Ada Apa dengan Pelindo II?
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik
LIPI, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 November 2015
PEMBENTUKAN Pansus Pelindo II DPR RI
menimbulkan pertanyaan mengenai apa sesungguhnya tujuan pembentukannya.
Seorang pakar hukum tata negara, Dr Refli Harun, menyebut kasus Pelindo II terlalu
kecil untuk dipansuskan. Pembentukan pansus memang hak anggota DPR, sebagai
bagian dari fungsi pengawasan dewan. Ini merupakan wujud dari fungsi
checksand-balances antara eksekutif dan legislatif. Namun, muncul pertanyaan,
apa sesungguhnya tujuan akhir dari pembentukan pansus tersebut?
Apabila tujuannya ialah menemukan miss-conduct atau penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, segalanya dapat
diselidiki dari berbagai data mengenai Pelindo II yang sesungguhnya ‘terang
benderang’. Jika RJ Lino diduga melakukan tindak pidana korupsi dan katanya
sudah ada tiga alat bukti yang cukup, baik yang terkait dengan pembelian
crane maupun peralatan lainnya, toh Bareskrim sudah mulai memanggil RJ Lino
untuk dimintai keterangan sejak Senin, 9 November lalu.
Jika RJ Lino dituduh memiliki kerja sama
bisnis dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau petinggi negeri lainnya terkait
dengan PT Pelindo II, mengapa tidak diaudit saja data proyek yang dimiliki PT
Pelindo II?
Kita patut bertanya, adakah motif ekonomi dan
politik dari pembentukan Pansus Pelindo II ini? Apakah DPR sedang membongkar
ketidakberesan yang terjadi di Pelindo II? Apakah ini hanya terkait dengan RJ
Lino, ataukah juga terkait dengan posisi Menteri BUMN Rini Soemarno?
Dengan kata lain, pansus ibarat sedang
melakukan ‘satu tepukan’ yang tujuannya agar Menteri BUMN Rini Soemarno dan
Direktur PT Pelindo II RJ Lino dicopot dari jabatan mereka. Atau, ada motif
lain terkait dengan pendanaan Pemilu 2019?
Terang benderang
Bila kita lihat Pelabuhan Tanjung Priok
sebelum dan sesudah RJ Lino menjadi Direktur Utama PT Pelindo II sejak 2010,
perbandingannya ibarat bumi dan langit. Dulu pelabuhan Tanjung Priok begitu
kumuh, alat-alatnya kuno, truk-truk berderet dalam kemacetan di dalam
pelabuhan, perusahaan-perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) begitu
banyak di dalam pelabuhan dan segala bongkar muat barang bergerak secara
lamban. Manajemen pelabuhan juga sangat kuno alias old fashion.
Kini, Tanjung Priok begitu bersih tak berdebu,
alat-alat crane-nya banyak dan baru, truk-truk keluar masuk pelabuhan secara
nyaman dan lancar, pungutan liar (pungli) dapat dikatakan hampir lenyap
seluruhnya, manajemennya juga modern. Jika pada 2009 kontainer yang bongkar
muat di Priok hanya 3,6 juta, kini sudah dua kali lipat menjadi 7,2 juta yang
berukuran 22 feet atau TEUs.
Bila dilihat dari gaji karyawan/buruh, mungkin
akan mencengangkan kita semua. Jika sebagian besar pekerja di DKI Jakarta
baru akan mendapatkan upah Rp3,1 juta pada 2016, di Pelabuhan Tanjung Priok
sudah mendapatkan Rp10 juta pada 2015! Mereka yang bekerja di Jakarta
International Container Terminal (JICT) memperoleh pendapatan bulanan lebih
mencengangkan lagi. Mereka yang berstatus manajer mendapat gaji dan berbagai
tunjangan mencapai Rp92.692.020.
Tak cuma itu, para manajer tersebut juga
mendapatkan berbagai tunjangan nontunai seperti BPJS plus yang mencapai
Rp6.529.111 sehingga total pendapatan bulanan menjadi Rp99.221.131. Mereka
yang pada posisi paling rendah mendapat gaji dan upah hampir dua kali lipat dari
gaji bulanan para menteri (gaji bulanan menteri Rp19.500.000)! Gaji dan
berbagai tunjangan mereka dalam bentuk tunai mencapai Rp33.743.242 ditambah
tunjangan nontunai yang mencapai Rp3.975.136 sehingga totalnya mencapai
Rp37.718.379.
Mengubah Pelabuhan Tanjung Priok dalam lima
tahun (2010-2015) dari kondisi lama ke kondisi saat ini bukanlah suatu hal
yang mudah. Seperti juga pelabuhan-pelabuhan di Indonesia lainnya, banyak
preman kecil dan preman besar berkerah putih yang hidup dan mendapatkan
keuntungan dari kesemrawutan manajemen pelabuhan di masa lalu. Mereka
tentunya menjadi pengganjal dari berbagai upaya Lino untuk mengubah wajah
Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pelabuhan modern dan bersih.
Soal dwelling time
PT Pelindo II sering dituduh sebagai penyebab
dari kelambatan bongkar muat barang di pelabuhan. Padahal, dwelling time bukanlah urusan
manajemen pelabuhan, melainkan panjangnya birokrasi yang harus dilalui dalam
penyelesaian dokumen, dari proses pemberitahuan impor barang (PIB) hingga
keluarnya surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) atau surat penyerahan
peti kemas (SP2) untuk delivery.
Sebuah surat PIB harus diproses lebih dari satu kementerian atau lembaga.
Sebagai contoh, surat masuk ke Kementerian
Perdagangan bisa mencapai 365 ribu per tahun yang berarti sekitar 1.000 surat
per hari. Belum lagi kalau itu terkait dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM), kepolisian, atau lembaga lain.
Di era Presiden Soeharto, pemerintah pernah
merumahkan puluhan pegawai Bea dan Cukai di seluruh Indonesia dan
menggantikannya dengan Societe Generale
de Surveillance (SGS) Swiss agar proses dwelling time berjalan lancar. Kini, Bea dan Cukai dapat
dikatakan sudah modern dan baik, tetapi proses di kementerian/lembaga lainnya
masih perlu dibenahi.
Proses pembelian 10 unit mobile crane juga
bisa diselidiki atau disidik apakah terjadi korupsi atau tidak. Menurut data
yang saya miliki, pelelangan pembelian mobile
crane mencapai Rp58,9 miliar dan setelah proses penilaian dan negosiasi
malah menjadi Rp45,6 miliar. Jika pembeliannya jauh lebih murah daripada
penawaran, apakah terjadi korupsi? Kalau pun ada tuduhan bahwa crane tersebut banyak tak berfungsi,
kita bisa membaca logbook penggunaan crane-crane
tersebut sejak dibeli hingga kini.
Begitu pun soal perpanjangan kontrak JICT dan
Hutchison Port Holding (HPH), Hong Kong, juga dapat ditelusuri datanya. Dari
berbagai penelusuran data terkait dengan hal itu, pansus dapat membuat
kesimpulan akhir apakah RJ Lino itu seorang nasionalis yang rasional, ataukah
ia seorang kolaborator asing yang merugikan rakyat dan negara Indonesia.
Jika ingin mengganti Rini Soemarno dan RJ Lino
amatlah mudah, tinggal meminta Presiden Joko Widodo untuk memecat mereka jika
memang benar mereka bekerja tidak profesional dan korup. Kita juga berharap
proses hukum yang terkait dengan RJ Lino benar-benar berjalan baik. Jika
demikian mudah dan terang-benderangnya kasus Pelindo II, kenapa mesti
dipersulit dan dipolitisasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar