Nasib Nagari di Sumbar
Mochtar Naim ;
Sosiolog
|
KOMPAS,
30 Januari 2014
DENGAN diratifikasinya Rancangan
Undang-Undang Pemerintahan Desa menjadi UU pada Desember lalu, maka nasib
Nagari di Minangkabau dan Sumatera Barat khususnya dalam konteks NKRI jelas
sudah.
Karena Negara Kesatuan Republik
Republik Indonesia (NKRI) dasarnya adalah unitarisme, satu kesatuan sistem
administrasi pemerintahan yang seragam dari atas sampai ke bawah untuk
seluruh Indonesia, Nagari tidak punya pilihan lain kecuali melebur diri
kembali jadi desa seperti di Jawa, sesuai UU Desa yang baru itu.
Maka cerita pun berulang seperti
masa Orde Baru ketika Nagari dan semua sistem lokal yang beragam di Nusantara
diwajibkan mengikuti cara di desa di Jawa.
Kecuali kalau rakyat dan
masyarakat serta unsur pemerintahan yang berfungsi di Sumatera Barat (Sumbar)
mau menerapkan peluang yang diberikan oleh pasal 18 B ayat (2) dari UUD 1945,
seperti yang sekarang diikuti di Aceh dan Papua selain Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY).
Masyarakat dan rakyat Sumbar
sekarang dalam keadaan renyuh dan linglung, mau kembali ke desa lagi setelah
beralih kembali ke Nagari di masa Reformasi ini, atau secara ksatria
mengajukan tuntutan untuk mendapatkan hak khusus sebagai daerah istimewa
Sumbar atau Minangkabau.
Sesuai dengan bunyi Pasal 18 B
Ayat (2) UUD 1945, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hal tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dengan undang-undang.”
Memilih
istimewa
Kelihatannya yang akan dipilih
oleh rakyat Sumbar adalah mengajukan penerapan pasal 18 B ayat (2) dari
UUD1945 itu, dengan tetap menjadikan Nagari sebagai unit kesatuan
administratif pemerintahan terendah di bawah kabupaten dan kecamatan yang
sekaligus berfungsi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Karena ini berlaku untuk seluruh
wilayah administratif Provinsi Sumbar, maka yang dituntut adalah daerah
istimewa Sumbar ataupun Minangkabau seperti yang juga berlaku di DI Aceh
Darussalam, Papua, dan DIY.
Dengan Nagari tetap dipertahankan
sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa di
Jawa di bawah naungan daerah istimewa Provinsi Sumbar, maka Nagari di Sumbar
memiliki empat fungsi utama.
Pertama, Nagari sebagai unit
kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa seperti di Jawa.
Kedua, Nagari sebagai unit
kesatuan keamanan dan pengamanan di bawah komando wali nagari dengan
dubalangnya dalam menggerakkan pemuda berfungsi
sebagai parik-paga Nagari. Kesatuan polisi di kecamatan baru turun
ke Nagari jika tenaga mereka memang diperlukan dan diminta.
Ketiga, Nagari sebagai unit kesatuan
usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya kolektif- korporatif, dengan prinsip
koperasi syariah.
Dengan Nagari memiliki tanah
ulayat Nagari, di samping hak-hak ulayat lainnya, seperti perkampungan,
perhutanan, perkebunan, air, sungai, dan pantai, maka hak guna usaha yang
selama ini diberikan kepada unit usaha ekonomi swasta yang dalam praktik
diborong habis oleh perusahaan swasta konglomerat yang dalam praktik juga
menguasai ekonomi Nusantara dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan
udara, perlu direkonstruksi kembali.
Dengan kembalinya tanah-tanah
ulayat Nagari ke tangan rakyat, usaha bersama yang bersifat saling
menguntungkan (joint-mutually profitable enterprise), seperti yang biasa
berlaku di RRC, Jepang, dan Korea, belakangan juga di Vietnam, Thailand, dan
Malaysia, bisa dikembangkan.
Sementara itu usaha ekonomi
kerakyatan yang sifatnya kolektif-korporatif atas dasar koperasi syariah
perlu digalakkan. Intinya adalah ekonomi dibangun untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Keempat, Nagari sebagai unit
kesatuan adat, sosial-budaya, dan agama. Dasar filosofi yang dipakai dan
mendasari adalah prinsip ajaran ”ABS-SBK”—Adat Bersendi Syarak, Syarak
Bersendi Kitabullah.
Minangkabau adalah Negeri Beradat
dan Beragama. Adatnya adalah adat matrilineal Minangkabau yang dasarnya
adalah egaliter-demokratis. Agamanya adalah Islam dengan kitabnya adalah Al
Quran Kitabullah.
Prinsip
ketuhanan
Dengan itu masyarakat dan
kebudayaan Minangkabau menerapkan prinsip sila pertama Pancasila: ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” dalam artian konkret, konsekuen, dan fundamental. Agama apa
pun yang tidak berdasarkan kepada Ketuhanan YME tidak diterima sebagai
pegangan hidup.
Sikap terhadap agama dan penganut
agama lain adalah sama dengan sikap yang diperlihatkan oleh Islam kepada
agama dan penganut agama lain itu.
Keistimewaan Sumbar sebagai daerah
istimewa adalah karena penerapan konsep Islam dalam arti yang konsekuen dan
konsisten, baik secara konseptual-teoretis maupun praktikal-empiris.
Masalah-masalah terkait, seperti
adanya kelompok etnik minoritas yang non-Minangkabau yang juga menempati
wilayah DI Sumbar, seperti suku Mentawai, transmigran Jawa, dan etnik China,
tentunya bisa dicarikan solusi dengan Sumbar menjadi DI itu.
Bukankah hal yang senada di mana-mana,
seperti di Aceh, Papua, dan DIY, itu juga bersua. Dengan gerakan kembali ke
Nagari, rakyat dan masyarakat diharapkan juga terselamatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar