Mother Earth
Komaruddin Hidayat ;
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2014
Dalam bahasa Arab dan Inggris,
bumi diposisikan dalam kategori perempuan. Begitupun dalam bahasa Indonesia
sehingga dikenal istilah “ibu pertiwi”. Ini menunjukkan sikap sangat bijak,
santun, serta dalam bahwa manusia memang sewajarnya dan seharusnya
menghormati sosok ibu yang memiliki karakter mencintai, memberi, dan melayani
(loving, giving, and caring). Ada
sabda Rasulullah yang terkenal:
Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Ada lagi sabdanya yang lain bahwa keridaan Allah itu bergantung pada keridaan orang tua, terutama sang ibu. Kebenaran sabda Rasulullah itu banyak diyakini dan dibuktikan oleh masyarakat, bahkan juga tidak terbatas pada umat Islam. Bangsa dan masyarakat mana pun, apa pun agamanya, memiliki keyakinan dan tradisi menghormati ibu. Siapa yang mendapatkan kutukan dari ibu, hilanglah kehidupan surgawinya, baik di dunia maupun di akhirat. Sekarang ini kita melihat dan merasakan sendiri, bagaimana sengsaranya kehidupan masyarakat ketika tidak pandaipandai menghargai mother earth. Mereka yang menyatakan diri sebagai masyarakat modern, berpendidikan tinggi, menguasai iptek, namun tidak jaminan memperoleh kehidupan surgawi, kehidupan yang aman sejahtera, ketika mendapatkan kemarahan dari bumi. Banjir di mana-mana. Hutan rusak. Pendeknya, ekologi alam telah dirusak oleh anak-anaknya sendiri. Yang mengherankan, mereka yang paling merusak dan durhaka pada ibu pertiwi adalah mereka yang telah mendapatkan pendidikan tinggi dan secara ekonomi kaya-raya. Jangan sampai dilupakan, kekayaan apa pun yang dibanggakan oleh manusia semua diambil dari bumi. Semaju dan secanggih teknologi yang dikembangkan dan dibanggakan manusia, semua berasal dari bumi. Ketika orang berbangga dengan produk teknologi automotif, semua bahan bodi dan bahan bakarnya disediakan dan diambil dari kandungan bumi. Begitupun rumah megah, makanan, dan pakaian mewah, semua dilayani oleh mother earth. Perhiasan emas sampai berlian itu bahkan semua karena kasih sayang bumi pada manusia. Karena itu, sangat tepat bumi lalu diberi predikat sebagai ibu pertiwi. Surga berada di bawah telapak kakinya. Siapa yang durhaka, tidak mau merawat dengan baikbaik akan dicap sebagai malin kundang, yang berubah jadi batu. Yang jadi batu dan membatu adalah hati dan pikirannya, tak lagi memiliki hati nurani, akal sehatnya tak lagi berfungsi. Kekayaan dan fasilitas yang disediakan mother earth berubah jadi malapetaka. Jadi sumber rebutan, pertikaian, dan peperangan. Kehidupan surgawi lenyap, berubah jadi neraka. Perilaku alam itu selalu taat berislam pada Tuhannya. Begitu kata Alquran. Dia berserah diri mengikuti hukum-hukumnya yang telah diciptakan Tuhan. Walahu aslama man fissamawati wal ardhi. Air selalu mengalir ke tempat yang rendah, begitulah perilaku air mengikuti hukum Tuhan. Air hujan diturunkan untuk menyuburkan tanah. Begitulah hukum Tuhan. Matahari berputar pada porosnya. Itulah takdir Tuhan yang telah didekritkan. Jadi, semesta ini, menurut Alquran, berislam sesuai fitrahnya tanpa pernah membangkang. Yang memiliki potensi dan sering membangkang terhadap hukum Tuhan adalah manusia karena manusia diberi akal pikiran dan kebebasan berkehendak. Manusia memiliki anugerah dan sekaligus ujian paling mahal yang tidak dimiliki makhluk lain yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan inilah yang mestinya menjadi modal untuk meningkatkan darma bakti pada mother earth sebagai rasa syukur pada Tuhan. Namun, kemerdekaan dan kecerdasan inilah yang seringkali menjerumuskan manusia karena kerakusan dan kesombongannya. Mereka lupa diri bahwa melawan mother earth tak mungkin menang. Manusia tak mungkin memenangkan dan mengubah hukum Tuhan yang telah menjelma menjadi hukum alam. Yang mestinya dilakukan adalah memahami hukum alam, lalu bersahabat dengan alam, dan lebih tinggi lagi adalah merawat dan mencintai alam, rumah kita. Ibu kita semua. Hujan itu pada dasarnya anugerah alam agar tanah subur yaitu kualitas air yang telah dipisahkan dari zat garamnya lewat tangan matahari agar terjadi penguapan, lalu dibawa oleh angin ke daratan, lalu disimpan oleh hutan demi untuk melayani kebutuhan manusia. Jadi, betapa sombong, bodoh, dan rakusnya ketika masyarakat semakin merasa modern, merasa semakin maju pendidikannya, namun semakin tidak mau dan tidak mampu memahami dan bersahabat dengan alam yang amat sangat baik. Yang selalu giving, loving, and caring. Memberi, mencintai, dan melayani manusia. Hutan kita rusak. Danau-danau sebagai waduk air kian menyempit untuk membangun rumah megah yang hanya menimbulkan kecemburuan sosial dan penyebab banjir. Sungai- sungai ibarat saluran pembuluh darah kita tutup dengan sampah-sampah sehingga terjadi kolesterol yang ujungnya stroke. Tubuh negara dan masyarakat jadi lumpuh. Banyak organ-organnya yang tidak berfungsi. Hidup menjadi tidak produktif, bahkan menelan biaya mahal. Siapa lagi kalau bukan mother earth yang menyediakan sumber anggaran. Ironis. Setiap tahun kita semua berkeluh kesah, bertengkar, dan menderita akibat banjir, lalu lintas macet, perekonomian lumpuh, politisi sibuk bertengkar. Semua itu tak lebih sebagai tontonan akibat kebodohan, kesombongan, dan kerakusan kita. Sampai kapan drama memperolok-olok diri sendiri ini akan berakhir? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar