Kita Bisa Bersama
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 14 November 2015
Semboyan yang biasa
adalah “Bersama Kita Bisa” , yang mengumandang di masa pemerintahan Presiden
Yudhoyono. Sebagaimana biasanya, semboyan, atau motto, atau tagline, atau
“kata mutiara” yang menjadi pegangan bersama, tata nilai serta tata kramanya
menjadi ungkapan yang ampuh. “Bersama Kita Bisa” bahkan masih menjadi tema
yang diperjuangkan sebuah perusahaan besar dalam merayakan ulang tahun dan
diliput media massa.
Tak ada yang salah
dengan itu, dan semboyan tidak untuk disalahkan. Namun penekanannya bisa
menjadi beda, misalnya diubah menjadi “Kita Bisa Bersama”. Ini yang terlintas
dalam kelebatan peristiwa akhir-akhir ini. Semboyan “Kita Bisa Bersama”,
sangat diperlukan oleh misalnya Partai Golkar. Selama ini perselisihan dua
kubu menjadi berlarut-larut penuh carut. Menjelang Pilkada serentak sebentar
lagi, yang lebih diperlukan kebersamaan lebih dulu, sebelum bisa—bisa
memenangkan pilkada, atau kemenangan yang lain. Bagaimana “bisa” mendapatkan
sesuatu, kalau “bersama” saja belum mewujud.
Ini bukan hanya
terjadi dalam diri Partai Golkar, atau juga Partai Persatuan Pembangunan yang
berada dalam nasib “belum bersama”, melainkan juga berlaku pada organisasi
dan atau komunitas yang lain, termasuk kabinet dalam kabinet pemerintah saat
ini . Yang memerlukan kebersamaan lebih dulu, untuk menunjukkan
eksistensinya, menunjukkan keberadaannya. Baik dalam kaitan partai politik,
lembaga dan atau usaha bisnis. Bahkan kebersamaan harusnya juga sama
berharganya dengan keberhasilan. Bahwa kebersamaan menjadikan kuat, bukan
hanya karena hasil – yang kemudian dibagi bersama.
Mungkin agak
berlebihan, namun contoh di provinsi Sumatera Utara yang melibatkan pihak
eksekutif dan legislatif dan juga yudikatif yang terseret badai korupsi
adalah bentuk lain dari “bersama kita bisa”—bisa menyelesaikan dan menutupi
masalah korupsi. Dan nyaris demikian adanya, kalau kemudian Komisi
Pemberantasan Korupsi melakukan tangkap tangan. Dari sini, kotak “Pandora”
terbuka dan menganga memperlihatkan apa yang selama ini tersembunyi. Dan
masyarakat geram, marah, karena peri laku dan martabat para penguasa – juga
pengacara, yang rendah. Dan masih merasa tidak bersalah,merasa perlu lebih
gerah pada lawannya.
“Kita Bisa Bersama”,
menempatkan diri dari sudut pandang yang berbeda, dan dengan demikian
menghasilkan gambar yang berbeda pula. Demikian dulu sebagaian masyarakat
kita di Jawa dibesarkan dengan slogan jer basuki mawa bea. Yang artinya
segala sesuatu memerlukan beaya. Yang arti lain, dalam bahasa lain “tak ada
makan siang gratis” . Yang sebenarnya bisa ditekankan pada titik perlunya
usaha keras, perlunya penyediaan beaya, perlu perencanaan untuk dianggarkan
hal-hal yang kelihatannya bisa berlangsung dengan sendirinya. Dalam bentuk
lain kata yang sama bisa juga diartikan negatif.
Misalnya kata indah
itu diterjemahkan sebagai “uang rokok”, sebagai pembenaran adanya “upeti”,
atau istilah lain dengan nama gratifikasi, atau suap, yang dalam tatanan
hukum meletakkan dalam kaitan dan bukti korupsi.
“Kita Bisa Bersama”,
lebih mementingkan kebersamaan, lebih menuntut lapang dada, berpikir lebih
panjang dari batang hidung, sehingga “kebersamaan” menjadi kekuatan yang
menyatukan. Dan bukan mengejar “bisa” atau sukses, dan karenanya malah
membuat perpecahan, pertikaian, yang pada gilirannya tak menghasilkan
apa-apa. Kita hidup dengan slogan, termasuk menciptakan yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar