Memperpanjang
Ancaman Kedaulatan
M Riza Damanik ;
Direktur
Eksekutif IGJ;
Dewan
Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 03 Februari 2014
“Mereka
yang memaksakan disahkannya UU Pesisir, patut dipersoalkan moralitas
keindonesiaannya.”
Terungkapnya penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Ibu Negara Ani Yudhoyono oleh Australia, menjelaskan rapuhnya pertahanan
dan keamanan nasional kita. Alih-alih menguatkannya, DPR menutup tahun 2013
dengan menambah daftar ancaman kedaulatan melalui pengesahan revisi UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (18/12).
Faktanya, UU Pesisir memberi keleluasaan kepada asing
mengelola 13.000 pulau-pulau kecil Indonesia yang tidak berpenghuni. Hal ini
termasuk memanfaatkan ruang perairan pesisir: mulai dari permukaan laut,
kolom air, hingga permukaan dasar laut, melalui pemberian izin lokasi dan
izin pemanfaatan. Sebuah produk kompromi politik yang mempertaruhkan masa
depan bangsa!
Pertaruhan pertama terkait langsung dengan kinerja
pertahanan dan keamanan nasional. Pasalnya, jika untuk mengamankan
"orang istana" saja tidak mampu; bagaimana rakyat percaya
pemerintah dan DPR dapat mengawasi kinerja investasi asing di pulau-pulau
kecil yang tidak berpenghuni? Bukankah 70 persen dari pulau-pulau tersebut
bahkan belum tuntas diberi nama oleh pemerintah?
Fakta lainnya, aksesibilitas dari dan ke pulau-pulau kecil
sangatlah terbatas. Data Kementerian Perhubungan (2013) menyebutkan target
membuka 90 trayek laut perintis hingga 2014 belum tercapai. Bahkan, masih
terkendala minimnya ketersediaan armada dan subsidi bahan bakar minyak.
Kedua, kepentingan melindungi rakyat dari dampak buruk
perubahan iklim. Indikasinya, instrumen PBB telah gagal menahan laju
peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius.
Itulah sebabnya, Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR)
memperkirakan sedikitnya 150 juta rakyat dunia akan menjadi pengungsi iklim
(climate refugee) pada 2050. Lalu, bagaimana kelak nasib sekitar 60 persen
rakyat Indonesia yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil?
Di sinilah keputusan pemerintah memberikan izin
pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada asing berpotensi
mengancam keselamatan dan kualitas hidup generasi yang akan datang.Terakhir,
pertaruhan mewujudkan kedaulatan ekonomi di tengah derasnya arus perdagangan
bebas.
Sebagai informasi, hingga akhir 2013, Indonesia telah
menandatangani 63 perjanjian investasi bilateral (BITs), 20 perjanjian
perdagangan bebas (FTA), dan WTO. Berikutnya, tahun 2015 akan berlaku pula
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mendorong liberalisasi di kawasan yang meliputi
liberalisasi barang, jasa, investasi, hingga kemudahan keluar-masuknya tenaga
kerja.
Ke depannya, melalui UU Pesisir, investasi asing tidak
hanya akan menguasai pasar konsumsi dan industri nasional, tetapi juga
berpotensi mendominasi penguasaan ruang kepulauan Indonesia. Pada konteks
inilah, liberalisasi ruang ala UU Pesisir dapat melenyapkan kedaulatan
ekonomi Indonesia secara paripurna.
Kedaulatan
Kecermatan melihat perkembangan eksternal, sembari
menggali dan memperkuat potensi domestik adalah strategi ampuh menghadapi
tantangan kedaulatan dan masa depan Indonesia. Mengingat buruknya kinerja
legislasi DPR 2009-2014, tuntutan peran dan tanggung jawab rakyat semakin
besar.
Pertama, terlibat aktif dalam menyusun rencana tata ruang
dan zonasi pesisir maupun pulau-pulau kecil. Setidaknya, di masa transisi
kepemimpinan nasional seperti sekarang, langkah ini diperlukan untuk
mengadang perluasan perampasan tanah (di pulau kecil) dan laut (ocean and land grabbing). Pada siasat
itulah kita berharap pemberian izin lokasi dan pemanfaatan pulau-pulau kecil
tidak digunakan untuk membiayai ongkos Pemilu 2014.
Kedua, meningkatkan soliditas antarwarga untuk melindungi
kedaulatan kepulauan Indonesia dari bahaya privatisasi dan asing.
Langkah ini dapat ditempuh dengan aktif melaporkan kinerja
buruk investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada aparatur
pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, tindakan menutup akses
masyarakat nelayan dari kekayaan sumber daya pesisir, kegiatan merusak dan
mencemari lingkungan, hingga upaya memanipulasi kerja sama riset untuk
mencuri keragaman hayati laut Indonesia (biopiracy).
Terakhir, menyusul Pemilu 2014, masyarat perlu mempelajari
rekam jejak calon presiden dan calon anggota legislatif. Sudah barang tentu,
mereka yang terlibat aktif menginisiasikan, mempromosikan, hingga memaksakan
disahkannya UU Pesisir, patut dipersoalkan moralitas dan keindonesiaannya.
Harapannya, presiden dan anggota DPR terpilih nantinya dapat mencabut
interest asing dalam UU Pesisir dan menggantinya dengan kepentingan rakyat
Indonesia.
Tanpa pilihan moral dan keberpihakan sosial tersebut,
penyelenggaraan Pemilu 2014 hanya akan memperpanjang ancaman kedaulatan
kepulauan Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar