Kamis, 20 Februari 2014

Membaca Arah Politik PPP

Membaca Arah Politik PPP

Wildani Hefni  ;    Staf pada Subdit Penelitian dan Publikasi Ilmiah
Kementerian Agama RI
REPUBLIKA,  20 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Musyawarah Kerja Nasional II (Mukernas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meng hasilkan sebuah strategi politik yang tak mudah dibaca oleh siapa pun. Mukernas II yang rencananya akan menetapkan capres tunggal dari PPP ternyata batal. Apa yang dilakukan PPP ini mengingatkan publik pada analisis William Liddle (1987) yang mengatakan bahwa PPP adalah partai yang unpredictable.

Sejak dulu, partai berlambang Ka'bah itu merepresentasikan dirinya sebagai partai yang sulit untuk diprediksi. PPP dengan segala strateginya berusaha untuk menghindar dari analisis politik yang berusaha dibaca oleh lawan maupun pengamat politik. Dengan segala peranti yang dimiliki, PPP berjalan melewati lorong yang berbeda dengan kebanyakan partai lain yang mudah ditebak oleh para praktisi politik.

Keunikan partai ini bisa dilihat dari sejarahnya dalam perjalanan politik di Indonesia. Sebagai peserta sistem politik yang disetir dari atas agar jinak, tanpa disangka-sangka PPP tampil men jadi partai yang selalu bersuara sumbang terhadap pemerintah. Pada 1973, PPP menjadi partai yang paling kuat membantah Orba dengan menolak UU Perkawin an yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. 

Pada 1978, PPP menolak konsep Nor malisasi Kehidupan Kampus atau Badan Kooordinasi Kemahasiswaan (NKK/ - BKK). Ekstremitas ini berlanjut saat PPP menolak P4 (Pedoman Pengha yatan dan Pe ng amalan Pancasila) dengan walk out pada sidang MPR tahun 1978.

Saat ini, keunikan itu muncul dari hasil mukernas yang menetapkan bakal calon presiden dan wakil presiden dari internal dan eksternal partai. Mereka adalah Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Bupati Kutai Timur Isran Noor, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddyqi, dan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Khofifah Indar Parawansa.

Dalam konteks ini, PPP hendak memainkan mesin kekuatan sebagai strategi transfer kehendak politik sebagaimana teori ideologi yang diperkenalkan Louis Alhuster dalam Essays On Ideology (1976). PPP tidak menetapkan calon tunggal capres yang akan diusung dalam perhelatan demokrasi April mendatang, justru kemudian mengangkat tokoh-tokoh nasional yang popularitasnya sangat tinggi dan tengah menjadi perebutan parpol. Dalam hal ini, kata Alhuster, mesin kekuatan internal akan berkembang dalam wacana masyarakat dan diasosiasikan menjadi sesuatu yang mengkristal. Positifnya, strategi ini bisa mengang - kat popularitas dan elektabilitas PPP.

Iklim sejuk Sejak kelahirannya pada 1973, saat ini PPP kali kedua dipimpin oleh figur yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Suryadharma Ali (SDA), setelah Hamzah Haz. PPP adalah partai yang di usung oleh empat fusi yaitu NU, Sarekat Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Muslimin Indonesia.

Inklusivisme politik tampak terbuka lebar di lingkungan PPP. Dalam pidato SDA pada Mukernas II di Bandung kemarin (7/2), ia menggunakan frasa "Merah Putih" yang dimaksudkan sebagai asas persatuan dan kesatuan bangsa yang terbuka dan penuh toleransi.

Iklim sejuk sengaja dijadikan jalan dari strategi politik PPP untuk menyelamatkan masa depan partai. Pada saat PPP tampil sebagai partai eksklusif dan selalu menyemprot pemerintah, terbukti pada Pemilu 1987 kursi DPR dari PPP hanya 61. Padahal, pada Pemilu 1977 mendapat kursi 99, dan pada Pemilu 1982 mencapai 94 kursi. Ini adalah tanda PPP ingin mengulang untuk melakukan strategi iklim sejuk sebagaimana yang pernah dilakukan pada 1989.

Kepemimpinan SDA tampaknya mampu mengembalikan kejayaan PPP, bahkan bisa menarik warga NU yang sudah masuk ke dalam tubuh PKB. Roda kepemimpinan SDA berpengaruh besar untuk menarik kembali massa NU yang sudah keluar dari PPP. NU memang men jadi variabel yang berada di tengah- tengah basis PPP dan PKB. Namun, saat ini bukan karena faktor NU atau bukan NU, melainkan diperoleh dari kinerja partai dan sikap partai dalam menyikapi masyarakat, terlebih SDA sedang menjabat menteri agama.

Pada posisi ini, PPP melakukan gerakan taktis melalui kekuatan ide dan kultural sebagai proses konkret yang dalam pengoperasiannya menggunakan struktur material dan institusi (Antonio Gramsci: 1921). PPP tidak lagi memanfaatkan romantisme sejarah di mana umat Islam pernah jadi kekuatan politik. PPP berhasil membaca keadaan ini dan tidak lagi bertumpu pada aspirasi umat Is lam an sich, tapi tampil mewacanakan nasionalisme kebangsaan dan demokratisasi serta menghindar dari jebakan politik aliran.

Jika PPP mampu mereformasi dirinya, melakukan reposisi dan revitalisasi kepemimpinan, bukan tidak mungkin ia menjadi partai istimewa dalam pergelaran hajat demokrasi April mendatang, terlebih PPP selama ini relatif sepi dari isu korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar