Imlek, Spirit Kuda dan Bela Rasa
Tom Saptaatmaja ;
Teolog
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2014
Tahun Baru Imlek 2565 jatuh pada 31 Januari
2014 Tahun Masehi. Dalam sejarah tercatat, penanggalan Imlek dimulai sejak
tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee/ Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan
siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya.
Imlek semula dirayakan oleh segenap suku bangsa yang berlatar belakang budaya China. Lalu dalam perkembangannya para tetangga China seperti Mongol, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja juga ikut merayakannya. Bagaimana Imlek di negeri kita? Nasib Imlek di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari kooptasi negara terhadap etnis Tionghoa. Waktu dijajah Belanda, Imlek pernah dilarang untuk dirayakan. Pada penjajahan Jepang, Imlek pernah menjadi hari libur resmi berdasar keputusan Osamu Seirei No 26 tanggal 1 Agustus 1942. Inilah kali pertama dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur, yaitu Imlek pada 1943 Masehi. Pada era Soekarno dari 1945-1964, Imlek boleh dirayakan. Namun selama era Soeharto, mulai Imlek 1965-1998, tahun baru yang berawal dari adat petani ini dilarang di ranah publik sesuai Inpres No 14/1967. Pelarangan Imlek di era penjajahan Belanda atau pada era Orba mengindikasikan peran etnis Tionghoa sungguh dimarjinalkan. Tionghoa hanya dijadikan minoritas perantara atau middlemen minority (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di Singapura). Perantara di sini, maksudnya, golongan Tionghoa hanya dimanfaatkan sebagai perantara atau mesin pencetak uang atau binatang ekonomi oleh elite penguasa. Peran seperti inilah yang lalu gampang memicu konflik Syukurlah, lewat Keppres RI No 6/2000, Presiden Gus Dur, Si Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut Inpres yang memarjinalkan etnis Tionghoa di segala bidang dan hanya menjadikan etnis Tionghoa sebagai binatang ekonomi. Megawati menindaklanjuti Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres No 19/ 2002 yang meresmikan Imlek sebagai Hari Libur Nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003). Malah pada era SBY, berembus angin segar bahwa etnis Tionghoa sungguh diterima sebagai bagian integral bangsa ini. Bukan hanya Imlek tetap bebas dirayakan, malah ada regulasi yang menjamin kesetaraan etnis Tionghoa dengan anak bangsa yang lain. Contohnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Ras. Ini jelas garansi bahwa secara politik keberadaan etnis Tionghoa sederajat dengan anak bangsa yang lain. Dengan iklim yang kondusif, jelas setiap etnis Tionghoa di negeri ini ditantang memberikan kontribusi yang lebih positif. Peran perantara sebagai ”binatang ekonomi” yang berkonotasi negatif jelas harus dilepas. Tapi peran perantara yang bisa menjembatani kepentingan banyak elemen bangsa, mutlak harus diambil. Mengapa? Pasalnya, etnis Tionghoa di negeri ini tidak bisa dikait-kaitkan dengan agama tertentu karena Tionghoa di negeri ini bisa beragama apa saja (mulai Kristen, Tao, Buddha, Islam, Konghucu. Kuda dan Kebijaksanaan Imlek tahun ini memasuki tahun kuda kayu. Dalam kalender China, binatang atau hewan memang memiliki peran penting, sebagaimana peradaban lain. Memang, sejak sejarah peradaban manusia ditorehkan di masa silam hingga saat ini, binatang punya peran dan kontribusi yang tidak bisa disebut kecil. Kisah penciptaan sebagaimana direkam Alquran atau Kitab Kejadian dalam Injil, merekam banyak jejak binatang. Bahkan, tampilan fisik satwa tertentu dipakai sebagai simbol atau lambang dari kuasa ilahi dalam praktik agama-agama kuno di Yunani, Mesir, Babilonia, Persia, India, atau China. Guru-guru kebijaksanaan atau filosof juga gemar mengajarkan etika, moral atau kebajikan hidup dengan memanfaatkan binatang. Misalnya fabel atau dongeng tentang binatang. Demikian pula dalam peradaban China, nama-nama tahun dikaitkan dengan hewan tertentu, agar setiap tahun manusia belajar tentang kebijaksanaan hidup yang bisa dipakai sepanjang tahun. Imlek tahun ini, kita memasuki tahun kuda. Sebagai hewan, kuda dikenal memiliki kecepatan tinggi, gerakannya gesit dan bisa menjadi tunggangan manusia bahkan membawa banyak beban berat. Para raja dan tentara di masa lalu, bahkan di masa kini seperti para bangsawan Inggris masih gemar memanfaatkan kuda. Kuda merupakan simbol keberanian menghadapi tantangan, menyongsong sukses atau kemenangan. Cuma arah atau tujuan kuda perlu dikendalikan agar sampai ke tujuan. Sebab tanpa pengendalian diri dan asal berlari, bisa-bisa justru membuat penunggangnya tersesat. Di sinilah diperlukan kepemimpinan yang kuat namun bijaksana. Kepedulian dan Bela Rasa Tahun ini, negeri kita memasuki tahun politik yang ditandai dengan pileg dan pilpres. Tujuannya agar kelak lahir pemimpin dan wakil rakyat yang punya visi, berkarakter, punya kompetensi dan kapabilitas untuk bersama rakyat memajukan negeri ini. Sayang selama ini, para pemimpin dan wakil rakyat kerap hanya lebih suka mengumbar dan memuaskan egonya serta mengabaikan kepentingan rakyat. Tak heran negeri yang melimpah ruah dengan potensi ini, masih menjadi negeri sukar maju, karena terus digerogoti para elitenya lewat cara korupsi dan praksis politik yang mengabaikan etika yang berujung pada kesengsaraan rakyat banyak. Setiap anak bangsa, termasuk etnis Tionghoa, punya tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dalam pileg dan pilpres, agar kelak lahir pemimpin dan wakil rakyat yang peduli dan punya bela rasa dengan rakyat. Kedua hajatan politik ini pasti menyita perhatian. Maka kita semua, termasuk etnis Tionghoa tidak boleh hanya sibuk dengan urusan dan kepentingan sendiri, terlebih di tengah kondisi negeri dilanda beragam bencana. Membanggakan sekali, ternyata cukup banyak anak bangsa terpanggil meringankan beban saudara-saudara sebangsa yang menjadi korban bencana banjir (Jakarta, Manado, dsb) atau letusan gunung berapi (Sinabung). Ini jelas modal sosial yang perlu terus dijaga dan dikembangkan. Kepedulian dan bela rasa itu memang perlu dijaga dan diasah terus dengan cara ditunjukkan ke publik. Bukan dengan motif untuk tebar pesona atau mencari pujian manusia lain serta mencari keuntungan politik, melainkan dengan kepedulian dan bela rasa tidak cukup hanya dengan memberi angpau uang recehan atau berupa sembako. Yang mendesak, perlu dicari akarnya kenapa masih terjadi ketidakadilan dan kesenjangan besar dalam masyarakat kita, mengingat masih banyaknya petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan kaum marjinal yang terjerat kemiskinan dan keterbelakangan. Tanpa adanya pemimpin yang mau peduli dan berbela rasa dengan nasib kaum miskin, jelas Indonesia yang lebih baik hanya akan menjadi retorika belaka. Tapi dengan pemimpin dan wakil rakyat yang bersemangat kuda yang rela membawa beban rakyat khususnya kaum papa dan berani melawan tantangan, Indonesia yang lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera itu, masih mungkin kita raih bersama. Gong Xi Fat Chai 2565. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar