Konstruksi Sosial Pemimpin
Ignas Kleden ; Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi (KID)
|
KOMPAS,
29 Oktober 2015
Sudah menjadi tradisi baru dalam politik Indonesia, bahwa
presiden terpilih dievaluasi dari waktu ke waktu, khususnya pada tahun
pertama pemerintahannya. Hal yang sama berlaku juga untuk para menteri
kabinet. Pada 100 hari pertama dievaluasi apa yang sudah tercapai, sejauh
mana janji-janji kampanye direalisasikan, dan apa yang belum terwujud atau
belum mendapat perhatian pemerintah. Seterusnya ada penilaian kembali pada
setiap kuartal, yang didukung oleh hasil survei lembaga-lembaga penelitian.
Pada hari-hari ini perhatian publik terpusat pada apa yang sudah
atau belum tercapai dalam satu tahun pemerintahan Joko Widodo bersama
kabinetnya.
Kesimpulan umum dari berbagai evaluasi menyatakan bahwa dalam
bidang politik konsolidasi dan stabilitas politik berjalan aman, sedangkan
ekonomi memperlihatkan banyak kesulitan akibat menurunnya angka pertumbuhan,
meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan naiknya angka pengangguran sebagai
konsekuensinya. Data yang dimuat Kompas, misalnya, memperlihatkan bahwa dalam
kuartal pertama dan kedua 2015, laju pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen
dan 4,67 persen. Angka-angka itu berada jauh di bawah laju pertumbuhan yang
ditetapkan dalam APBN, yaitu 5,7 persen. Sementara itu, pengangguran terbuka
telah menimpa 7,45 juta orang pada Februari 2015 (Kompas, 20/10).
Politik dan ekonomi selalu berhubungan erat. Asumsi tentang
pentingnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagai prasyarat bagi
stabilitas politik, masih dianut oleh para eksekutif tinggi, seperti Wakil
Presiden Jusuf Kalla, misalnya. Anggapan ini berbeda dari anggapan yang
dianut dalam pemerintahan Presiden Soeharto, karena pada masa itu politik
yang stabil dianggap jaminan bagi pertumbuhan ekonomi yang tak terganggu.
Jadi, bukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menjadi jaminan bagi
stabilitas politik, melainkan sebaliknya, stabilitas politiklah yang menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi, sedangkan stabilitas politik dianggap
dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik sendiri, seperti
penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya
oposisi politik, penerapan asas kebebasan yang bertanggung jawab bagi pers
serta penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan.
Kinerja tahun
pertama
Dalam masa pemerintahan Jokowi, pengaruh politik terhadap
ekonomi, khususnya ekonomi uang menjadi lebih langsung, karena turun-naiknya
nilai saham dan ada-tidaknya investasi ditentukan secara langsung oleh
persepsi tentang keadaan politik, yaitu oleh tanggapan pasar. Kalau pasar
merasa bahwa kepastian hukum dalam politik amat goyah, atau pemerintah
sendiri tidak berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis, atau tidak
menunjukkan komitmen yang bisa dipegang terhadap apa yang diputuskannya, maka
para investor akan ragu dan mungkin menarik diri, dan enggan melakukan
investasi, sementara nilai saham turun dengan cepat. Sebaliknya, keyakinan
bahwa Pemerintah Indonesia kuat dan dapat menguasai keadaan kritis, akan
menaikkan segera nilai saham, dan memberi dorongan pada investor untuk mulai
melakukan investasi. Dalam ekonomi uang, perilaku ekonomi ditentukan
persepsi.
Namun demikian, turunnya angka pertumbuhan dalam kuartal akhir
pemerintahan Jokowi, tidak semata-mata disebabkan oleh kebijakan ekonomi
pemerintah, tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi global, khususnya
setelah Tiongkok melakukan devaluasi mata uangnya, yang memukul ekonomi banyak
negara. Rupiah segera melemah terhadap dollar AS dan mencapai titik terendah
pada 29 September ketika 1 dollar AS bernilai sama dengan Rp 14.726 meskipun
pada saat ini rupiah semakin menguat menjadi kurang-lebih Rp 13.000 per
dollar AS.
Dalam pada itu muncul perdebatan semantik antara Presiden Jokowi
dan para pengritiknya, apakah ini suatu krisis dalam ekonomi Indonesia atau
suatu pelambatan saja. Seperti kita tahu, hingga saat ini pun Presiden tetap
menolak bahwa ada krisis. Rupiah selamat dari ancaman yang lebih besar,
seperti pada 1998, ketika nilai rupiah jatuh ke jurang terdalam menjadi Rp
15.250 per dollar AS pada 17 Juni 1998 (Kompas,
21/10/1998).
Kesulitan ekonomi yang dihadapi menjadi sasaran kritik utama
atas prestasi pemerintahan Jokowi. Kritik mungkin masih berdatangan, tetapi
yang lebih penting adalah sikap pemerintah menghadapi berbagai kritik itu.
Dalam wawancara dengan sebuah stasiun TV di Jakarta pada 19 Oktober, Presiden
Jokowi berkata: "Memang tugas
rakyat menilai kinerja kabinet, kinerja pemerintah. Tugas kami
memperbaiki". Presiden menyadari bahwa beberapa kebijakannya seperti
mencabut subsidi BBM bukanlah kebijakan yang populer dan menyenangkan, meski
pun harus dilakukan. Apalagi tujuan terjauh yang hendak dicapai adalah
mengubah fundamental ekonomi Indonesia, dari ekonomi yang mengandalkan
konsumsi ke ekonomi berbasis produksi dan investasi.
Selain masalah ekonomi-politik, ada juga berbagai masalah
sosial-politik yang belum seluruhnya diselesaikan secara memuaskan. Masalah
sosial ini pada intinya bersinggungan dengan hubungan demokratis dalam
kehidupan sehari-hari. Selama Orde Baru masalah sosial lebih berat ke
sosial-politik dengan jalur vertikal, antara masyarakat dan negara, yaitu
antara rakyat dan pemerintah. Pembatasan partisipasi politik selama Orde
Baru, menyebabkan rakyat tidak dapat mengembangkan dirinya, karena kebebasan
mereka banyak dibatasi, sementara berbagai ekspresi politik yang tidak
sejalan dengan keinginan penguasa dihadapi secara represif. Dalam
pemerintahan setelah Reformasi 1998, dan khususnya dalam pemerintahan
Presiden Jokowi, masalah sosial-politik itu berubah sifat menjadi masalah
sosial-budaya dengan jalur horizontal, yaitu hubungan antara
kelompok-kelompok masyarakat, baik kelompok etnis maupun kelompok agama.
Hubungan antar-etnik kadang kala meruncing di daerah, bersamaan
dengan penerapan pilkada secara langsung, meski pun diberlakukannya otonomi
daerah sejak 2001 yang dilaksanakan tidak selalu secara bijaksana, cenderung
meningkatkan provinsialisme. Ryaas Rasyid, yang ketika menjadi menteri
kabinet menggagas dan memberlakukan otonomi daerah, mengatakan dalam sebuah
diskusi pada 16 Oktober lalu, bahwa pemilihan presiden hampir tidak mempunyai
implikasi dalam hubungan antarkelompok.
Presiden terpilih segera dilantik, dan calon yang kalah, meski
pun melakukan protes, akan bekerja seperti biasa tanpa beban rasa malu yang
berlebihan. Tetapi, seorang calon bupati di daerah yang kalah dalam pilkada,
akan kehilangan muka kalau berhadapan dengan para pendukung atau lawan
politiknya. Masalah politikpilkada mudah sekali menjelma menjadi ketegangan
dalam hubungan keluarga, hubungan kekerabatan, dan hubungan antarkelompok
karena orang-orang saling mengenal secara pribadi, dan belum terbiasa melihat
masalah politik sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan pribadi.
Kekalahan politik masih dipandang aib pribadi atau kelompok.
Selain itu hubungan antarkelompok agama juga mengandung
sensitivitas yang dapat menimbulkan konflik dan kekerasan. Selain
faktor-faktor luar yang menyulut konflik, ada sesuatu dalam watak agama-agama
itu sendiri yang potensial menimbulkan ketegangan, meski pun tiap agama
melarang permusuhan dan kekerasan. Di satu pihak agama dapat dihayati sebagai
jalan bagi tiap orang untuk mencapai kesempurnaan hidup, sementara di pihak
lain agama juga berfungsi sebagai identitas suatu kelompok sosial. Sebagai
jalan kepada kesempurnaan yang dapat dicapai oleh tiap orang dengan
metode-metode tertentu, kegiatan seseorang dalam agamanya dapat berpuncak
pada kontemplasi dan kehidupan mistik.
Agama benar-benar menjadi urusan pribadi. Sebaliknya, sebagai
atribut identitas suatu kelompok, agama terlibat dalam pergolakan sosial,
berupa persaingan suatu kelompok dengan kelompok lain. Apalagi pada masa
sekarang semakin menguat identity politics, yang mengandung dua tema utama,
yaitu perjuangan politik untuk mendapat pengakuan terhadap identitas suatu
kelompok, serta penonjolan identitas sebagai atribut representasi politik.
Kalau agama menjadi atribut identitas, dan identitas menjadi atribut
representasi politik, agama dapat mengalami politisasi dari waktu ke waktu.
Konflik vertikal antara masyarakat dan negara pada masa sekarang
berubah bentuk menjadi konflik antara ranah publik dan ranah privat dalam
administrasi pemerintahan. Korupsi yang masih merajalela adalah manifestasi
kekacauan hubungan privat dan publik dalam keuangan negara, karena dana-dana
publik yang dikuasai negara digunakan secara ilegal sebagai dana privat oleh
pejabat-pejabat negara. Demikian pun keputusan-keputusan yang bersifat publik
(yang menyangkut proyek-proyek yang dibiayai pemerintah) diusahakan
dimenangkan secara privat melalui uang-uang suap yang diberikan oleh kalangan
privat yang yang bermodal besar.
Sosok
kepemimpinan Jokowi
Kiranya jelas dari uraian di atas bahwa penilaian terhadap
prestasi seorang pemimpin seyogianya diimbangi dengan penilaian terhadap
perilaku masyarakat yang dipimpinnya. Tidak ada kebebasan pribadi dalam
masyarakat yang tidak bebas, dan tidak ada keadilan bagi seseorang dalam
masyarakat yang tidak adil, begitu dalil filosof Theodor Adorno dari mazhab
Frankfurt. Perjuangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membasmi korupsi
adalah usaha yang harus didukung sekuat tenaga oleh pemerintah dan masyarakat
Indonesia untuk menciptakan Indonesia sebagai negara dan masyarakat yang
relatif adil, agar terbuka kemungkinan bagi tiap warga negara untuk mendapat
keadilan di dalamnya. Pihak yang hendak memperlemah KPK dapat dianggap
sebagai injustice collaborators, yang bertujuan melestarikan ketidakadilan
dalam masyarakat, dan atas cara itu membuat keadilan untuk tiap warga negara
menjadi mustahil.
Pemerintahan Jokowi selama satu tahun belum memuaskan. Tetapi,
pertanyaan yang lebih penting adalah apakah sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, kita dapat mencatat usahanya untuk menjadi pemimpin yang
semakin hari semakin berkembang, semakin memahami tugasnya, dan berusaha
melaksanakannya? Pertanyaan ini menjadi konkret, kalau kita juga bertanya
apakah para pimpinan dan anggota DPR dalam setahun ini semakin berkembang
dalam tugas mereka, dan sudah melampaui tahapan sibuk sendiri dengan
urusannya masing-masing dan bukan dengan urusan rakyat yang mereka wakili?
Nawacita memang menjadi rujukan kritik dan penilaian. Tetapi,
Nawacita adalah kerangka kerja atau framework untuk jangka panjang dan bukan
untuk satu tahun kerja. Bahkan dalam lima tahun pemerintahan Jokowi pun
beberapa agenda Nawacita sangat mungkin belum dapat direalisasikan
seluruhnya. Lebih penting untuk dipertanyakan apakah sudah diambil
langkah-langkah untuk meletakkan landasan bagi realisasi agenda Nawacita
setahap demi setahap. Kemandirian ekonomi nasional, memang belum terwujud,
tetapi sudah terlihat kesadaran dan tekad untuk menggerakkan sektor-sektor
ekonomi domestik. Komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri, tidak perlu
diimpor. Kebiasaan mengimpor beras, kedelai, garam, dan gula dibatasi, dan
didorong inisiatif untuk memproduksinya di dalam negeri. Presiden merujuk
Badan Pusat Statistik bahwa produksi beras dalam negeri meningkat 5,5 juta
ton, tetapi susah diketahui di mana stoknya.
Kita teringat dalil Amartya Sen, pemenang Nobel untuk Ilmu
Ekonomi 1998, bahwa kelaparan tidak disebabkan oleh tidak adanya makanan,
tetapi karena makanan yang ada itu tidak bisa diakses oleh mereka yang
membutuhkan. Kelaparan diatasi dengan meningkatkan kemampuan mendatangkan
makanan melalui cara-cara yang dibenarkan hukum. Tugas pemerintah adalah
meningkatkan the ability to command
food through legal means available in the society.
Satu hal sulit diragukan, yaitu perhatian Jokowi ke
daerah-daerah, juga daerah di pinggiran. Mungkin baru sekali ini seorang
presiden Indonesia mengunjungi 220 daerah dalam waktu satu tahun, atau
rata-rata empat kali seminggu. Pembangunan jalan kereta api sudah direncanakan
tahun depan, sedangkan bendungan sudah dibangun pula di beberapa daerah.
Menggerakkan ekonomi dari pinggiran masih makan waktu, tetapi perhatian ke
daerah pinggiran sudah nyata. Pada titik itu, kesulitan masyarakat yang
ditanggapi dengan tindakan dan pengertian, akan membentuk sosok pemimpinnya
menurut dalil sosiologi bahwa pemimpin adalah konstruksi sosial masyarakat
yang dipimpinnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar