Sabtu, 01 Februari 2014

Nasib Nagari di Sumbar

                         Nasib Nagari di Sumbar

Mochtar Naim  ;   Sosiolog
KOMPAS,  30 Januari 2014
                                                                                                                 
                                                                                                                                               
DENGAN diratifikasinya Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Desa menjadi UU pada Desember lalu, maka nasib Nagari di Minangkabau dan Sumatera Barat khususnya dalam konteks NKRI jelas sudah.
Karena Negara Kesatuan Republik Republik Indonesia (NKRI) dasarnya adalah unitarisme, satu kesatuan sistem administrasi pemerintahan yang seragam dari atas sampai ke bawah untuk seluruh Indonesia, Nagari tidak punya pilihan lain kecuali melebur diri kembali jadi desa seperti di Jawa, sesuai UU Desa yang baru itu.
Maka cerita pun berulang seperti masa Orde Baru ketika Nagari dan semua sistem lokal yang beragam di Nusantara diwajibkan mengikuti cara di desa di Jawa.
Kecuali kalau rakyat dan masyarakat serta unsur pemerintahan yang berfungsi di Sumatera Barat (Sumbar) mau menerapkan peluang yang diberikan oleh pasal 18 B ayat (2) dari UUD 1945, seperti yang sekarang diikuti di Aceh dan Papua selain Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Masyarakat dan rakyat Sumbar sekarang dalam keadaan renyuh dan linglung, mau kembali ke desa lagi setelah beralih kembali ke Nagari di masa Reformasi ini, atau secara ksatria mengajukan tuntutan untuk mendapatkan hak khusus sebagai daerah istimewa Sumbar atau Minangkabau.
Sesuai dengan bunyi Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hal tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dengan undang-undang.”
Memilih istimewa
Kelihatannya yang akan dipilih oleh rakyat Sumbar adalah mengajukan penerapan pasal 18 B ayat (2) dari UUD1945 itu, dengan tetap menjadikan Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah di bawah kabupaten dan kecamatan yang sekaligus berfungsi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Karena ini berlaku untuk seluruh wilayah administratif Provinsi Sumbar, maka yang dituntut adalah daerah istimewa Sumbar ataupun Minangkabau seperti yang juga berlaku di DI Aceh Darussalam, Papua, dan DIY.
Dengan Nagari tetap dipertahankan sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa di Jawa di bawah naungan daerah istimewa Provinsi Sumbar, maka Nagari di Sumbar memiliki empat fungsi utama.
Pertama, Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa seperti di Jawa.
Kedua, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan di bawah komando wali nagari dengan dubalangnya dalam menggerakkan pemuda berfungsi sebagai parik-paga Nagari. Kesatuan polisi di kecamatan baru turun ke Nagari jika tenaga mereka memang diperlukan dan diminta.
Ketiga, Nagari sebagai unit kesatuan usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya kolektif- korporatif, dengan prinsip koperasi syariah.
Dengan Nagari memiliki tanah ulayat Nagari, di samping hak-hak ulayat lainnya, seperti perkampungan, perhutanan, perkebunan, air, sungai, dan pantai, maka hak guna usaha yang selama ini diberikan kepada unit usaha ekonomi swasta yang dalam praktik diborong habis oleh perusahaan swasta konglomerat yang dalam praktik juga menguasai ekonomi Nusantara dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan udara, perlu direkonstruksi kembali.
Dengan kembalinya tanah-tanah ulayat Nagari ke tangan rakyat, usaha bersama yang bersifat saling menguntungkan (joint-mutually profitable enterprise), seperti yang biasa berlaku di RRC, Jepang, dan Korea, belakangan juga di Vietnam, Thailand, dan Malaysia, bisa dikembangkan.
Sementara itu usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya kolektif-korporatif atas dasar koperasi syariah perlu digalakkan. Intinya adalah ekonomi dibangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keempat, Nagari sebagai unit kesatuan adat, sosial-budaya, dan agama. Dasar filosofi yang dipakai dan mendasari adalah prinsip ajaran ”ABS-SBK”—Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.
Minangkabau adalah Negeri Beradat dan Beragama. Adatnya adalah adat matrilineal Minangkabau yang dasarnya adalah egaliter-demokratis. Agamanya adalah Islam dengan kitabnya adalah Al Quran Kitabullah.
Prinsip ketuhanan
Dengan itu masyarakat dan kebudayaan Minangkabau menerapkan prinsip sila pertama Pancasila: ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam artian konkret, konsekuen, dan fundamental. Agama apa pun yang tidak berdasarkan kepada Ketuhanan YME tidak diterima sebagai pegangan hidup.
Sikap terhadap agama dan penganut agama lain adalah sama dengan sikap yang diperlihatkan oleh Islam kepada agama dan penganut agama lain itu.
Keistimewaan Sumbar sebagai daerah istimewa adalah karena penerapan konsep Islam dalam arti yang konsekuen dan konsisten, baik secara konseptual-teoretis maupun praktikal-empiris.
Masalah-masalah terkait, seperti adanya kelompok etnik minoritas yang non-Minangkabau yang juga menempati wilayah DI Sumbar, seperti suku Mentawai, transmigran Jawa, dan etnik China, tentunya bisa dicarikan solusi dengan Sumbar menjadi DI itu.
Bukankah hal yang senada di mana-mana, seperti di Aceh, Papua, dan DIY, itu juga bersua. Dengan gerakan kembali ke Nagari, rakyat dan masyarakat diharapkan juga terselamatkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar