Mundur
demi Konvensi
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta |
KORAN
SINDO, 01 Februari 2014
Akhirnya Gita Wirjawan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri perdagangan. Langkah taktis
yang dibuat Gita di penghujung masa pemerintahan SBY ini menuai banyak
reaksi.
Meski rumor tentang pengunduran dirinya sudah lama berembus, pilihan momentum untuk pergi memantik spekulasi dan kalkulasi politik terutama terkait peta kekuatan yang bertarung di konvensi Partai Demokrat. Akankah langkah Gita menaikkan popularitas dan elektabilitasnya di gelanggang pertarungan menuju RI-1 lewat kapal Demokrat? Manajemen Kesan Jika melihat dari perspektif komunikasi politik, apa yang dilakukan Gita ini sepertinya manuver dalam manajemen kesan. Gita sadar benar bahwa dirinya sedang menjadi pelakon (aktor) yang mengikuti plot cerita penuh drama, intrik, hubungan antagonistis, dan tentu dia ingin keluar sebagai tokoh protagonis yang mendapat simpati, dukungan, bahkan bintang atau pemenang. Konvensi Demokrat merupakan panggung sesak yang diisi banyak pemain watak meski sebagian besar di antaranya bukan bintang luar biasa yang sedang diminati pasar pemilih 2014. Pengelolaan kesan (impression management) sama atau sebangun dengan pencitraan. Teori Pengelolaan Kesan dikenalkan oleh Erving Goffman (1959). Substansi pemikiran Goffman senada dengangurunnya, George Herbert Mead, yang menggaris bawahi makna social dari diri(self) melalui pengambilan peran orang lain. Seseorang membangun konsep dirinya lewat pandangan orang lain terhadapnya. Apa yang dilakukan Gita harus dibaca utuh dalam konteks mengelola pandangan khalayak terhada pposisinya sebagai pemain di konvensi dan menteri sekaligus. Tampaknya ada tiga kesan yang dikelola Gita di momentum pengunduran dirinya. Pertama, dia ingin menanamkan persepsi di khalayak bahwa dia menjawab ekspektasi banyak orang terkait sejumlah paradoks yang sudah dan akan muncul saat seorang pejabat publik seperti menteri harus bertarung di proses politik cukup panjang bernama konvensi. Kritik banyak pihak bahwa para pejabat publik yang menjadi kontestan konvensi akan memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dengan segudang program kerjanya sebagai menteri. Mulai dari soal pembagian waktu dan konsentrasi, hingga rawannya beragam program yang ditunggangi demi popularitas. Gita salah satu kontestan konvensi yang dikritik habis-habisan saat tampil menjadi penunggang bebas popularitas di beragam iklan “Cinta Produk Dalam Negeri”. Intensitas tayangan beragam iklan di media massa dan media luar ruang serta bingkai isi iklan yang lebih menonjolkan sosok Gita dibanding pesannya sendiri menyebabkan kegusaran bahkan kemarahan banyak kalangan. Jumlah uang yang digelontorkan pun tak sedikit. Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan bahwa sepanjang 2012 Kemendag telah melelang pengadaan iklan dan segala macam bentuk publikasi lain sebesar Rp83.610.152.000. Publisitas politik menteri Gita ini memang secara kasatmata tak melanggar hukum, tetapi ada aspek etika yang tercederai akibat konflik kepentingan dirinya sebagai menteri dan sebagai peserta konvensi. Denton dan Woodward dalam bukunya, Ethical Dimensions of Political Communication (1991), pernah mengingatkan bahwa komunikasi politik bukan semata sumber atau komunikator dalam hal ini Gita, melainkan juga isi pesan dan tujuannya. Gita memiliki hambatan untuk meyakinkan publik bahwa dia sosok baik yang layak dipertimbangkan kala dia mengayuh dua perahu secara bersamaan yakni urusan publik terkait dengan beragam program Kementerian Perdagangan dengan konvensi Demokrat yang membuat dia harus partisan. Pengunduran dirinya ingin meletakkan persepsi positif bahwa dia telah memutuskan untuk mengakhiri posisi dilematisnya tersebut. Kedua, Gita juga tentu ingin mengesankan dirinya berbeda dengan peserta konvensi lain. Apa yang dilakukan Gita akan menjadi bola panas sekaligus tantangan untuk semua kontestan konvensi lain yang umumnya pejabat publik. Sebagaimana kita ketahui kontestan lain ada yang PNS, ketua DPR, ketua DPD, pimpinan BPK, gubernur, dan menteri. Meski tak secara langsung menantang pihak lain, sesungguhnya apa yang dilakukan Gita juga akan dikaitkan dengan posisi para kompetitor lain itu. Dengan demikian, Gita sedang memainkan langkah mundur untuk mendapat insentif elektoral. Ketiga, Gita sepertinya sedang mengelola kesan serius menapaki urusan politik. Dia tampak sekali ingin dipandang sebagai petarung sungguhan, bukan petarung paruh waktu yang hanya memosisikan diri sebagai pelengkap penderita dari proses politik yang dilaluinya. Kehilangan Momentum Pengunduran diri Gita memang sudah kehilangan momentum jika dibaca dalam konteks dinamika politik kekinian. Pertama, dia akan mendapat simpati publik jika mengundurkan diri sejak awal dideklarasikan sebagai satu di antara 11 kontestan konvensi. Memang rumornya dia sudah mengajukan pengunduran diri hingga tiga kali. Tapi, seberapa kuat dia menegosiasikan diri untuk berhenti dari jabatannya itu. Publik tak peduli dengan urusan panggung belakang, yang akan dinilai, diapresiasi, atau dicaci adalah tindakan si aktor di panggung depan. Wajar jika dalam pengunduran dirinya kemarin banyak pihak bertanya: kenapa baru sekarang? Jika memang serius ingin menghindari konflik kepentingan, Gita seharusnya benar-benar serius keluar dari jajaran pemerintahan sejak awal. Momentum juga harus dibaca sebagai pesan, bukan semata penggalan waktu tanpa makna. Jika skenarionya dijalankan sekarang, jangan salahkan publik jika menginterpretasi langkah Gita sebagai manuver pencitraan semata. Karena itu, pengunduran diri Gita jangan menihilkan evaluasi terhadap tanggung jawab dia selama menjadi nakhoda di Kementerian Perdagangan. Kedua, langkah nyata Gita di konvensi juga nyaris kehilangan momentum. Di tengah pacuan terakhir menuju pengumuman pemenang, strategi Gita masih dominan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya lewat iklan di media massa serta penetrasi ke jejaring sosial. Tak disangkal memang langkah Gita menggarap sisi pencitraan sangat menonjol di banding kontestan lain. Nyaris tak ada saluran komunikasi politik yang dia lewatkan. Mulai dari pertemuan informal, media, struktur sosial tradisional lewat tokoh-tokoh, dan internet. Hanya, Gita harus menyadari bahwa momentum pertarungan 2014 ini masyarakat justru sedang mencari sosok yang berbeda, bahkan menjadi antitesis dari gaya SBY yang berbalut pencitraan. Bukan lagi paket komplit ganteng, tinggi, bisa main musik, pandai beretorika, dan mesra dengan Amerika seperti SBY, melainkan juga sosok yang punya rekam jejak nyata dalam kinerjanya untuk rakyat! Sosok transformatif yang bisa menggerakkan orang tanpa harus memakai make up tebal pencitraan. Apa pun langkah Gita tentu menjadi perjudian untuknya termasuk kemungkinan mendapat bintang atau menepi dari gelanggang permainan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar