Senin, 10 Februari 2014

“Aja Kagetan, Aja Gumunan, lan Aja Dumeh”

      “Aja Kagetan, Aja Gumunan, lan Aja Dumeh”

Kwik Kian Gie  ;   Ekonom
KOMPAS,  10 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
HARIAN Kompas edisi 4 Februari 2014 memuat tulisan Ahmad Syafii Maarif (Buya) dengan judul ”Waktu dan Masalah Kedaulatan”. Artikel itu sangat menarik dan lain dari yang biasa dibicarakan orang. Di tengah hiruk pikuk sanjungan terhadap segelintir orang yang dianggap dapat diandalkan memimpin bangsa yang sedang dalam kegelapan ini, Buya mengingatkan jangan takabur, terutama jika sanjungan dan dukungan datang dari para cukong. Maksud tulisan ini bukan hanya menggarisbawahi Buya, melainkan juga melengkapinya dengan aspek lebih licin, lebih lihai,  dan lebih berbahaya. Jika Buya mengingatkan jangan terjerembap godaan uang dari para cukong, yang tak kalah penting adalah sanjungan, tepukan pundak, dan acungan jempol terhadap mangsa yang ia incar.

Menguasai media

Para cukong itu menguasai media massa. Agar jualan mereka laku, sanjungan terhadap orang yang dijadikan target bisa dilakukan dalam bentuk semacam kampanye oleh media massanya. Dengan menyanjung secara gegap gempita setiap hari, televisi atau korannya diminati banyak orang. Ini saja sudah memberi keuntungan bagi sang cukong. Namun, dengan menyanjung orang yang berpotensi jadi penguasa melalui media yang dimilikinya, sang cukong menanam budi pada yang bersangkutan tanpa mengeluarkan uang  yang, pada waktunya nanti, akan dimanfaatkan.

Dalam kaitan ini, tepat waktu penampilan Megawati Soekarnoputri dalam acara Mata Najwa di MetroTV, belum lama berselang, yang juga mengingatkan sanjungan dengan istilah jangan mongkok yang artinya ’jangan membengkakkan dada’. Soeharto sering mengatakan agar biso rumongso, jangan hanya rumongso biso. Artinya, supaya bisa tahu diri tentang batas-batas kemampuannya, jangan sebaliknya, merasa bisa segala.

Megawati memang berhak mengatakan segala yang ia kemukakan dalam Mata Najwa. Bicara tentang blusukan, dalam era Soeharto yang represif—terutama terhadap partainya, terlebih terhadap keluarga Bung Karno—Megawati sudah blusukan ke seantero Indonesia dengan cara yang sangat berat. Dia mengunjungi sekitar 300 cabang partainya sampai ke pelosok Tanah Air yang hanya dapat dicapai dua hari dengan kapal kecil.

Pembicaraan dengan para kader yang dikunjunginya hanya dapat dimulai sekitar pukul 23.30 ke atas (acara sebelumnya dalam bentuk hajatan keluarga). Kalau tidak, pasti pertemuan dalam bentuk rapat atau diskusi dibubarkan aparat.

Dalam kongres di Surabaya untuk memilih ketua umum partainya, Megawati tak mau diajak menginap di hotel yang nyaman. Dia memilih tidur di Asrama Haji bersama sekitar 1.000 anggota delegasi di dalam kamar sangat sederhana tanpa AC dan penuh nyamuk. Saya menyaksikan sendiri betapa sekujur badannya berbintik-bintik bekas gigitan nyamuk.

Ketika dalam pemungutan suara Megawati memperoleh lebih dari 90 persen suara, Kasospol ABRI minta kepada saya menyampaikan pesan kepadanya apakah mau berunding dengan sang jenderal. Bersusah payah saya menemukannya karena dia duduk di atas lantai di tengah-tengah lebih dari 1.000 peserta kongres yang semuanya duduk di lantai berimpit-impitan. Sangat sulit tiba padanya.

Ketika saya sampaikan pesan tersebut, dia menjawab supaya saya menyampaikan kepada Kasospol, ”Siapakah saya yang rakyat jelata seperti ini harus berunding dengan seorang jenderal?”

Mau tidak mau Megawati harus diakui sebagai ketua umum karena kongres dihadiri seluruh pers. Terjadilah peristiwa 27 Juli yang berdarah. Ketika pagi-pagi sekali dia diberi tahu tentang sudah dimulainya lempar-lemparan batu di depan Kantor DPP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, dia bergegas ingin pergi ke DPP. Untung ada kader yang memerintahkan para anggota mengepung rumahnya di Kebagusan supaya dia tetap tinggal di rumah.

Menjelang konferensi pers, sekitar pukul 18.00 di rumahnya, dia menyatakan ingin menanggung semua beban dan risiko seorang diri. Kepada seorang kader yang anggota DPP, dia mempersilakan supaya mengkritik partainya dan menyatakan mengundurkan diri dari partainya agar, dengan demikian, bebas dari risiko penangkapan, penculikan, pemenjaraan, dan entah apa lagi dalam situasi yang semrawut dan simpang siur seperti itu.

Stop menghujat

Namun, ketika siapa saja yang namanya terkenal sedikit berkumpul menduduki Gedung DPR menghujat Soeharto, Megawati tidak mau hadir di Gedung DPR meski massa di sana sudah meneriakkan yel-yel yang bersahut-sahutan antara ”Mana Mega” dan ”Mega Mendung”. Kemudian yel-yel yang bersahutan menggunakan kata-kata yang jorok.

Ketika itu seorang anggota DPP mengajaknya ke DPR yang oleh Megawati dijawab, ”Saya tidak mau ambil bagian dalam penghinaan terhadap Presiden Soeharto yang patungnya dibakar sambil diseret-seret.” Dua hari kemudian, dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, Megawati didaulat berpidato di Pejambon. Secara mengejutkan Megawati berseru, ”Stop menghujat Presiden Soeharto” yang, oleh Kompas, dimuat di halaman satu dengan fotonya dan foto Bung Karno di belakangnya.

Cukup ini saja walaupun masih sangat banyak yang dapat diceritakan. Lantas hasil-hasil survei yang disebarkan demikian luas mengatakan bahwa Megawati sangat jauh di bawah rating-nya? Gejala apakah ini? Apakah rakyat lupa sejarah dalam waktu begitu singkat atau lembaga survei yang bermain politik ?

Tepat lagilah yang dikatakan Megawati, ”Jadilah pemimpin terlebih dahulu, maka jabatan presiden dengan sendirinya merupakan formalitas dari pengakuan rakyat.” Tepat pulalah yang dikatakan Buya bahwa kita harus ”waspada dengan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari, terutama dalam menghadapi godaan dari semua penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha hitam, jika tidak waspada”. Berbeda dengan ketika saya bermimpi menjadi konglomerat, para konglomerat sekarang sudah bergurita di mancanegara.

Walhasil, rayuan dalam bentuk pujian dan sanjungan bisa lebih dahsyat kerugiannya dibandingkan dengan suap dalam bentuk uang. Tak banyak yang kuat menahan ketenaran. Orang Belanda mengatakan, Het zijn alleen de sterke benen die de weelde kunnen dragen. Artinya, hanya kaki-kaki yang kuatlah yang dapat mengemban pujian, sanjungan, dan ketenaran. Soeharto sering mengutip kata-kata mutiara Jawa yang menjadi judul tulisan ini: aja kagetan, aja gumunan, lan aja dumeh (jangan sedikit-sedikit terkejut, terheran-heran, dan lantas sok).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar