Hanacaraka
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 15 November 2015
Kata syahibul hikayat,
pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan di Pulau Jawa, yang bernama Medang
Kamulan. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raksasa jahat bernama Dewata
Cengkar, yang hobinya memangsa manusia rakyatnya sendiri yang dijadikannya
sate, dan jeroannya dijadikan soto babat. Pada suatu hari datanglah seorang
pemuda bernama Aji Saka yang hendak membunuh raja zalim dan thogut itu. Aji
Saka berasal dari Bumi Majeti yang dipercaya berlokasi di India.
Entah bagaimana
caranya (waktu itu belum ada Boeing 747), Aji Saka berhasil mendarat di tanah
Jawa dan langsung merapat ke Medang Kamulan. Aji Saka ini punya dua pengawal
setia (karena itulah sampai hari ini setiap presiden Indonesia dalam upacara-upacara
resmi selalu dijaga dua ajudan yang siap berdiri tegak di belakangnya) yang
bernama Dora dan Sembodo.
Ketika hendak
berangkat ke tanah Jawa, Aji Saka memerintahkan Dora (tidak ada hubungannya
dengan Doraemon, si kucing Jepang) untuk tetap berjaga di Bumi Majeti untuk
menunggui pusakanya yang sakti. Ia berpesan wanti-wanti kepada Dora bahwa
tidak ada satu orang pun boleh mengambil pusaka itu, kecuali dirinya sendiri.
Maka berangkatlah Aji Saka dengan dikawal oleh Sembodo.
Tercerita, terjadilah
perkelahian seru antara Aji Saka dan raja kanibal Dewata Cengkar. Walaupun
berdarah-darah, Aji Saka berhasil mendorong Dewata Cengkar ke laut dan naik
takhta menjadi Raja Medang Kamulan dengan gelar Prabu Aji Saka. Sayangnya
Dewata Cengkar tidak tewas walaupun tercebur ke laut, tetapi berubah menjadi
buaya putih, yang tak kalah ganasnya dan meneruskan hobinya memangsa manusia
penduduk Medang Kamulan.
Beruntung Prabu Aji
Saka dibantu oleh seekor ular raksasa yang berhasil membunuh buaya putih.
Setelah negara aman dan terkendali, Aji Saka teringat kepada pusakanya yang
ditinggalkan di Bumi Majeti. Maka dia pun segera mengutus Sembodo untuk
mengambil pusakanya di Bumi Majeti. Sesampai di Bumi Majeti, Dora tidak mau menyerahkan
pusaka itu kepada Sembodo, karena ia berpegang kepada perintah bos bahwa
tidak ada satu orang pun boleh mengambil pusaka itu, kecuali Aji Saka
sendiri.
Di lain pihak, Sembodo
juga ngotot , karena perintah bos adalah untuk mengambil pusaka itu. Maka berkelahilah
kedua pengawal setia itu. Suatu perkelahian yang lama dan sangat seru, karena
keduanya sama saktinya, tetapi akhirnya keduanya tewas karena sama-sama
membela tuannya yang satu. Prabu Aji Saka, setelah menunggu sekian lama,
merasa curiga mengapa Sembodo tidak datang-datang membawa pusaka yang ia
pesankan.
Maka ia pun menyusul
ke Bumi Majeti dan terkejut sekali ketika mengetahui bahwa keduanya sudah
tewas demi membela dirinya. Untuk mengabadikan kesetiaan kedua pengawalnya,
maka Prabu Aji Saka pun menciptakan sebuah puisi, yang kelak menjadi
cikal-bakal huruf Jawa, yang berbunyi sebagai berikut, ”Hana Caraka,
DataSawala, Padha Jayanya, Maga Batanga”, yang terjemahan bebasnya kira-kira
seperti ini, ”Dua Utusan, Saling Berselisih, Sama Saktinya, Inilah Mayatnya”.
Moral dari legenda di
atas adalah bahwa Prabu Aji Saka boleh sakti mandraguna, dan bisa mengalahkan
raja Dewata Cengkar yang jahat, namun dia teledor dengan perintah-perintahnya
sendiri. Akibatnya dua ajudannya tewas, karena sama-sama mempertahankan
perintah atasan.
Mungkin kalau di
zamannya Aji Saka sudah ada HP, tidak perlu Dora dan Sembodo tewas bersama.
Sebelum Sembodo berangkat Dora bisa di-SMS dulu tentang perubahan instruksi
itu, sehingga Dora siap melaksanakan perintah baru yang dititipkan pada
Sembodo. Sayang pada waktu itu teknologi belum secanggih itu, walaupun saya
juga masih bingung bagaimana caranya Aji Saka dan Sembodo, mondar-mandir Bumi
Majeti (di India)-Medang Kamulan (di Jawa) PP, seperti orang mondar-mandir
dari Blok M-Harmoni naik Bus Transjakarta saja.
Meskipun demikian,
tidak berarti bahwa di era teknologi informasi sekarang ini keteledoran (yang
sengaja maupun tidak sengaja) tidak terjadi lagi. Inkonsistensi di kalangan
para pemimpin justru lebih banyak terjadi di masa sekarang ini. Bukan
lantaran tidak adanya teknologi informasi, melainkan justru karena terlalu
banyaknya informasi yang masuk ke pada diri seorang pemimpin dan para anak
buah, sehingga sangat mungkin terjadi distorsi informasi.
Hasil-hasil berbagai
survei menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Presiden Jokowi naik-turun, namun
lebih banyak turunnya daripada naiknya, yang bukan semata-mata karena kinerja
atau integritas presiden yang buruk, tetapi karena memang tidak mudah
membereskan negara yang sudah diwarisi karut-marut ini dari rezim-rezim
pendahulunya dalam waktu sebentar.
Mereka yang tidak
sabar mulai kurang percaya, dan mulai berbagi ke teman-temannya di media
sosial. Media massa pun menumpang popularitas dengan menggelar aneka talk
show yang lebih banyak merupakan curahan isi hati dan dengki ketimbang
solusi. Belum lagi hoax yang bisa
dibuat oleh orang iseng di mana saja, yang kemudian diunggah ke media sosial,
dan langsung di-forward ke semua
netizen sehingga cepat beredar secara viral ke seluruh nusantara.
Tetapi juga tidak berarti
pemimpin jaman sekarang tidak teledor, bahkan banyak yang berpura-pura
teledor, membuat kesalahan yang seakan-akan tidak sengaja, padahal maksudnya
memang mau mengadu domba antar para pengikutnya. Maksudnya sudah jelas demi
kepentingan pribadi. Siapakah pemimpin-pemimpin yang dimaksud? Silakan
temukan sendiri. Saya yakin di sekitar anda banyak contohnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar