Membaca
Arah Politik PPP
Wildani
Hefni
; Staf
pada Subdit Penelitian dan Publikasi Ilmiah
Kementerian
Agama RI
|
REPUBLIKA,
20 Februari 2014
Musyawarah Kerja Nasional II (Mukernas) Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) meng hasilkan sebuah strategi politik yang tak mudah dibaca
oleh siapa pun. Mukernas II yang rencananya akan menetapkan capres tunggal
dari PPP ternyata batal. Apa yang dilakukan PPP ini mengingatkan publik pada
analisis William Liddle (1987) yang mengatakan bahwa PPP adalah partai yang unpredictable.
Sejak dulu, partai berlambang Ka'bah itu merepresentasikan
dirinya sebagai partai yang sulit untuk diprediksi. PPP dengan segala
strateginya berusaha untuk menghindar dari analisis politik yang berusaha
dibaca oleh lawan maupun pengamat politik. Dengan segala peranti yang
dimiliki, PPP berjalan melewati lorong yang berbeda dengan kebanyakan partai
lain yang mudah ditebak oleh para praktisi politik.
Keunikan partai ini bisa dilihat dari sejarahnya dalam
perjalanan politik di Indonesia. Sebagai peserta sistem politik yang disetir
dari atas agar jinak, tanpa disangka-sangka PPP tampil men jadi partai yang
selalu bersuara sumbang terhadap pemerintah. Pada 1973, PPP menjadi partai
yang paling kuat membantah Orba dengan menolak UU Perkawin an yang dianggap
bertentangan dengan syariat Islam.
Pada 1978, PPP menolak konsep Nor malisasi
Kehidupan Kampus atau Badan Kooordinasi Kemahasiswaan (NKK/ - BKK).
Ekstremitas ini berlanjut saat PPP menolak P4 (Pedoman Pengha yatan dan Pe ng
amalan Pancasila) dengan walk out
pada sidang MPR tahun 1978.
Saat ini, keunikan itu muncul dari hasil mukernas yang
menetapkan bakal calon presiden dan wakil presiden dari internal dan
eksternal partai. Mereka adalah Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, mantan wakil
presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Bupati Kutai Timur
Isran Noor, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddyqi, dan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) Khofifah Indar Parawansa.
Dalam konteks ini, PPP hendak memainkan mesin kekuatan
sebagai strategi transfer kehendak politik sebagaimana teori ideologi yang
diperkenalkan Louis Alhuster dalam Essays
On Ideology (1976). PPP tidak menetapkan calon tunggal capres yang akan
diusung dalam perhelatan demokrasi April mendatang, justru kemudian
mengangkat tokoh-tokoh nasional yang popularitasnya sangat tinggi dan tengah
menjadi perebutan parpol. Dalam hal ini, kata Alhuster, mesin kekuatan
internal akan berkembang dalam wacana masyarakat dan diasosiasikan menjadi
sesuatu yang mengkristal. Positifnya, strategi ini bisa mengang - kat
popularitas dan elektabilitas PPP.
Iklim sejuk Sejak kelahirannya pada 1973, saat ini PPP kali
kedua dipimpin oleh figur yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU) yaitu
Suryadharma Ali (SDA), setelah Hamzah Haz. PPP adalah partai yang di usung
oleh empat fusi yaitu NU, Sarekat Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan
Muslimin Indonesia.
Inklusivisme politik tampak terbuka lebar di lingkungan
PPP. Dalam pidato SDA pada Mukernas II di Bandung kemarin (7/2), ia
menggunakan frasa "Merah Putih" yang dimaksudkan sebagai asas
persatuan dan kesatuan bangsa yang terbuka dan penuh toleransi.
Iklim sejuk sengaja dijadikan jalan dari strategi politik
PPP untuk menyelamatkan masa depan partai. Pada saat PPP tampil sebagai
partai eksklusif dan selalu menyemprot pemerintah, terbukti pada Pemilu 1987
kursi DPR dari PPP hanya 61. Padahal, pada Pemilu 1977 mendapat kursi 99, dan
pada Pemilu 1982 mencapai 94 kursi. Ini adalah tanda PPP ingin mengulang
untuk melakukan strategi iklim sejuk sebagaimana yang pernah dilakukan pada
1989.
Kepemimpinan SDA tampaknya mampu mengembalikan kejayaan
PPP, bahkan bisa menarik warga NU yang sudah masuk ke dalam tubuh PKB. Roda
kepemimpinan SDA berpengaruh besar untuk menarik kembali massa NU yang sudah
keluar dari PPP. NU memang men jadi variabel yang berada di tengah- tengah
basis PPP dan PKB. Namun, saat ini bukan karena faktor NU atau bukan NU,
melainkan diperoleh dari kinerja partai dan sikap partai dalam menyikapi
masyarakat, terlebih SDA sedang menjabat menteri agama.
Pada posisi ini, PPP melakukan gerakan taktis melalui
kekuatan ide dan kultural sebagai proses konkret yang dalam pengoperasiannya
menggunakan struktur material dan institusi (Antonio Gramsci: 1921). PPP tidak lagi memanfaatkan romantisme
sejarah di mana umat Islam pernah jadi kekuatan politik. PPP berhasil membaca
keadaan ini dan tidak lagi bertumpu pada aspirasi umat Is lam an sich, tapi tampil mewacanakan nasionalisme
kebangsaan dan demokratisasi serta menghindar dari jebakan politik aliran.
Jika PPP mampu mereformasi dirinya, melakukan reposisi dan
revitalisasi kepemimpinan, bukan tidak mungkin ia menjadi partai istimewa
dalam pergelaran hajat demokrasi April mendatang, terlebih PPP selama ini
relatif sepi dari isu korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar