Kendala
Pembangunan Daerah
Gunawan
Setiyaji ; Alumnus Australian
National University (ANU),
Staf
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
|
SUARA
MERDEKA, 21 Februari 2014
PEMBANGUNAN daerah terus saja menjadi
sorotan publik. Masyarakat yang makin cerdas kini banyak mempersoalkan
kebijakan pembangunan yang dikelola oleh pemda. Kalangan LSM dan organisasi
kemasyarakatan dengan kritis menyampaikan berbagai kritik terhadap persoalan
yang gagal diselesaikan dengan baik oleh pimpinan daerah.
DPRD dan partai politik pun sigap
menyampaikan permasalahan yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dan menjadi
problem kehidupan bagi konstituen mereka. Sebenarnya, saat ini kinerja
pemerintahan daerah mendapat pengawasan dari banyak pihak. Sejumlah institusi
pengawasan internal dan eksternal juga bertebaran.
Pemerintah pusat atau kepala daerah tingkat
I, seperti gubernur, juga melakukan pembinaan kepada daerah dalam
melaksanakan pembangunan di wilayah masing-masing. Meski demikian, masih saja
banyak daerah gagal memberikan bukti bahwa pembangunan di daerahnya secara
substansial memberikan keberartian bagi rakyat.
Kondisi itu terjadi karena ada kesalahan
manajemen dalam pembangunan daerah. Kita bisa memberikan analisis seperti
berikut ini. Pertama; salah manajemen secara mendasar terjadi berupa
kesalahan persepsi pada kebanyakan pimpinan daerah mengenai konsep
pembangunan yang seharusnya diterapkan di daerahnya. Umumnya, hal ini terjadi
karena pimpinan daerah gagal mengidentifikasi problem daerahnya. Alih-alih
menganalisis dengan cermat kondisi daerahnya, kebanyakan justru memaksakan
visi misi yang hanya bahasa indah yang tidak membumi dengan realitas.
Kedua; dalam perspektif konseptual, pemaknaan
pembangunan juga sering disalah pahami hanya sebagai aktivitas pembangunan
oleh pemerintah saja. Padahal pembangunan daerah merupakan usaha yang
sistematik dari pelbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun
kelompok masyarakat lain pada tingkatan berbeda untuk mengoordinasikan
langkah-langkah secara sinergis, saling ketergantungan, dan saling terkait.
Sinergi dimaksud harus mencakup semua hal,
termasuk aspek fisik, sosial ekonomi, moral budaya, dan aspek lingkungan lain
sehingga program pembangunan dapat lebih efektif. Pembangunan juga harus
dapat menciptakan peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah itu yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat secara
berkelanjutan.
Manajemen APBD
Ketiga; secara lebih khusus, kesalahan
banyak terjadi dalam berbagai aspek manajemen APBD. Pimpinan daerah sering
gagal menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian APBD secara baik.
Hal ini umumnya disebabkan rendahnya kompetensi kepala daerah dalam bidang
ekonomi dan pembangunan, minimnya komitmen sosial dan akuntabilitas publik,
serta kurangnya keterampilan komunikasi politik dalam mengintegrasikan
seluruh proses penganggaran.
Di banyak daerah, penyusunan APBD saja
membutuhkan proses lama dengan terutama disebabkan oleh alotnya negosiasi
kepentingan sehingga kualitasnya dalam mengarahkan pembangunan, menjadi
kurang optimal. Untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut, tentu saja
tidak sederhana. Mengutip istilah yang dilontarkan oleh Sunil Bastian dan
Robin Luckham (2003), kondisi demikian layak disebut sebagai defisit
demokrasi, yaitu kondisi di mana demokrasi hanya memberikan sedikit manfaat
bagi publik, rendahnya akuntabilitas elite parpol dan pemimpin politik, dan
kemelemahan kepemimpinan publik yang cenderung korup.
Untuk mengatasi masalah ini, harus ada
suatu upaya lebih serius memperbaiki kualitas dan peran pemerintah dalam
pembangunan. Kepemimpinan bisa saja diisi oleh para kader parpol, kalangan birokrasi atau militer. Namun
kemampuan mengelola kebijakan publik melalui profesionalisme pemerintahan dan
implementasi good governance akan menentukan efektivitas pembangunan, yang
selanjutnya menjadi kunci keberhasilan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar