Mbah
Man
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
06 Februari 2014
Namanya Rahman. Kami memanggilnya Mbah Man. Januari lalu,
usianya genap 70 tahun. Dalam berkas catatan RT, ia mencantumkan
pekerjaannya: buruh, dengan huruf kapital. Waktu kami membangun masjid, ia
menggali tanah untuk fondasi. Staminanya mengalahkan kami semua, anak-anak
muda 30 tahunan.
Tubuh Mbah Man kecil dan ramping. Rambut memutih seluruhnya. Giginya tinggal empat. Tapi hanya itu organnya yang kalah oleh usia. Sisanya, Mbah Man tak pernah sakit. Sekali masuk rumah sakit ketika ia diseruduk mobil yang sopirnya mengantuk. Di kompleks ini, dialah orang terakhir yang tidur. Jika tak ada musuh adu gaple, ia nongkrong di pos satpam, lalu keliling mengecek sudut-sudut gelap. Ia baru merem selepas subuh dan bangun lagi pukul 7. Setelah itu, ia bekerja. Menukang, mencangkul, dan membetulkan genteng bocor. Jika ada pekerjaan di Jakarta, ia menempuh Bogor-Jakarta bolak-balik dengan sepeda motor. Kami curiga ia tidur sedikit itu karena umur. Semakin tua tubuh, kita semakin tak mengantuk. Kian uzur, tubuh kita tak membutuhkan istirahat lebih. Tapi, kata Mbah Man, ia sudah tidur sedikit sejak di pesantren di Sumenep. Saat remaja, ia pindah ke kampung ibunya di Situbondo, lalu kawin dan merantau ke Jakarta di usia 40. Bekerja apa saja, terutama kerja otot jadi kuli angkut. Sampai hari ini, ia makan apa saja. Sore makan durian, malamnya tak segan menyantap gulai kambing, juga rokok dan kopi yang tak henti. Dan ia tak limbung akibat kolesterol menyumbat pembuluh darah. "Setelah makan yang enak-enak itu, saya makan pepaya, itu saja penawarnya," katanya tadi malam, sewaktu kami mengobrol di pos satpam. Tentu saja bukan cuma pepaya yang membuat tubuhnya liat di usia senja. "Kuncinya pikiran ringan," katanya. Mbah Man selalu gembira. Ia bercanda dengan siapa saja. Setua itu, dia bisa tiba-tiba bilang, "Terus gue harus bilang wow, gitu?" Dan, ini yang penting, "Saya tak pernah menilai orang lain." Dengan menilai, katanya, pikiran akan membuat standar untuk diri sendiri dan orang lain, lalu timbul iri, kemudian dengki, arkian benci. Sikap begini, kata Mbah Man, membuat pikiran dan hati tak bebas. Mbah Man karena itulah tak gampang sakit hati. Jika ia dipecat dari pekerjaan karena dinilai tak becus, ia akan menerima dan berpikir bukan rezekinya. Karena sikap sumeleh seperti itu, Mbah Man banyak teman. Sebab itu pintu rezekinya terbuka lebar. Enam anaknya ia sekolahkan, sudah mandiri, dan punya pekerjaan tetap. Dan, saya kira, Mbah Man masih sehat di usia tua itu karena disokong istrinya yang pengertian. Sejak dinikahinya 50 tahun lalu, Mbah Putri hanya sekali mencarinya, ketika Mbah Man tak pulang tiga hari karena keasyikan main gaple. "Jangan-jangan kami awet berumah tangga itu karena Mbah Putri tak pernah menuntut apa pun dari saya," katanya. Mata Mbah Man masih menyala ketika saya menguap berkali-kali menjelang pukul 12 malam. Saya pamit karena besok harus kerja. Saya, yang belum 40 tahun, butuh tidur setidaknya 5-6 jam sehari agar di kantor tak tersiksa menahan kantuk. Saya berdoa semoga Mbah Man panjang umur dan selalu sehat juga terus bergembira, seperti arti namanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar