Selasa, 04 Februari 2014

Pemilu Serentak dan Indikator Tata Negara Kusut

Pemilu Serentak dan Indikator Tata Negara Kusut

Benni E Matindas  ;   Pengajar Filsafat; Penulis buku Negara Sebenarnya
SINAR HARAPAN,  03 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Sistem presidential bukan entitas opsional di antara sistem lain termasuk sistem parlementer.”

Debat buntu ihwal pemilu serentak yang marak sekarang ini mesti dilihat sebagai indikator tak terbantahkan mengenai kusutnya tata negara kita, jangan dipandang kurang dari itu. Ini karena taruhannya sebagaimana sudah sering dialami bangsa ini, terlalu parah.

Bermula dari gugatan judicial review oleh Effendi Ghozali dan kawan-kawan mengenai aturan capres yang hanya ditentukan partai peraih kursi DPR dengan jumlah tertentu, dinilai tak sesuai prinsip sistem presidential. Namun, debat menyala justru ketika MK mengabulkan gugatan itu.

Itu karena MK setuju pemilu serentak, namun pelaksanaannya nanti pada 2019. Yusril Ihza Mahendra, yang juga mengajukan gugatan senada mencurigai ada “apa-apa” di balik keputusan MK. Ini disebabkan gugatan Effendi yang sudah lama tidak dijawab, MK baru menjawab setelah ada gugatan Yusril. Namun, malah tuntutan Yusril untuk pemilu serentak 2014 tak dikabulkan.

Tambah ramai lantaran ikutnya parpol-parpol yang tentu saja harus memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Ada yang habis-habisan menuntut pemilu serentak harus 2014. Sebaliknya, ada yang gegap gempita memamerkan “sikap bijak” menerima putusan MK tentang 2019, sebab di situ ada hitung-hitungan bagi kepentingan politis pihak mereka.

Indikator

Semua titik krusial dalam perdebatan ini satu per satu dapat kita tunjuk sebagai indikator tata negara kusut. Kita bisa mulai dengan alasan gugatan awal yaitu mengenai hak parpol mengajukan capres berdasarkan jumlah kursi di DPR. Hak ini jelas menginjak-injak konstitusi yang menegaskan lembaga tertinggi di negara ini adalah MPR.

Di dalamnya pun bukan hanya DPR, tetapi ada DPD yang merepresentasikan rakyat dengan kadar legitimasi yang tak kalah, bahkan bisa mengalahkan DPR. Hal yang terpenting, pendasaran hak istimewa pada jumlah kursi itu sesungguhnya tidak memiliki satu pun landasan logika kebajikan tata negara. Semata-mata hanya logika yang diabdikan pada kepentingan partai besar.

Salah pula jika gugatan didasarkan pada logika bahwa presiden dalam sistem presidential tak perlu legitimasi parlemen. Setiap niat ataupun kecenderungan menjauhkan eksekutif dari jangkauan daulat dewan rakyat mesti selamanya ditolak sebagai kesalahan asasi berdemokrasi.

Sebenarnya sistem presidential bukan entitas opsional di antara sistem lain termasuk sistem parlementer. Tata negara dengan parlemen sebagai pemegang kekuasaan atas pencalonan hingga pemakzulan pimpinan pemerintahan, apa pun namanya sistem ini, adalah satu-satunya pelembagaan demokrasi.

Segala problem yang timbul kemudian hanyalah akibat parlemen yang diisi secara keliru lantaran mengira kekuasaan parpol dalam legislatif dan eksekutif adalah perwujudan hak asasi politik warga. Padahal hak asasi hanya melekat pada warga secara individual, tidak secara institusional kolektif warga, seperti parpol, yayasan, perusahaan, ataupun grup band.

Ada yang bersikukuh harus pemilu serentak tahun 2014. Alasannya, pemilu terpisah melanggar Pasal UUD tentang pemilu lima tahun sekali. Ini tak lebih dari argumen ndagel, argumen yang biasa kita dengar dalam lawakan kekanak-kanakan.

Memang banyak dari kita sudah biasa menerima silogisme yang digunakan keliru seperti itu. Misalnya, hakim dan jaksa yang biasa membenarkan argumen begitu saat diajukan pengacara yang membela ketidakbenaran. Pemilu untuk anggota parlemen sekali dan pilpres sekali maka katanya, dua kali pemilu. Kalau hitungannya seperti itu, bukan hanya dua pemilu dalam lima tahun, tapi harus dibilang puluhan kali, bahkan dalam satu tahun karena ditambah banyak pilkada.

Dasarnya kusut, mau dikemanakan pun buntu. Kalaupun pemilu serentak nanti tahun 2019, problemnya tak serentak selesai. Siapakah yang berhak menentukan capres yang pasti akan sangat banyak itu? Kalau partai, baik sebelum maupun setelah duduk di DPR, sama saja dengan sebelum judicial review.

Kalau bukan partai, lantas siapa? Dalam tata negara Iran, misalnya, pembatasan jumlah capres (yang pernah sampai 814 orang) dibereskan Guardian Council. Namun, setengah dari dewan itu dipilih DPR juga. DPR Iran isinya pseudo-parpol, sedangkan DPR RI berisi parpol dalam maknanya yang paling primitif. Buntu lagi, kan?

Alasan menunda sampai 2019 agar bisa lebih siap secara teknis demi kemaslahatan pun dituding “faktor teknis mengalahkan substansi”. Memang, jika betul, itu bukan saja inkonstitusional, tapi bahkan melawan hakikat dan harkat konstitusi. Namun, sebetulnya ini pun hanya salah satu pucuk gunung es kekusutan.

Segalanya jadi rancu. Konstitusi, substansi, dan prinsip dilawankan secara diametral dengan faktor teknis, realitas, kemanfaatan praktis, juga kemaslahatan. Dikira realitas dapat dipisah dari kebenaran prinsip, justru kebenaranlah yang lebih sering harus dilegitimasi oleh realitas. Seolah pula kemaslahatan bukan prinsip, padahal bahkan konstitusi beserta substansinya harus mengabdi pada kemaslahatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar