Rabu, 10 Juni 2015

Reformasi Lemhannas

Reformasi Lemhannas

Asvi Warman Adam  ;  Peneliti Senior LIPI
KOMPAS, 10 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Tanggal 20 Mei lalu Lembaga Ketahanan Nasional merayakan ulang tahun ke-50. Bung Karno berpidato waktu membentuk lembaga ini. Setengah abad kemudian, putrinya, Megawati Soekarnoputri, menyampaikan  "Presidential lecture" yang substansi dan semangat pidato itu senada. Hal ini menandakan apa yang disampaikan Presiden Soekarno tahun 1965 masih relevan sampai kini dan ternyata belum dilaksanakan sepenuhnya oleh pengurus lembaga tersebut. 

Gagasan pembentukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) disampaikan oleh Jenderal AH Nasution pada 1962 dan baru terealisasi tahun 1965. Ini memperlihatkan pasang naik dan surut hubungan kedua tokoh tersebut. Tahun 1962 Nasution digantikan oleh A Yani sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan dipromosikan sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata sehingga menjadi "jenderal tanpa pasukan".

Pada masa Orde Baru lembaga ini naik pamornya karena memberi semacam tiket untuk menjabat eselon satu di kementerian atau jabatan penting lainnya. Orang dengan bangga mencantumkan dalam curriculum vitae pernah ikut kursus reguler angkatan ke sekian. Juga ada kesan instansi ini jadi tempat "transit" bagi perwira TNI dan Polri yang masih akan menduduki jabatan strategis lainnya.

Sejak awal sampai kini terjadi beberapa perubahan. Istilah pertahanan nasional jadi ketahanan nasional meski singkatannya tetap Lemhannas. Konsep ketahanan nasional itu sendiri mengalami perkembangan. Semula (1969) berarti "keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala ancaman. Pada 1972 ditambahkan: semua itu dalam rangka "mengamankan perjuangan mengejar tujuan nasional". 

Semula lembaga pengkajian, kemudian bertambah fungsinya dengan lembaga pendidikan, dan terakhir lebih spesifik, yaitu mendidik kader pemimpin nasional. Terjadi pula perubahan status lembaga ini yang semula di lingkungan ABRI/Departemen Pertahanan menjadi lembaga pemerintah non-kementerian yang berada di bawah Presiden.

Karena kelanjutan dari pendidikan kepemimpinan yang telah dijalani di lingkungan pegawai negeri sipil atau TNI/Polri, peserta program Lemhannas tentu sudah berusia di atas 40 tahun dan telah menduduki jenjang karier tingkat atas di lembaga tempat dia bertugas. Melihat para peserta program pendidikan ini yang sudah separuh baya, Megawati bertanya kepada gubernur Lemhannas: dapatkah usia peserta diturunkan jadi kurang dari 45 tahun. Bukankah para pemimpin Indonesia pada awal kemerdekaan relatif masih sangat muda.

Tentu pertanyaan di atas dapat dijawab apabila disadari model sekolah kepemimpinan macam apa yang diinginkan. Di Perancis, misalnya, terdapat Ecole Nationale d'Administration (ENA) yang didirikan tahun 1945 untuk mengisi formasi pengambil keputusan di departemen atau lembaga strategis lainnya di negara itu. Beberapa perdana menteri, para menteri, dirjen, atau pejabat lainnya di pemerintahan, termasuk CEO di berbagai perusahaan besar, adalah lulusan ENA yang lama pendidikannya 27 bulan. Lulusan perguruan tinggi dapat masuk sekolah ini setelah melalui seleksi yang sangat ketat.        

Peserta program ENA itu jauh lebih muda daripada Lemhannas. Namun, program pendidikan di Lemhannas hanya 7,5 bulan (program reguler) atau 5,5 bulan (program singkat) dan diikuti oleh PNS golongan IVC atau kolonel. Kedua program pengaderan pada dua negara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan bergantung pada tipe pemimpin yang ingin dihasilkan.

Dalam pidato pembentukan Lemhannas, Bung Karno berbicara tentang geopolitik Indonesia: negara kepulauan, di antara dua benua, memiliki sumber daya alam yang kaya, terdiri atas ribuan suku dan masing-masing memiliki budaya yang berbeda. Sewaktu berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, menurut Soekarno, ia menempatkannya dalam konteks geopolitik, yaitu pada kesatuan bangsa Indonesia. Teori Ernest Renan dan Otto Bauer yang dikutipnya dalam pidato lahirnya Pancasila itu juga berbasiskan geopolitik. 

Namun, terlepas dari semuanya, lembaga ini harus mengajarkan sejarah perjuangan bangsa. Itu pula yang disambung oleh Megawati Soekarnoputri, 50 tahun kemudian, betapa bangsa ini tidak peduli pada sejarah.
Selama 50 tahun berdiri tentu dapat dinilai apakah Lemhannas sudah memenuhi pesan pembentukannya yang disampaikan  Soekarno. Namun, perlu diingat juga, pasca pemerintahan Soeharto telah terjadi reformasi TNI dan Polri. Hal tersebut telah mengubah pula konstelasi keduanya dalam perpolitikan nasional. Dalam hal ini tentu Lemhannas perlu mengalami penyesuaian dan reformasi (baik pengajar, peserta pendidikan, maupun materi pendidikan). Bung Karno mengatakan, "Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, membangun bangsa yang kuat, negara yang kuat kalau tidak dengan geopolitik." Ia melanjutkan bahwa adagium pertama untuk geopolitik adalah know yourself, dalam arti bangsamu sendiri, tanah airmu sendiri, pergunakan unsur-unsur ini menjadi unsur besar menyusun pertahanan kita itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar