Iuran
Jaminan Pensiun
Steven Tanner ; Aktuaris pada Dayamandiri Dharmakonsilindo;
Tim Perumus Kebijakan Jaminan Pensiun Apindo,
Perkumpulan DPLK, ADPI
|
KOMPAS, 10 Juni 2015
Penerapan program
jaminan pensiun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial seharusnya disambut
gembira dan antusias karena menjanjikan kesinambungan penghasilan pada usia
lanjut. Namun, masyarakat (baca: pekerja formal) banyak yang masih bingung
dan tampaknya belum memahami apa faedah dari program jaminan pensiun (JP)
bagi mereka.
Bukannya membicarakan
kesejahteraan sosial mereka, yang kita saksikan justru perdebatan
berkepanjangan mengenai besaran iuran. Terakhir, muncul tiga opsi, 8 persen,
3 persen (sampai 2030 dan meningkat bertahap 0,3 persen setiap 3 tahun), dan
1,5 persen (sampai 2018 dan meningkat bertahap 0,3 persen setiap tiga tahun),
yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk memutuskan.
Semua opsi iuran ini
untuk membiayai manfaat pensiun berkala yang sama, yaitu 1 persen dari
penghasilan rata-rata selama karier yang disesuaikan dengan parameter
tertentu (index career average/ICA)
dengan maksimum tingkat penghasilan pensiun (TPP) 40 persen.
Berapa iuran program
JP yang dianggap wajar dan optimal? Sebenarnya, penjelasannya sangat
sederhana. Beban jangka panjang program pensiun jenis manfaat, bergantung
kepada jumlah manfaat pensiun berkala yang harus dibayarkan. Beban ini secara
langsung berkaitan dengan rasio ketergantungan penduduk usia lanjut (old-age dependency ratio/DR) atau
perbandingan jumlah penerima manfaat pensiun berkala terhadap pekerja yang
membayar iuran (system dependency ratio)
dan usia pensiun yang ditetapkan. DR tidak bergantung besaran iuran, tetapi
pada usia pensiun yang ditetapkan.
Sebagai contoh,
katakanlah dalam suatu periode tertentu ada satu orang penduduk usia lanjut
dan lima angkatan kerja produktif. Ini berarti DR sebesar 20 persen. Dengan
kata lain, untuk membiayai satu orang penduduk usia lanjut ini, setiap
angkatan kerja produktif berbagi beban masing-masing 20 persen. Apabila kita
ingin memberikan kepada satu orang penduduk usia lanjut ini TPP 40 persen,
maka beban setiap angkatan kerja produktif adalah 8 persen (DR= 20 persen x
TPP= 40 persen).
Suatu saat nanti,
angka 8 persen ini mungkin saja wajar, tetapi jauh di masa mendatang lima
peserta harus menanggung beban untuk TPP 40 persen, tidak sekarang!
Sebenarnya, berapa pun iuran yang kita bayar sekarang, 1,5 persen, 3 persen,
atau 8 persen, tidak akan mengubah beban jangka panjang program JP dan
manfaat pensiun berkala yang diterima peserta tetap sama. Tidak ada program
pensiun jenis manfaat pasti sekaligus iuran pasti. Jadi, mengapa harus mulai
dengan iuran 8 persen?
Usia pensiun wajar
Iuran program JP tak
mungkin tidak dapat dikendalikan. Yang harus dilakukan hanyalah menetapkan
mekanisme peningkatan usia pensiun secara otomatis (automatic balancing mechanism) seiring peningkatan usia harapan
hidup (longevity). Oleh karena itu,
sangat penting untuk menetapkan usia pensiun wajar yang mencerminkan
peningkatan usia harapan hidup agar DR terkendali, dan pada gilirannya dapat
memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing perekonomian Indonesia.
Usulan usia pensiun
(56 sampai 2018 dan meningkat empat bulan setiap tahun atau satu tahun setiap
tiga tahun dan mencapai 65 tahun pada kisaran 2043-2045) telah diterima
sebagaimana tercermin dalam rancangan peraturan pemerintah terkini. Usia
pensiun di negara yang ekonominya dianggap maju, saat ini sudah mencapai 65
dan bergerak ke 67 dan 68 tahun. Iuran program JP yang tinggi bukanlah
solusinya, justru sebaliknya, memperburuk DR!
Pembiayaan dengan
menggunakan metode pay-as-you-go
(PAYG atau "sambil jalan") sejalan dengan filosofi ini. Artinya,
kita hanya perlu menyediakan dana untuk membayar manfaat pensiun berkala yang
jatuh tempo dalam setahun, dua tahun, atau paling banyak lima tahun. Cara
pembiayaan demikian akan mengurangi secara signifikan semua jenis risiko yang
mungkin dihadapi oleh kegiatan pengelolaan dana dalam jumlah besar, antara
lain, inflasi, suku bunga, pasar uang, mismatch, kebocoran, dan kesalahan
pengelolaan. Pembiayaan pendidikan dan kesehatan, misalnya, juga dilakukan
dengan metode PAYG, merupakan salah satu metode aktuaria yang diakui International Standard of Actuarial
Practice No 2, yang diterbitkan 13 Oktober 2013 oleh International Actuarial Association.
Selama periode
2015-2030, jelas tidak diperlukan iuran 8 persen. Pada 2030 nanti, TPP-nya
tidak langsung 40 persen, melainkan hanya 15 persen (1 persen x 15 tahun masa
iuran). Selanjutnya pada 2031 sebesar 16 persen, 2032 sebesar 17 persen, dan
seterusnya. TPP sebesar 40 persen baru terjadi pada 2055 atau 40 tahun dari
sekarang, sehingga tidak perlu buru-buru menetapkan iuran 8 persen sekarang.
Sebenarnya, beban
program JP sangat bervariasi, bergantung pada perubahan demografi dan system
dependency ratio serta usia pensiun yang ditetapkan. Jauh lebih transparan
bila jumlah iuran yang dihimpun sepadan dengan manfaat pensiun berkala yang
harus dibayarkan, tidak berlebihan. Selain lebih transparan, juga mengandung
disiplin dalam menjalankan proses pembiayaan program JP, ketimbang menetapkan
iuran tinggi dan tetap, untuk jangka panjang yang tidak mencerminkan dasar
penetapan yang wajar untuk ketahanan program pensiun.
Penetapan iuran
program JP bukan sebagai sasaran pemupukan dana, atau untuk mencapai
ketahanan sekian-sekian tahun, atau ditetapkan berdasarkan hasil survei
semata, tetapi harus ditetapkan secara aktuaria yang memastikan agar jangka
waktu ketahanannya tidak terbatas (self
sustainable) dengan beban dan risiko yang minimal. Uang itu tidak gratis,
ada opportunity cost dari sumber
dana yang kita miliki untuk dialokasikan di antara berbagai kebutuhan pokok
(investasi baru, meningkatkan daya saing dan produksi, menciptakan lapangan
kerja, dan lain-lain). Jumlah dana program jaminan hari tua (JHT) yang
dikelola BPJS Ketenagakerjaan sudah dan berpotensi bertambah besar.
Jadi, untuk apa
meminta iuran tinggi untuk program JP yang sebenarnya tak diperlukan. BPJS Ketenagakerjaan
dibentuk sebagai lembaga sosial yang berfungsi menatausahakan data
kepesertaan dan melakukan pembayaran manfaat pensiun untuk kepentingan
peserta, bukan sebagai lembaga keuangan dengan tujuan memupuk dana besar
untuk kepentingan pengelolanya.
Bukan tanpa dasar
Usulan skema iuran 1,5
persen (sampai 2018 dan meningkat bertahap 0,3 persen setiap 3 tahun, di mana
iuran 3 persen baru dicapai pada 2030 dan 4,8 persen pada 2050), bukan usulan
tanpa dasar. Usulan ini telah disimulasikan menggunakan model yang dibangun
aktuaris yang bekerja di BPJS Ketenagakerjaan bersama dengan Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Hasilnya,
cukup untuk membiayai program JP dan mengandung margin yang memadai sampai
2045/2050 dan dapat memenuhi pembayaran manfaat pensiun berkala sampai 2065.
Diharapkan setelah
2045 sudah dapat diperoleh data dari pengalaman 30 tahun dan dapat
diandalkan, antara lain, perkembangan demografi, kepesertaan, peningkatan
usia harapan hidup, dan usia pensiun. Sebenarnya, sejak awal sudah harus
dibentuk tim aktuaris pemerintah antardepartemen yang solid untuk pemantauan,
termasuk evaluasi aktuaria secara periodik.
Kalau saja manfaat
pensiun berkala dari program JP dibuat lebih tinggi dan dibayarkan lebih awal
dengan mengakui masa kerja lalu, mungkin masuk akal iuran 8 persen itu
sekarang. Yang kita tidak mengerti mengapa memaksakan iuran 8 persen sejak
2015 yang mungkin baru diperlukan 40 tahun kemudian. Bagi suatu program yang
sama sekali tidak membayar manfaat pensiun berkala sampai 2030, jauh lebih
baik kalau kita fokus kepada bagaimana cara meminimalkan beban yang harus
segera ditanggung dunia usaha dan peserta serta kendala pencapaian sasaran
cakupan kepesertaan yang optimal.
Saat ini, ada lebih
dari 70 persen pekerja formal tak tercakup program JHT. Selain harus membayar
iuran JP, terdapat tambahan iuran program JHT 5,7 persen. Bagi mereka
(perusahaan dan pekerja), beban ini suatu lonjakan sangat drastis, dari 0
persen menjadi 13,7 persen (kalau iuran program JP ditetapkan 8 persen).
Dengan menetapkan iuran rendah di awal dan meningkat bertahap dalam jumlah
rendah dan terukur, beban mereka hampir separuh lebih ringan dan justru mudah
menyerap sekaligus meningkatkan antusiasme untuk bergabung. Inilah yang
seharusnya menjadi prioritas utama, memaksimalkan ketaatan dan cakupan
kepesertaan.
Ringkasnya, usulan
skema iuran 1,5 persen meningkat bertahap dipandang transparan dan jujur.
Transparan, karena publik dapat memahami bahwa iuran program JP memang
bervariasi yang dipengaruhi perubahan demografi. Jujur, karena publik
diberitahu kalau memang tidak diperlukan iuran tinggi, mereka tidak dipaksa
membayar berlebihan. Lagi pula, program JP baru dimulai dan bergerak lamban
karena adanya persyaratan masa iuran 15 tahun itu, tanpa pengakuan masa kerja
lalu, dan baru mature pada 2055. Walk first run later! Jangan sampai gagal
lagi, kita sudah terlalu lama menunggu, hampir 11 tahun. Semoga Presiden
dapat dengan bijak memutuskan yang terbaik bagi negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar