MA Melawan MA?
Siti Marwiyah ; Dekan FH Unitomo, Kandidat
Doktor di Unibraw,
Pengurus IKA UII Jatim
|
JAWA
POS, 10 Februari 2014
PADA November 2013 Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis
spektakuler, yakni putusan penjara terhadap dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani,
dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian. Tiga dokter itu terbukti
melakukan malapraktik operasi Caesar yang mengakibatkan pasien Siska Makatey
meninggal dunia.
Oleh jaksa, ketiganya didakwa melakukan kesalahan dalam penanganan pasien Siska Makatey. Cerita ringkasnya, sebelum operasi dilakukan, para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap korban. Selain itu, para terdakwa melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan lainnya setelah dilakukan pembedahan. Padahal, seharusnya prosedur tersebut dilakukan sebelum pembedahan berlangsung. Akibat putusan MA itu, terjadi mogok nasional di kalangan dokter sebagai bentuk solidaritas. Aksi mogok para dokter tersebut bertajuk penolakan penahanan atau pemenjaraan dokter. Putusan hakim-hakim MA (bernomor 90/PID.B/2011/PN.MDO) sebenarnya membalik putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang membebaskan dokter Ayu dan dua koleganya. Kini hakim peninjauan kembali (PK) MA menjatuhkan putusan berbeda dengan hakim MA di tingkat kasasi. Mereka berbeda dalam melakukan analisis tentang peran dr Ayu cs. Hakim-hakim PK menilai, yang dilakukan dr Ayu cs tidak termasuk pelanggaran hukum atau bukan tergolong malapraktik medis. Hakim-hakim PK meminta dr Ayu cs dibebaskan dan segera direhabilitasi nama baiknya. Artinya, hakim-hakim PK menempatkan dr Ayu cs sebagai pencari keadilan yang menjadi korban penerapan sistem peradilan pidana sehingga mereka meminta keadilan diberlakukan atau dikembalikan kepada dr Ayu cs. Karena PK merupakan jalan terakhir bagi pencari keadilan, secara yuridis formal keluarga korban sudah kehilangan jalan untuk mengadukan nasibnya melalui proses hukum. Salahkah hakim di tingkat kasasi (MA) yang telah menjatuhkan vonis penjara untuk dr Ayu cs? Benarkah posisi hakim PK (MA) yang memberikan vonis bebas kepada dr Ayu cs? Profesi medis itu mengandung banyak misteri, yang tidak setiap orang atau pasien memahaminya. Di dunia ini, secara umum posisi pasien bukanlah subjek, melainkan objek yang patuh apa kata dokter. Berbagai bentuk tindakan medis yang dilakukan dokter diterimanya dengan pengharapan dirinya bisa dibentuk, disembuhkan, atau diselamatkan sehingga ketika terjadi kematian atau kondisi buruk lain, tidak jarang pasien menerimanya sebagai bagian dari "takdir" (Fahmi dkk, 2013). Kalau kemudian ada pasien yang berani menggugat atau mempertanyakan kinerja para dokter, itu tidak lebih dari "sekadar" berupaya melaksanakan haknya sebagai warga negara, yang oleh berbagai instrumen HAM dilindungi, seperti hak mendapatkan informasi atas penyakit yang diderita atau hak dilindungi kesehatan dan keberlanjutan hidupnya. Para hakim di tingkat kasasi atau PK hanyalah para interpretator yang mendapatkan tugas dari negara untuk menilai dan meyakini alat bukti yang diajukan kepadanya. Jika dalam diri hakim tingkat kasasi atau PK itu tidak ada kekuatan politik dan ekonomi dari mana pun yang memengaruhinya, kinerja keduanya tidak bisa disalahkan. Kedua kubu (hakim kasasi maupun PK) bukanlah dalam posisi paradoksal. Keduanya menjalankan perannya sebagai "kreator" atau mujtahid yang mendapatkan jaminan regulatif, yang sesuai dengan tahapannya bisa saja menghasilkan putusan yang berbeda. Kasus yang dihadapkan kepadanya merupakan objek kajian yang mempertaruhkan intelektualitas dan moralitasnya. Seperti diingatkan pula oleh Lily Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi (2004), tugas hakim adalah memberikan putusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti peristiwa hukum, hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara sehingga untuk dapat menyelesaikan suatu perselisihan atau konflik secara imparsial berdasar hukum yang berlaku, hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, terutama dalam mengambil suatu putusan. Kandungan putusan hakim haruslah mencerminkan keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice). Mengukur keadilan seperti itu memang kadang-kadang sulit. Akan tetapi yang terpenting, kalangan medis (dokter) maupun hakim MA (kasasi dan PK) sama-sama jujur, objektif, dan independen saat menjalankan peran masing-masing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar