Kamis, 20 Februari 2014

Gerakan Relawan

Gerakan Relawan

Ismatillah A Nu’ad  ;    Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina
REPUBLIKA,  20 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Respons pemerintah terhadap upaya pencegahan bencana alam, seperti terjadinya erupsi Gunung Kelud dan Sinabung, sangat penting untuk mengoptimalkan adanya gerakan relawan bertaraf nasional dan membuat jaringan relawan multinasional. Persiapan dini (early warning system) bukan berarti mempersiapkan hanya sebatas ketika akan terjadi bencana. Atau mempersiapkan, namun dalam tenggang waktu yang sifatnya temporer. 

Dalam dataran itu, ketika bencana sudah lama tidak datang, bukan berarti persiapan itu lantas ditiadakan. Seharusnya yang dimaksud persiapan dini terus bersifat kontinu, bahkan mestinya distrukturkan menjadi sebentuk kelembagaan yang permanen. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), misalnya, kinerjanya perlu dimaksimalkan.

Tugas relawan, seperti juga yang dikembangkan di negara-negara maju, tak hanya bertugas pada masalah-masalah praktis, seperti mengevakuasi di daerah yang terkena bencana, atau merestrukturasi bangunan-bangunan yang hancur dan sebagainya. Namun, tugasnya diperluas dalam bentuk memberi bantuan dalam bidang pendidikan, masalah medis, informasi, keterampilan, dll.

Di Australia, menurut laporan Peter Britton, seorang manajer senior di Australian Volunteer International telah mengembangkan dunia relawan semenjak dekade 50-an. Saat ini bidang volunteerism sudah sangat mapan dan bersifat permanen, bahkan go-international. Lebih dari 5.000 relawan dari Australia pada tahun 80-90-an pernah disebarkan ke negara-negara seperti Afrika, kepulauan di Pasifik, Amerika Latin, Timur Tengah, maupun pada suku asli Australia, yang membutuhkan bantuan pertolongan dalam bidang medis dan kesehatan, pendidikan dan pengajaran, teknologi informasi, keterampilan sosial, dan pertanian.

Para relawan itu bekerja baik untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun untuk masyarakat sipil (LSM) atau pihak-pihak swasta. Mereka diambil dari berbagai kalangan yang memiliki idealisme dan tanggung jawab serta memiliki kepekaan (sensitivitas) pada masalah-masalah sosial. Mereka dibekali kemampuan atau mendapat pelatihan-pelatihan khusus dari lembaga yang menyelenggarakan relawan itu. Di Australia, dunia relawan tak hanya bagi kepentingan negara-bangsa, namun dunia relawan juga diperuntukkan bagi negara-negara-bangsa yang membutuhkannya, dan dieksekusi dalam sebuah jaringan international volunteerism. (Peter Britton, International Volunteerism and Global Survival, 2002). 

Satu hal penting lagi, para relawan memiliki latar belakang komitmen pada keinginan dan kecintaan mereka untuk perdamaian. Dedikasi mereka ditujukan tak hanya bagi kepentingan negara itu sendiri, tapi lebih karena kepedulian untuk menolong sesama, belajar membina sensitivitas sosial, membuka hubungan dengan beragam etnis, budaya, dst. Para relawan memberi kontribusi bagi pengembangan sebuah komunitas yang terkena bencana atau sebuah "komunitas-terbelakang" dilandasi kesetaraan hubungan kemanusiaan. 

Dalam soal-soal hubungan kemanusiaan itu, kebijakan pemerintah di Indonesia jarang sekali menyentuh aspek yang spesifik, seperti apa yang terjadi di Australia, misalnya, dalam pengembangan relawan internasional. Di Indonesia, langkah yang paling memungkinkan pada masalah hubungan kemanusiaan itu biasanya sering dilakukan oleh lembaga-lembaga non-pemerintahan. LSM dalam hal itu tidak bekerja sama dengan pemerintah. Mereka lebih banyak berhubungan dengan pihak-pihak luar, baik dengan pemerintahnya maupun antarsesama.

Bahkan, yang terjadi di Indonesia, peranan LSM jika dibilang kurang begitu harmonis dengan pemerintah. LSM kebanyakan menjadi pihak oposisi pada kebijakan-kebijakan pemerintah, atau malah selangkah lebih maju daripada peranan pemerintah, khususnya dalam hal pembangunan hubungan sosial-kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal demikian, berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain, pemerintah seharusnya mengakomodasi LSM-LSM itu, mengayominya atau bahkan mendonor dalam rangka membantu menyelesaikan problem-problem kebangsaan.

Di India dan Pakistan, relawan nasional bentukan LSM yang mengampanyekan bahaya HIV/AIDS dan bagaimana harus menghindarinya, didukung oleh pihak-pihak lokal, baik pemerintah maupun lembaga donor lokal. Seorang aktivis dari Asian Resources Foundation, Thailand, Lekha Paireepinath, menyebut betapa esensialnya dunia relawan atas kelangsungan hidup kemanusiaan: bagi wanita yang sering terkena dampak patriarki sosial, anak-anak telantar, pengungsi bencana maupun perang dst yang terjadi dalam sebuah komunitas negara atau local area. (Lekha Paireepinath, Volunteerism and Human Survival, 2002). 

Memang jauh dari memadai jika persoalan kemanusiaan ditimpakan hanya kepada pemerintah atau hanya pada pihak-pihak non-pemerintah. Semestinya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun LSM-LSM yang beroperasi, baik di pusat maupun di daerah, bergerak dalam satu visi kemanusiaan demi kesejahteraan dan kecintaan. Dalam hal itu, sudah saatnya Indonesia sebagai negara-bangsa memiliki sistem yang mapan dalam soal relawan, sebagaimana di negara-negara seperti Thailand, India, Pakistan, Australia, Jepang, Amerika, dan di negara-negara Eropa. 

Dunia relawan merupakan perimbangan atas terjadinya bencana dan disparitas sosial di dalam masyarakat kurang beruntung dan daerah-daerah terpencil. Indonesia bagaimanapun masih memiliki hampir semua problematik kemanusiaan, tak hanya bencana alam, tapi juga masih rentan konflik, problem sosial dari mulai anak-anak dan keluarga telantar, mewabahnya penyakit menular HIV/AIDS, dst. Semua itu menuntut upaya perbaikan lewat sebuah sistem yang terlembagakan dan diartikulasi oleh relawan-relawan kemanusiaan secara profesional, baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah.

Dengan jaringan relawan nasional itu, ketika kita melihat tragedi kemanusiaan, kita tidak lagi berpikir mengapa dan apa yang harus diperbuat, dengan sebuah tanda tanya yang membingungkan. Melainkan kita sudah selalu siap atas kemungkinan-kemungkinan terburuk akan semua fenomena, baik yang sudah, sedang, maupun belum terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar