Kritik terhadap Perbankan
Syariah
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi ’45,
Yogyakarta
|
KOMPAS,
14 Februari 2014
BANK Muamalat Indonesia berdiri tahun 1992. Sebagai bank syariah
pertama, Bank Muamalat harus membuktikan diri sebagai sistem perbankan
alternatif terhadap model konvensional.
Terhindar dari krisis
moneter Asia Tenggara 1997 karena tidak mengikuti sistem bunga pasar, bank
syariah mulai mendapat perhatian. Akan tetapi, kebangkitan bank syariah
terjadi awal abad ke-21, bersamaan dengan kebangkitan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi (UMKMK) berbasis pertanian.
Keberhasilan bank
syariah baru tampak dengan dibentuknya Bank Syariah Mandiri dengan dukungan
Bank Mandiri. Langkah itu diikuti pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS) yang
setelah berkembang berdiri sendiri menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sebagai
cabang dari bank umum konvensional. Ternyata UUS dan BUS berkembang rata-rata
dua kali lebih cepat dan lebih menguntungkan daripada perbankan konvensional.
Diterima pasar
Perkembangan itu
diikuti juga terbentuknya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Bait al Mal wa al Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan mikro. Gejala ini menunjukkan bahwa konsep bank syariah tak
hanya diterima pasar dan investor, tetapi juga menunjukkan keunggulannya,
baik dari segi pertumbuhan aset dan modal, rentabilitas, maupun kepercayaan.
Namun, dalam laporan
manajemennya, ada beberapa kelemahan yang oleh ahli ekonomi Islam Jerman,
Volkner Nienhaus, disebut sebagai kelemahan institutional capability atau kemampuan kelembagaan,
terutama dalam pengembangan produk-produk berdasarkan akad murabahah, mudharabah,
musyarakah, dan qord al hasan.
Ternyata 70 persen
akad berupa transaksi murabahah yang melayani kebutuhan konsumsi
dan perdagangan dengan sistem mark
up. Produk-produk lain, terutama qord
al hasan (fasilitas kebajikan), untuk orang miskin dan pengusaha
pemula sangat terbatas.
Penilaian kedua adalah
bahwa bagi hasil yang diterima ataupun dibebankan kepada debitor rata-rata
lebih tinggi dari suku bunga. Dalam kaitan ini yang diuntungkan ialah
investor dan depositor pemilik dana dan yang dirugikan adalah debitornya.
Timbul pertanyaan, ”Apa bedanya dengan
bank konvensional?”
Kritik ketiga adalah
kekhawatiran akan jatuhnya bank syariah kepada pemodal asing sejalan dengan
meningkatnya pangsa pasar bank syariah yang kini baru mencapai 5 persen dari
aset perbankan nasional.
Meski kritik itu
diam-diam diakui, perbaikan tidak tampak signifikan dan ada saja bank
yang menolak membuat laporan mengenai kompatibilitas bank syariah dengan
hukum syariah berdasarkan tujuan-tujuan syariah.
Kesimpulannya, bank
syariah secara esensial tidak berbeda dengan bank konvensional sebagai investor oriented firm (IOF) yang
bertujuan mencapai keuntungan sebesar-besarnya dengan uang sebagai komoditas
utama. Dengan kata lain, bank syariah dalam praktiknya tetap lembaga
”peternakan uang” (making money out of
money) alias lembaga ribawi yang diharamkan.
Bedanya hanya pada
instrumen, yaitu perhitungan bagi hasil atau mudharabah yang tidak pernah dipraktikkan sesuai maksud dan
tujuan syariah. Untuk mengakalinya, profit-sharing diubah
menjadi revenue-sharing, yang
mirip transaksi murabahah.
Padahal, sebenarnya
bank syariah dibentuk dengan tujuan menghapus riba dalam industri keuangan.
Dalam Al Quran, riba itu diharamkan, sedangkan yang dihalalkan adalah
transaksi jual-beli. Alternatif riba pada dasarnya adalah sistem
zakat, sadaqah, dan infaq sebagai fasilitas pinjaman untuk
kebajikan atau al qord al hasan dan
dalam sunah adalah waqaf.
Karena itu, sumber
dana bank Islam sebenarnya adalah harta agama sebagaimana ditulis oleh Prof
Dr KH Miftah Faridh dalam bukunya, Harta, yang tergolong dalam kategori
nonpasar (nonmarket). Dana nonpasar
bisa berasal dari anggaran belanja sosial negara, bantuan internasional, atau
dana corporate social
responsibility (CSR). Tetapi, sumber dana bank syariah bisa berupa
dana simpanan koperasi, tabungan masyarakat, bahkan investor karena bank
sosial juga bisa memberikan keuntungan.
Berorientasi pengguna
Dengan demikian, bank
syariah pada hakikatnya adalah perusahaan yang berorientasi pada pengguna
atau User Oriented Firm (UOF) atau
lembaga fasilitas keuangan untuk kebajikan (al qord al hasan). Dalam teori perbankan kontemporer, bank
semacam ini disebut ”bank sosial” (social
bank) yang dewasa ini sudah berkembang di dunia dan bergabung dalam
organisasi Global Bank based on Ethical
Value (GBEV). Bank sosial ini selain berdasar nilai etis juga
berorientasi pada dampak sosial dan lingkungan hidup (social and environmental impact). Dalam konteks Indonesia, bank
sosial bisa memfasilitasi perkembangan ekonomi rakyat sebagai basis
kemandirian ekonomi bangsa.
Misi bank sosial
berdasar syariah ini adalah memberikan fasilitas keuangan kepada orang miskin
produktif (productive poor) dan
orang-orang telantar atau tuna-perlindungan sosial dengan penciptaan lapangan
kerja atau inkubator bisnis dan peningkatan pendapatan masyarakat secara
merata yang merupakan basis dari inklusi finansial, sebagaimana Grameen Bank,
Banglades, yang dananya berasal dari lembaga donor.
Dalam kasus
perlindungan sosial, Dompet Dhuafa bisa menjadi embrio bank sosial syariah.
Bank bisa memfasilitasi pendirian koperasi perumahan, koperasi pendidikan,
koperasi kesehatan, koperasi asuransi sosial, dan koperasi transportasi.
Dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat atas fasilitasi bank sosial, maka akan terjadi proses
inklusi finansial, di mana masyarakat akan menyimpan dana di bank dan bank
akan menjadi pengelola uang tunai masyarakat sebagai sumber permodalan baru
dengan dukungan media jejaring sosial. Dalam kaitan ini, sumber keuntungan
bank adalah biaya pelayanan administrasi (fee
based income) dan bukan hasil ”peternakan uang”.
Walaupun belum dikenal
dalam nomenklatur perbankan Indonesia, bank sosial bisa dibuatkan landasan
perundangannya. Kalangan Kristen Demokrat Jerman sebenarnya berharap bank
Islam itu sama dengan bank sosial di negara-negara maju. Karena itu, bank
syariah dewasa ini bisa dikembangkan menjadi bank sosial Islam dengan
meredefinisikan sistem produk dan jenis akadnya, sesuai tujuan-tujuan syariah
(al Maqosith al Syariah) dalam
konteks Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar