Revisi
Aturan Pemekaran
Arie Ruhyanto ; Pengajar di Jurusan Politik Pemerintahan
Fisipol UGM
|
KOMPAS,
05 Januari 2016
Salah satu produk
hukum paling ditunggu-tunggu sebagai konsekuensi perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah
peraturan pemerintah terkait pemekaran daerah.
Hingga tulisan ini
dibuat, Kementerian Dalam Negeri masih terus membahas draf pengganti
Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2007. Peraturan pemerintah yang baru itu
nanti sebagai acuan menentukan kelanjutan lebih dari 200 usul pembentukan
daerah baru (Kompas, 11/7/2015).
Revisi PP No 78/2007
perlu mendapat perhatian serius, terutama mengingat tingginya kontroversi
kebijakan pemekaran di tengah derasnya tuntutan pembentukan daerah baru.
Kontroversi itu setidaknya berlangsung dalam dua nalar analisis: nalar
efisiensi dan nalar pemerataan.
Nalar efisiensi
meyakini sejauh ini pemekaran daerah lebih banyak menciptakan soal ketimbang
membawa manfaat. Pemekaran dipandang hanya membebani anggaran negara, sarat
politik transaksi, melahirkan birokrasi tambun, dan menciptakan lahan subur
bagi korupsi serta berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. Karena itu,
pemekaran harus dibekukan atau minimal diperketat syaratnya.
Sementara itu, nalar
pemerataan meyakini bahwa pemekaran merupakan upaya tepat mempercepat
pemerataan pembangunan. Hanya dengan pemekaran, pembangunan dapat menjangkau
masyarakat yang selama ini tak tersentuh karena anggaran yang dimiliki daerah
induk tak memadai.
Argumentasi ini
didukung pula oleh kenyataan bahwa banyak daerah dengan wilayah sangat luas,
tetapi akses sangat terbatas. Karena itu, pemekaran merupakan solusi yang
patut diperhitungkan sekaligus menunjukkan respons negara atas aspirasi
warganya.
Terlepas dari argumen
mana paling benar, setidaknya saat ini keduanya sepakat bahwa desain
kebijakan pemekaran perlu diperbaiki. Lantas pelajaran apa yang dapat kita
petik dari ratusan praktik pemekaran dalam kurun 1999-2012 untuk memperbaiki
desain pemekaran ke depan?
Negara-bangsa
Tiga pelajaran
mendasar dapat kita petik dari desain dan praktik kebijakan pemekaran
sebelumnya. Pertama, pemekaran dilakukan sejalan dengan pandangan bahwa
proses state building dapat dipisahkan dari nation building. Perspektif ini
dipengaruhi konsep bahwa negara atau birokrasi adalah institusi steril
dinamika sosial masyarakat (Weber, 1948).
Akibatnya, instalasi
institusi pemerintahan baru cenderung mengabaikan keragaman konteks lokal.
Seluruh syarat, tahap, dan instrumen evaluasi pemekaran pun diterapkan
seragam. Padahal, tuntutan pemekaran amat mungkin berangkat dari argumentasi
dan konteks berbeda.
Kedua, cara pandang di
atas menyebabkan pemekaran terjebak dalam logika sempit pembentukan
pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya desain pemekaran
didominasi oleh faktor fisik dan institusional.
Syarat pemekaran,
misalnya, sebatas menekankan pada dimensi fisik kewilayahan, aspek teknis,
dan administratif, seperti jumlah penduduk, luas wilayah, persetujuan DPRD
dan bupati, serta ketersediaan fasilitas publik, seperti sekolah, puskesmas,
bank, dan pasar.
Faktor krusial,
seperti kohesivitas sosial, nilai kolektif; berbagai konsensus sosial dan
yang telah eksis sebelumnya, serta gagasan berpemerintahan yang ada dalam memori
kolektif masyarakat hampir tidak pernah menjadi bahan pertimbangan.
Ketiga, penekanan
aspek institusi dalam pemekaran juga berdampak pada sempitnya cara pandang
dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah daerah pemekaran.
Keberhasilan atau kegagalan pemekaran semata-mata dikaitkan dengan kemampuan
pemerintahan baru dalam menggenjot pendapatan asli daerah untuk membiayai
penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam alur pikir ini,
ukuran keberhasilan suatu daerah ditentukan indikator fiskal, seperti
kontribusi pendapatan asli daerah dan daya serap APBD, serta indikator fisik,
seperti panjang jalan, jumlah sekolah, jumlah pertokoan, jumlah pasar, jumlah
bank, dan jumlah perkantoran yang terbangun.
Apakah semua itu
serta-merta meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat? Mempererat
ikatan kebangsaan? Memperkuat rekatan sosial masyarakat? Di banyak tempat,
peningkatan indikator capaian pembangunan yang disebutkan itu ternyata
berbanding lurus dengan meningkatnya sentimen primordial berbasis suku
ataupun agama.
Seiring dengan kian
lebarnya kesenjangan ekonomi dan kian vulgarnya kontestasi politik, sentimen
itu mudah tersulut dalam konflik kekerasan. Kasus kekerasan yang terjadi di
Tolikara, Ilaga, Maybrat, Halmahera Utara, Tidore, dan Polewali adalah
sebagian contoh.
Mengawal transisi
Berkaca dari praktik
pemekaran di negeri ini, perlu dirumuskan desain pemekaran yang lebih
kontekstual. Tidak semata-mata berorientasi menghadirkan negara yang hanya
menekankan pada keefektifan dan kinerja ekonomi dan pelayanan publik, tetapi
juga rekatan sosial yang didasarkan pada rekognisi dan fasilitas atas tatanan
lokal tanpa terjebak pada romantisasi tradisi masa lalu.
Untuk itu, syarat dan
transisi pemekaran, selain memastikan kesiapan menjalankan pemerintahan dan
pelayanan, juga harus memastikan negara mampu merajut harmoni sosial dan
beradaptasi dengan nilai yang telah berakar di masyarakat.
Konsensus masyarakat
terkait hal mendasar mutlak diperlukan sebelum daerah pemekaran dilakukan.
Misalnya, terkait dengan sistem peradilan, ruang partisipasi masyarakat,
pengelolaan sumber daya, dan yang berimplikasi politis, seperti penentuan
lokasi ibu kota dan pola pengisian jabatan.
Dengan kata lain,
periode transisi yang harus dilalui calon daerah otonom baru bukan hanya
mempersiapkan infrastruktur fisik pemerintahan dan pelayanan publik,
melainkan juga mempersiapkan masyarakat beradaptasi dengan norma dan situasi
baru seiring dengan hadirnya negara. Maka, pemekaran sekaligus dapat jadi
langkah konkret merajut kebinekaan dan memperkuat keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar