Dana
Ketahanan Energi
Aris Prasetyo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
05 Januari 2016
Kebijakan pejabat
pemerintah selalu menarik dibicarakan. Di pengujung 2015, pungutan dana
ketahanan energi menjadi topik hangat. Menurut rencana, dana itu diambil Rp
200 per liter dari penjualan premium dan Rp 300 per liter dari penjualan
solar, mulai Selasa (5/1) ini.
Seorang rekan
mengomentari, kebijakan itu mirip kisah Robin Hood, legenda dari Inggris Raya
yang merampok orang-orang kaya korup. Kemudian, hasil rampokan dibagikan
kepada orang-orang miskin. Tujuannya mulia, tetapi caranya tidak patut.
Dana ketahanan energi,
demikian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyebut
dana itu, memiliki tujuan baik. Dana itu untuk pendanaan eksplorasi minyak
dan gas bumi, pengembangan energi terbarukan, termasuk pengembangan sumber
daya manusia dan infrastruktur energi. Hanya sejumlah kalangan menilai dasar
hukum dana ketahanan energi itu kurang pas.
Pemerintah merujuk
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pada Bab VIII Pasal 29 dan
30 tertulis, pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi
terbarukan dibiayai dari pendapatan negara dari energi tak terbarukan.
Turunan UU tersebut
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional. Pemerintah merujuk Pasal 27 yang menyebutkan, penerapan premi
pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi. Tak ada penjelasan lebih
jauh mengenai tata cara pungutan, penyimpanan, ataupun peruntukan di bab
penjelasan Pasal 27, kecuali tertulis cukup jelas.
Suara kritis atas
kebijakan itu menyebutkan, dana ketahanan energi ibarat "pungutan"
dari rakyat yang sudah dikenai pajak setiap membeli bahan bakar minyak (BBM).
Pajak ini adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 5 persen dan
pajak pertambahan nilai 10 persen di setiap liter BBM. Ada juga yang
berpendapat, jika pemerintah tak menerapkan pungutan, harga BBM menjadi lebih
murah.
Setelah mendapat
masukan dari berbagai pihak, pemerintah akhirnya menunda rencana pungutan
dana ketahanan energi itu. Pemerintah berjanji akan memperbaiki landasan
hukum dan membicarakan lebih dulu soal dana ketahanan energi ini dengan wakil
rakyat di DPR. Artinya, rencana pungutan atau penghimpunan dana ketahanan energi-kalau
namanya tak berubah-tetap akan ada dengan dasar hukum yang lebih jelas, tidak
abu-abu.
Jika kita kembali pada
semangat penghimpunan dana tersebut, rasanya tak ada yang buruk. Dana itu
untuk pengembangan energi terbarukan, sumber daya manusia, termasuk
pembiayaan eksplorasi migas yang kian hari cadangannya kian susut. Apalagi
persetujuan penghimpunan dana itu sudah ada dalam UU. Dengan demikian,
rencana itu sudah melalui serangkaian proses dari pemerintah dan wakil
rakyat.
Ingat, dalam energi
fosil yang terus kita bakar hingga hari ini, ada hak di dalamnya untuk
generasi mendatang. Apa yang akan diwariskan untuk generasi mendatang, kalau
bukan energi terbarukan-sebagai energi masa depan-atau cadangan baru energi
fosil-jika masih ada-yang pencariannya dibiayai dari dana itu? Rasa-rasanya
tak ada yang buruk dilihat dari niat ataupun tujuan pemakaian dana ketahanan
energi tersebut.
Ini pelajaran penting
bagi pemerintah. Sesuatu yang niatnya baik dan mulia, tetap harus dilakukan
dengan cara yang sesuai koridor. Patut dan elegan. Apabila tidak, akan timbul
banyak kegaduhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar