Politik
Semu Kelas Menengah
David
Krisna Alka ; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity,
Kader Muhammadiyah
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2014
|
`KELAS Menengah tidak Percaya Parpol' itulah judul salah
satu berita di koran ini tahun lalu (21/3/2013). Isi berita itu memaparkan
hasil survei Publica Research &
Consulting yang menyebutkan mayoritas kelompok kelas menengah di
Indonesia tidak memercayai partai politik (parpol). Pandang an itu diperkuat
anggapan bahwa para anggota dewan lebih berperan sebagai wakil parpol
daripada mewakili kepentingan rakyat.
Belum lama ini harian Media Indonesia (7/2) juga memuat
berita tentang kelas menengah yang mendominasi pemilih mengambang (swing voters). Berita itu menjelaskan
kesimpulan hasil survei Alvara Research
Center yang dilakukan sepanjang 16-30 Januari di 12 kota di Tanah Air.
Survei ini menyebutkan persentase pemilih mengambang mencapai 27,1% dan
mayoritas kelas menengah.
Pertanyaannya, siapakah kelas menengah itu?
Benarkah mereka tak percaya parpol dan bakal mendominasi swing voters dalam Pemilu 2014?
Bertanya
Sebelum memahami kelas
menengah, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan kelas itu. Sugeng
Sarjadi dalam buku Kelas Menengah Mengugat (1993:222) dengan mengutip Max
Weber menjelaskan istilah kelas didefinisikan sebagai bukan suatu masyarakat,
tetapi didasarkan pada aktivitas sosial.
Kita bisa berbicara
tentang kelas ketika ada sebagian orang memiliki kesempatan menjadi komponen
kekuatan dalam masyarakat secara eksklusif, dilihat dari interes ekonomi dan
pemilikan harta benda serta kesempatan memperoleh pendapatan. Kriteria dasar
untuk dapat melihat sesuatu kelas ialah harta benda, kaya dan tidak.
Lazimnya, kelas
menengah adalah suatu terminologi yang dipergunakan dalam lapangan ilmu
sosiologi, khususnya berkenaan dengan stratifikasi sosial. Kelas menengah
dipahami sebagai orang-orang yang menempati tingkat kedua dari keseluruhan
anggota masyarakat yang ada. Tingkat pertama ialah kelas atas yang menempati
puncak piramida bangunan stratifikasi sosial. Tingkat ketiga adalah kelompok
masyarakat yang berada di lapisan bawah.
Pada konteks di
Indonesia, seperti apa pengertian kelas menengah itu? Apakah mereka yang
sibuk mengejar hasrat konsumtif di mal-mal dan plaza-plaza untuk membeli
barang-barang bermerek, membeli alat komunikasi sebagai gaya hidup yang
setiap saat berganti level sebagai penunjang atas saluran jejaring sosial
seperti Twitter, Facebook, Blackberry
Messenger, dan Iphone?
Apakah kelas menengah
itu mereka yang kerap nongkrong di kafe-kafe, berolahraga di tempat fitness dan pusat-pusat kebugaran,
serta berbelanja atau membayar sesuatu bukan dengan uang cash, cukup sekali gesek menggunakan kartu kredit atau kartu
debit semua beres?
Demokrasi kelas menengah
Dalam studi Bank Dunia
pada 2012 di sebutkan kelas menengah Indonesia berjumlah 56,5% dari 237 juta
penduduk. Namun, pengertian kelas menengah di Indonesia masih bisa
diperdebatkan. Mesti jelas dan dibuktikan seperti apa mereka yang disebut
kelas menengah itu. Sampai mana mereka merasa terlibat dengan nasib seluruh
rakyat Indonesia, terutama mereka yang miskin, termiskin, yang terbelakang,
dan yang terlupakan.
Namun, di satu pihak
ada yang melihatnya dari ukuran ekonomi dan ada yang melihatnya dari ukuran
politik. Dari pandangan politik, jika hasil beberapa survei di atas tepat
adanya, perlu diwaspadai turunnya jumlah pemilih dalam Pemilu 2014.
Parpol
dan calon legislatif serta calon pasangan presiden dan wakil presiden, mau
tak mau, harus jujur dan kreatif meningkatkan kepercayaan publik, tak cukup
cuma ramai baliho, spanduk, dan sekadar iklan yang hilang timbul di layar
televisi.
Kemudian, kembali
muncul pertanyaan, sejauh mana ekspresi politik mereka yang disebut kelas
menengah itu? Bagaimana membuat mereka bisa tertarik untuk terlibat dalam
urusan politik? Apakah mereka cukup menjadi penikmat kelucuan politik dan
tidak konsisten dalam tuntutan urusan publik, cukup celoteh di ruang media
sosial saja?
Katanya, kelas
menengah menyukai kebaruan, terutama terhadap figur calon pemimpin baru yang
muda dan berbeda. Namun, ciriciri yang diperlihatkan ialah kelas menengah
akan tertarik dengan dunia politik atau pemilu bila pesta demokrasi itu
menyajikan sesuatu hal yang baru. Itu masih harus dibuktikan. Atau barangkali
mereka hanya kelas menengah yang semu?
Mochtar Lubis
(1922-2004) pernah mengupas persoalan kelas menengah ini. Menurutnya, kelas
menengah dalam suatu masyarakat tidak lah merupakan jaminan bahwa kelak pada
su atu waktu kelas me nengah itu akan menuntut dan mendesak mendesak agar di
lakukan pemer yang berkualitas, dan hakhak asasi manusia supaya dihormati
secara mantap.
Sejatinya, demokrasi
tak ubahnya lampu kendaraan bermotor, sedangkan keterbukaan adalah kabut.
Kabut tebal tak akan dapat ditembus apabila kekuatan lampu lemah.
Persoalannya,
bagaimana memperkuat daya sorot lampu demokrasi hingga keterbukaan setebal
apapun dapat ditembus? Alhasil, ekspresi politik mereka yang disebut kelas
menengah itu masihlah semu. Akan lebih semu lagi bila swing voters dalam pemilu nanti benar terbukti tinggi. Lalu, kita
pun bertanya dan ragu, demokrasi seperti yang sedang dijalankan ini apakah
memang jalan demokrasi yang baik bagi bangsa ini? Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar