Kegagalan
Pembangunan Gizi
Ali
Khomsan ; Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi Manusia
Fakultas Ekologi
Manusia IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2014
|
ADA apa dengan pembangunan
gizi? Ha sil Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkap potret buram dunia
pergizian di Tanah Air. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak
berbanding lurus dengan perbaikan gizi masyarakat.
Prevalensi gizi buruk
meningkat menjadi 5,7%, jika dibandingkan dengan 2010 yang 4,9%. Prevalensi
gizi kurang naik dari 13% pada 2010 menjadi 13,9% di 2013. Anak stunting (bertubuh pendek) juga
meningkat menjadi 37,2%, padahal 2010 `hanya' 35,6%. Persoalan gizi bertambah
parah. Telah disadari bahwa masalah gizi penyebab dasarnya ialah keterbatasan
akses pangan akibat rendahnya daya beli.
Jangan-jangan data yang menyebutkan
jumlah penduduk miskin berkurang semu belaka. Adakah yang tidak pas dengan
garis kemiskinan kita? Mengapa kita kurang berani menggunakan garis kemiskinan
versi Bank Dunia, yaitu pendapatan setara US$2 per kapita/hari, dan kita
tetap bertahan dengan versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang hanya sekitar
Rp250 ribuRp300 ribu per kapita/ bulan (tidak sampai US$1 per kapita/hari)?
Ketika pertumbuhan
ekonomi makro banyak dipuji berbagai kalangan, harusnya hal itu berdampak
positif pada ekonomi rumah tangga yang juga semakin membaik. Namun,
kenyataannya mengapa masyarakat tetap mengeluh?
Daging dan susu jauh dari jangkauan daya beli. Dampaknya anak-anak balita
yang harusnya mendapatkan gizi cukup terpaksa harus makan seadanya. Proses
kurang gizi kini tengah berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Indonesia ialah negara
dengan penduduk miskin sangat banyak. Masalah gizi akan senantiasa mengintip
kelengahan kita. Keteledoran dalam pembangunan gizi akan mengakibatkan
tingginya kematian bayi atau balita dan kita akan menghadapi the lost
generation 20 tahun yang akan datang. Lahirnya generasi bodoh karena kurang
gizi akan mengakibatkan bangsa ini tetap berkubang dalam kemiskinan.
Dianggap kecil
Laju masalah gizi akan
dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi dan keadilan semakin
merata. Kini angka pengangguran masih tinggi dan banyak orang bekerja di
bawah upah yang layak. Tarik-ulur UMR antara pekerja dan pengusaha bagaikan
benang kusut yang sulit diurai. Peningkatan UMR ialah baik untuk memperbaiki
kesejahteraan pekerja.
Namun, ternyata pengusaha kita merasa keberatan karena kondisi usaha yang
belum memungkinkan mereka membayar UMR tinggi.
Gizi ialah bagian
`kecil' dari urusan kesehatan. Mungkin karena dianggap ‘kecil’, itu sebabnya
tidak perlu ada Kementerian Pangan dan Gizi. Soal gizi cukuplah diurus
birokrasi setingkat direktorat. Bahkan promosi gizi pun menjadi bagian dari
promosi kesehatan yang urusannya mahaluas.
Urusan pangan di
negara kita paling tidak ditangani tiga kementerian utama, yaitu Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perdagangan.
Namun, ternyata kita masih tertatih-tatih dari capaian daulat pangan karena
produk-produk pangan penting masih mengandalkan impor. Jadi, lengkap sudah
bangsa ini terjebak dalam rumitnya mengatasi masalah pangan dan gizi.
Perumusan kebijakan
gizi dalam pembangunan harus didukung data yang akurat. Ketiadaan data yang
benar akan mengacaukan program gizi, intervensi yang dilakukan akan mengalami
salah sasaran, dan ketercakupan yang dicapai bersifat semu.
Hilangnya identitas
gizi dalam pembangunan harus dicegah, yaitu dengan menjadikan gizi sebagai
isu politik. Perlu ada komitmen dari birokrat dan politisi sehingga
pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang
signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Dengan cara itu, kita akan mampu
mengurangi masalah gizi secara nyata. Investasi di bidang gizi ialah
investasi berdurasi panjang. Oleh karena itu, dampaknya mungkin baru akan
muncul setelah beberapa dekade. Kalau semua pihak sudah menyadari hal itu dan
mereka tidak hanya berpikir jangka pendek untuk kepentingan sesaat, bangsa
kita akan mampu mengatasi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Gizi perlu
menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program
pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Jangka panjang
Apa yang bisa
diharapkan dari generasi yang sejak dini mempunyai persoalan gizi seperti
ini? The lost generation benar-benar
menghadang di depan mata. Buruknya kualitas fisik anak-anak Indonesia bisa
berimbas pada gangguan intelektualitas sehingga SDM kita di masa depan sesungguhnya
dibangun fondasi manusia yang rapuh dan mudah ambruk. Prestasi olahraga kita
terpuruk, daya saing bangsa melemah, dan kita akan semakin tertinggal dari
bangsa-bangsa lain.
Program gizi perlu
mendapatkan prioritas tinggi karena menyangkut nasib bangsa di masa depan.
Pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi seyogianya mempunyai nilai
yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Investasi di bidang gizi ialah investasi
berdurasi panjang. Oleh karena itu dampaknya mungkin baru akan muncul setelah
beberapa dekade. Kalau semua pihak sudah menyadari hal ini dan mereka tidak
hanya berpikir jangka pendek untuk kepentingan sesaat, bangsa kita akan mampu
mengatasi ketertinggalan dari bangsabangsa lain memperbaiki SDM yang
terpuruk.
Kelestarian (sustainability) suatu program akan
menjamin pemecahan masalah yang lebih baik. Kelestarian ini dapat
dipertahankan apabila semua stakeholder punya rasa memiliki terhadap suatu
program. Untuk program gizi, yang dimaksud dengan stakeholder adalah masyarakat, pemimpin informal, pemerintah yang
dalam hal ini diwakili kementerian yang relevan, kalangan legislatif, LSM,
dan sektor swasta. Advokasi dan lobi harus terusmenerus dilakukan untuk
meyakinkan mereka tentang pentingnya prioritas untuk program gizi.
Dengan demikian, gizi
akan menjadi isu yang disadari semua pihak dan pada akhirnya dapat menjadi
indikator keberhasilan pembangunan. Keberadaan wakil menteri kesehatan yang
mempunyai latar belakang public health
diharapkan dapat menjadi daya ungkit untuk mempercepat pengentasan masalah
gizi yang kini masih mendera bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar