Selasa, 04 Februari 2014

Memperpanjang Ancaman Kedaulatan

Memperpanjang Ancaman Kedaulatan

M Riza Damanik  ;   Direktur Eksekutif IGJ;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
SINAR HARAPAN,  03 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Mereka yang memaksakan disahkannya UU Pesisir, patut dipersoalkan moralitas keindonesiaannya.”

Terungkapnya penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono oleh Australia, menjelaskan rapuhnya pertahanan dan keamanan nasional kita. Alih-alih menguatkannya, DPR menutup tahun 2013 dengan menambah daftar ancaman kedaulatan melalui pengesahan revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (18/12).

Faktanya, UU Pesisir memberi keleluasaan kepada asing mengelola 13.000 pulau-pulau kecil Indonesia yang tidak berpenghuni. Hal ini termasuk memanfaatkan ruang perairan pesisir: mulai dari permukaan laut, kolom air, hingga permukaan dasar laut, melalui pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan. Sebuah produk kompromi politik yang mempertaruhkan masa depan bangsa!

Pertaruhan pertama terkait langsung dengan kinerja pertahanan dan keamanan nasional. Pasalnya, jika untuk mengamankan "orang istana" saja tidak mampu; bagaimana rakyat percaya pemerintah dan DPR dapat mengawasi kinerja investasi asing di pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni? Bukankah 70 persen dari pulau-pulau tersebut bahkan belum tuntas diberi nama oleh pemerintah?

Fakta lainnya, aksesibilitas dari dan ke pulau-pulau kecil sangatlah terbatas. Data Kementerian Perhubungan (2013) menyebutkan target membuka 90 trayek laut perintis hingga 2014 belum tercapai. Bahkan, masih terkendala minimnya ketersediaan armada dan subsidi bahan bakar minyak.

Kedua, kepentingan melindungi rakyat dari dampak buruk perubahan iklim. Indikasinya, instrumen PBB telah gagal menahan laju peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius.

Itulah sebabnya, Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan sedikitnya 150 juta rakyat dunia akan menjadi pengungsi iklim (climate refugee) pada 2050. Lalu, bagaimana kelak nasib sekitar 60 persen rakyat Indonesia yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil?

Di sinilah keputusan pemerintah memberikan izin pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada asing berpotensi mengancam keselamatan dan kualitas hidup generasi yang akan datang.Terakhir, pertaruhan mewujudkan kedaulatan ekonomi di tengah derasnya arus perdagangan bebas.

Sebagai informasi, hingga akhir 2013, Indonesia telah menandatangani 63 perjanjian investasi bilateral (BITs), 20 perjanjian perdagangan bebas (FTA), dan WTO. Berikutnya, tahun 2015 akan berlaku pula Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mendorong liberalisasi di kawasan yang meliputi liberalisasi barang, jasa, investasi, hingga kemudahan keluar-masuknya tenaga kerja.

Ke depannya, melalui UU Pesisir, investasi asing tidak hanya akan menguasai pasar konsumsi dan industri nasional, tetapi juga berpotensi mendominasi penguasaan ruang kepulauan Indonesia. Pada konteks inilah, liberalisasi ruang ala UU Pesisir dapat melenyapkan kedaulatan ekonomi Indonesia secara paripurna.

Kedaulatan

Kecermatan melihat perkembangan eksternal, sembari menggali dan memperkuat potensi domestik adalah strategi ampuh menghadapi tantangan kedaulatan dan masa depan Indonesia. Mengingat buruknya kinerja legislasi DPR 2009-2014, tuntutan peran dan tanggung jawab rakyat semakin besar.

Pertama, terlibat aktif dalam menyusun rencana tata ruang dan zonasi pesisir maupun pulau-pulau kecil. Setidaknya, di masa transisi kepemimpinan nasional seperti sekarang, langkah ini diperlukan untuk mengadang perluasan perampasan tanah (di pulau kecil) dan laut (ocean and land grabbing). Pada siasat itulah kita berharap pemberian izin lokasi dan pemanfaatan pulau-pulau kecil tidak digunakan untuk membiayai ongkos Pemilu 2014.

Kedua, meningkatkan soliditas antarwarga untuk melindungi kedaulatan kepulauan Indonesia dari bahaya privatisasi dan asing.

Langkah ini dapat ditempuh dengan aktif melaporkan kinerja buruk investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada aparatur pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, tindakan menutup akses masyarakat nelayan dari kekayaan sumber daya pesisir, kegiatan merusak dan mencemari lingkungan, hingga upaya memanipulasi kerja sama riset untuk mencuri keragaman hayati laut Indonesia (biopiracy).

Terakhir, menyusul Pemilu 2014, masyarat perlu mempelajari rekam jejak calon presiden dan calon anggota legislatif. Sudah barang tentu, mereka yang terlibat aktif menginisiasikan, mempromosikan, hingga memaksakan disahkannya UU Pesisir, patut dipersoalkan moralitas dan keindonesiaannya. Harapannya, presiden dan anggota DPR terpilih nantinya dapat mencabut interest asing dalam UU Pesisir dan menggantinya dengan kepentingan rakyat Indonesia.

Tanpa pilihan moral dan keberpihakan sosial tersebut, penyelenggaraan Pemilu 2014 hanya akan memperpanjang ancaman kedaulatan kepulauan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar