Perikanan
2016: Dekonstruksi atau Rekonstruksi?
Arif Satria
; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Anggota Dewan Kelautan Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 05 Januari 2016
Setahun sudah
pemerintah Presiden Joko Widodo menggebrak sektor kelautan dan perikanan.
Pro-kontra menyertai langkah Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan
Perikanan yang diawali dengan penerbitan Peraturan Menteri Nomor 56/2014 dan
57/2014, yang masing-masing mengatur tentang moratorium izin kapal eks asing
dan pelarangan alih muatan (transshipment). Setelah itu, muncul Peraturan
Menteri Nomor 1/2015 dan 2/2015 tentang pelarangan pukat hela dan pukat
karena keduanya merupakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Belum
reda hiruk-pikuk yang menyertai kebijakan tersebut, muncul kebijakan
menaikkan pungutan hasil perikanan sebanyak 25 persen dari sebelumnya hanya
2,5 persen. Bagaimana kita melihat fenomena 2015 ini serta prospek kelautan
dan perikanan pada 2016?
Apa yang dilakukan
Susi sebenarnya merupakan implementasi program Jokowi dalam kampanye. Betapa
Jokowi geram terhadap praktek illegal, unreported, and unregulated fishing
(IUU-F). Peraturan Menteri 56/2014 diikuti dengan langkah evaluasi terhadap
1.132 kapal eks asing yang diduga berpotensi melakukan kegiatan IUU-F.
Ternyata mereka seratus persen terbukti melakukan pelanggaran—baik ringan
maupun berat, baik bersifat administratif maupun tindak kejahatan—seperti
menggunakan kapten dan anak buah kapal asing (67 persen), melakukan alih
muatan ilegal (37 persen), mematikan sistem pemantauan kapal perikanan (VMS)
(73 persen), mengekspor tanpa dokumen (37 persen), melakukan perdagangan
manusia dan perbudakan (10 persen), dan bertransaksi bahan bakar minyak
ilegal (23 persen). Sanksi yang dijatuhkan bervariasi, dari sanksi administratif
hingga pidana. Bahkan ada pula kapal yang ditenggelamkan, yang selama setahun
mencapai 107 kapal.
Hampir setahun 1.132
kapal tidak beroperasi. Hal ini tentu menimbulkan gejolak di kalangan
pengusaha. Namun kebijakan itu membawa berkah bagi kapal-kapal dalam negeri
baik skala kecil maupun menengah yang beroperasi di wilayah yang dulu
merupakan tempat beroperasi kapal asing atau eks asing. Produktivitas mereka
cenderung meningkat. Misalnya di
Sorong terjadi peningkatan hingga 56,5 persen, di Ambon 48,1 persen, di
Bintan 35 persen, dan di Bitung 6,6 persen.
Adapun pelarangan
pukat sebenarnya merupakan penegasan Keputusan Presiden Nomor 39/1980 tentang
pelarangan pukat harimau yang hingga saat ini belum dicabut. Hanya, kini
pukat tersebut mengalami serangkaian modifikasi. Sebenarnya di Jawa Tengah
sudah ada komitmen untuk menghentikan praktek itu, tapi yang terjadi malah
peningkatan jumlah dan bahkan manipulasi ukuran kapal (mark-down) untuk menghindari pengurusan izin di pemerintah pusat.
Saat ini Ombudsman meminta ada masa transisi dua tahun, sehingga ada
kesempatan bagi pemilik alat tangkap tersebut untuk beralih ke alat tangkap
lain.
Berbagai kebijakan
tersebut bisa dikatakan sebagai kebijakan dekonstruksi, yang bersifat
"rem" dan merupakan langkah tegas untuk mewujudkan kedaulatan
bangsa serta keberlanjutan sumber daya. Kejutan ini penting untuk
menanggulangi isu IUU-F yang seolah-olah sulit diatasi. Apa yang dilakukan
Susi merupakan pilihan politik untuk memulai era baru perikanan dan kelautan.
Bagaimana gambaran
kebijakan dan program 2016? Tampaknya paket "rem" itu sudah cukup.
Kini pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan rekonstruksi yang bersifat
"gas". Ini penting untuk meningkatkan peran sektor perikanan dalam
pembangunan ekonomi. Ada sejumlah langkah langsung yang penting dilakukan
pemerintah sebagai upaya rekonstruksi.
Pertama, perbaikan
tata kelola perikanan, dari penyempurnaan sistem perizinan perikanan yang
kondusif hingga pengawasan terpadu yang efektif. Kedua, modernisasi perikanan
dengan peningkatan kapasitas armada perikanan yang selama ini didominasi
nelayan tradisional yang bersifat harian (60-93 persen). Juga perlu ada
teknologi pendukung karena selama ini hanya 0,04-15 persen nelayan yang
menggunakan alat tersebut.
Ketiga, pengembangan
sentra perikanan yang mengintegrasikan hulu-hilir dengan penguatan sistem
logistik ikan dan sistem rantai dingin terpadu. Di sinilah infrastruktur di
daerah-daerah harus diperkuat, sehingga makin terbuka akses nelayan ke air
bersih, listrik, bahan bakar, dan pasar. Peningkatan konektivitas wilayah
timur dan barat pun diperlukan untuk menjamin pasokan ikan baik untuk pasar
konsumsi maupun industri dengan harga yang kompetitif.
Keempat, skema
pembiayaan perikanan berkelanjutan perlu didorong sehingga dunia perbankan
atau lembaga pembiayaan menjadi bagian tak terpisahkan dari pendekatan
perikanan berkelanjutan. Alokasi kredit perikanan hingga 2014 hanya 0,29
persen. Langkah awal bisa diterapkan bagi pembiayaan usaha nelayan eks
cantrang sehingga bisa kembali melaut dengan alat tangkap yang lebih baik.
Juga untuk nelayan lain guna mengisi "kekosongan" wilayah perairan
Arafura dan Laut Cina Selatan yang ditinggalkan kapal-kapal asing.
Kelima, perikanan budi
daya harus didorong seiring dengan menurunnya stok ikan dunia. Namun
peningkatan produksi perikanan budi daya harus diiringi dengan pengembangan
industri pengolahan demi peningkatan nilai tambah khususnya rumput laut yang
produksinya sangat melimpah. Begitu pula gagasan Susi tentang kemandirian pakan
yang perlu diterjemahkan ke dalam peta jalan pengembangan industri pakan
secara sistematis dan terukur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar