sarana produksi, seperti benih, pupuk, dan obat- obatan, dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi dan tepat waktu. Untuk benih, selain dipilih varietas yang tahan hama dan penyakit, juga harus berumur genjah. Hal ini dimaksudkan agar umur panen bisa dipersingkat untuk mengejar tanam musim gadu.

Permasalahan administratif yang selalu menjadi kendala dalam pendistribusian pupuk bersubsidi harus segera dituntaskan. Pengalaman empiris tahun-tahun sebelumnya, pergantian tahun anggaran membuat distribusi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tidak bisa tepat waktu. Hal itu disebabkan karena peraturan menteri terkait dan peraturan gubernur/bupati/wali kota terlambat diterbitkan.

Di sisi lain peraturan tersebut digunakan sebagai dasar penentuan alokasi masing-masing kelompok tani yang dituangkan dalam rencana definitif kebutuhan kelompok. Selain itu, peraturan tersebut juga menjadi dasar bagi para petugas lapangan untuk melakukan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi. Keterlambatan terbit peraturan tersebut di satu lini akan memengaruhi proses di lini bawahnya.

Ketiga, manajemen air irigasi. Terbatasnya volume air irigasi di awal musim hujan jadi kendala dalam pengolahan dan penanaman. Oleh karena itu, diperlukan sistem irigasi yang merata dan berkeadilan. Perlu dilakukan mobilisasi pompa air antardaerah dan antarpetak irigasi dengan mengaktifkan peran dari Gabungan Kelompok Tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air /Dharma Tirta.

Asuransi pertanian

Keempat, perlu diwaspadai adanya ledakan organisme pengganggu tanaman. Perilaku iklim seperti sekarang ini sangat berpotensi memicu eksplosi serangan hama penyakit tanaman tertentu, utamanya wereng batang coklat, penggerek batang padi, serta tikus. Untuk itu, pemerintah daerah perlu membentuk dan mengaktifkan kembali peran brigade proteksi tanaman di semua lini.

Kelima, penyebaran informasi prakiraan iklim. Hal ini penting dilakukan agar daerah melakukan berbagai antisipasi jauh hari sebelum terjadinya bencana. Misalnya melakukan pemetaan wilayah rawan kering dan banjir, serta penguatan sistem kelembagaan petani dalam hal antisipasiiklim yang menyimpang.

Akhirnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, para petani harus mendapatkan perlindungan dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Permasalahan tersebut antara lain kesulitan memperoleh sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha,risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, serta perubahan iklim. Untuk itu, sudah waktunya para petani mendapatkan perlindungan dalam bentuk asuransi pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar