Anak Muda dan Radikalisme
Andi Rahman Alamsyah ; Pengajar di Departemen Sosiologi FISIP UI
|
KOMPAS,
04 November 2015
Dalam dua
dekade terakhir radikalisme agama menguat di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia, dengan ide utama kembali pada ajaran agama yang ”murni” sebagai
satu-satunya pijakan dalam seluruh aspek hidup.
Hal menarik adalah rata-rata
yang terlibat dalam gejala itu berusia muda, 17-40 tahun.
Pendekatan psikologi melihatnya
sebagai persoalan kejiwaan anak muda saat masa peralihan dari kanak-kanak menuju
dewasa, yang kerap memunculkan berbagai kegalauan. Ajaran agama radikal
menawarkan kepastian sebagai solusi mengatasi persoalan itu. Ada pula yang
berpendapat bahwa penyebabnya adalah pemahaman keagamaan radikal yang dipelajari
anak-anak muda dari berbagai sumber.
Perkembangan teknologi
informasi-komunikasi (TIK) yang amat pesat kian memudahkan mereka
mempelajarinya. Penjelasan lain menempatkan hal itu sebagai hasil dari
persentuhan anak-anak muda dengan kelompok radikal, yang dipermudah dengan
prasarana dan sarana transportasi yang relatif baik serta perkembangan TIK.
Ketiga hal itu memang
memengaruhi perkembangan radikalisme agama di kalangan anak muda, tetapi
tidak menentukan munculnya gejala itu. Faktor utamanya: industrialisasi-modernisasi
yang melahirkan kondisi sosial bagi terbentuknya prekariat.
Rentan terlibat
Menurut Standing (2011),
prekariat adalah mereka yang kerja dan hidupnya secara umum tak aman, tak
stabil, tak pasti sehingga psikologis pun cenderung diliputi marah, tanpa
pegangan hidup yang kukuh, terasing dari hidup, rentan terlibat dalam
organisasi atau aktivitas ekstremis.
Di Indonesia, ciri prekariat
ditemukan pada berbagai jenis pekerjaan, informal
maupun formal, yang
mengalami informalisasi (pekerja paruh waktu, alih daya, dan sebagainya).
Meski data yang pasti sulit diperoleh, tingginya persentase pekerja sektor
informal (53,6 persen) dan pekerja tak penuh (31,20 persen) mengindikasikan
besarnya jumlah prekariat. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia
berusia muda, termasuk para pekerjanya, dapat diduga sebagian besar prekariat
adalah anak-anak muda.
Anak muda prekariat itu produk
industrialisasi-modernisasi, khususnya era Orde Baru. Mereka relatif
berpendidikan, memiliki mobilitas dan jaringan sosial yang lumayan serta
tuntutan hidup dan mimpi tentang masa depan yang lebih tinggi daripada para
penganggur, pengemis.
Namun, jenis pekerjaan mereka,
yang terpaksa diambil karena terbatasnya lapangan kerja, tak memberi jaminan
memadai memenuhi berbagai tuntutan hidup, apalagi mewujudkan mimpi itu.
Bahkan, mereka bisa sesewaktu kehilangan pekerjaan atau memperoleh pendapatan
yang tak sesuai dengan yang diharapkan. Negara pun tak hadir untuk memberi
jaminan terhadap mereka. Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis
pada anak muda prekariat, khususnya rasa cemas karena ketidakpastian hidup
saat ini dan masa depan.
Dengan kondisi sosiologis dan
psikologis seperti itu, agama radikal lalu hadir sebagai jawaban. Ada
beberapa alasan mengapa hal ini dimungkinkan. Secara teologis, dengan
berpijak pada pemahaman yang hitam-putih atas teks kitab suci, ajaran radikal
memberi senjata pengetahuan tentang mengapa mereka berada dalam posisi saat
ini (tak menja- lankan agama yang ”murni”), solusi yang harus dilakukan
(tatanan yang sesuai dengan ajaran agama yang ”murni”), berbagai sikap dan
keterampilan hidup yang harus dimiliki mewujudkannya (komitmen yang tinggi
atas ajaran agama yang ”murni”, perang suci, dan sebagainya). Bahkan, saat
ajaran itu tak membawa sukses menurut paham awam, hal itu dianggap ”kegagalan
suci”, suatu komitmen tinggi dengan imbalan hidup yang lebih baik di alam
sana. Pemahaman hitam-putih seperti itu penting dan amat menarik bagi
anak-anak muda prekariat yang butuh kepastian.
Secara sosiologis, aktor yang
terlibat dalam radikalisme agama adalah mereka yang paling hadir dalam hidup
sehari-hari anak muda prekariat melalui berbagai aktivitas keagamaan, bantuan
sosial, jaringan bisnis kecil-kecilan, diskursus populis, bahasa yang mudah
dipahami. Kaum agamawan moderat sendiri lebih sibuk dengan politik elite,
bersikap elitis; politisi hanya muncul saat pemilu; aparat negara masih
bergulat dengan problem integritas, kompetensi, dan selalu repot dengan
urusan prosedur.
Radikalisme agama hanya dapat
diatasi dengan menata kembali industrialisasi modernisasi yang jadi lahan
subur bagi tumbuhnya anak muda prekariat. Tanpa penataan seperti itu,
radikalisme agama tetap jadi ancaman Indonesia kini dan nanti karena sebagian
besar penduduk Indonesia berusia muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar