Sabtu, 22 Februari 2014

Hukum di Balik Politik Kekuasaan

Hukum di Balik Politik Kekuasaan

Benny Susetyo  ;   Sekretaris Dewan Nasional Setara
SUARA MERDEKA,  21 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
WAKIL Menteri Kementerian Hukum dan HAM Denny Indrayana menegaskan  pemerintah mendukung pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dia bahkan menjamin substansi rancangan tersebut tidak ada yang melemahkan komisi antikorupsi. ”Pemerintah tak pernah melakukan upaya atau mencoba melemahkan KPK,” kata dia di Hotel Bidakara Jakarta (18/2/14).

Dia juga menegaskan andai materi RUU KUHP mengarah pada pelemahan pemberantasan korupsi maka dia siap menghentikan pembahasannya. Ini memang kekhawatiran yang wajar dari publik tapi Denny memastikan tidak akan ada pelemahan. Karena itu, sekarang ini, justru penting untuk dibahas dalam konteks kita kritisi bersama-sama.

Di balik semua itu, sesunggunya justru terbalik mengingat substansi rancangan UU KUHP mengebiri eksistensi komisi antirasuah. Menghilangkan fungsi penyelidikan KPK misalnya, itu sama saja dengan menghilangkan kewenangan luar biasa dalam menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Rancangan regulasi itu dikahawatirkan banyak mereduksi kewenangan, yang sejatinya merupakan ranah extraordinary KPK, dan kemudian mengalihkan menjadi kewenangan lembaga penegak hukum hukum lain. Karena itu publik pesimistis terhadap politic will penguasa dalam memerangi korupsi.

Yang tumbuh makin kuat justru kekhawatiran terhadap keseriusan elite negeri ini memberantas korupsi. Begitu banyak kepentingan bermain, sekaligus ingin menyelamatkan diri lewat berbagai cara, termasuk berlindung di ruang-ruang yang dianggap aman. Kehidupan politik makin tidak sehat karena penuh pertarungan yang saling menjebak, menjegal, bahkan menghancurkan.

Kenyataan ini tentu saja merupakan langkah mundur bagi tekad memberantas korupsi, bahkan dikhawatirkan makin menyuburkan praktik korupsi dalam berbagai tingkat, modus, dan model. Publik mempertanyakan lebih jauh mengingat sejauh ini komitmen kekuasaan terhadap pemberantasan korupsi acap hanya besar di mulut ketimbang tindakan nyata.

Pemberantasan korupsi lebih banyak menjadi pidato manis pejabat. Sementara korupsi terjadi dalam berbagai tingkat dan bentuk, makin masif dan kuat, menjadi semacam budaya. Semua pihak perlu menyadari bahwa korupsi merupakan penyakit kronis paling berbahaya bagi kehidupan. Tanpa dukungan semua pihak, hasil pemberantasan korupsi pun minim.

Pemberantasan korupsi seharusnya menjadi gerakan bersama seluruh komponen bangsa, termasuk dukungan dari para elite. Sinyalemen adanya pelemahan dalam usaha pemberantasan korupsi saat ini merupakan tantangan untuk melihat sejauh mana elite kita bersungguh-sungguh memberantas korupsi.

Mengingat yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat, sudah sepatutnya publik terus mengontrol dan mengingatkan penyelenggara negara akan tugasnya memberantas korupsi. Ikhtiar itu ibarat memeriksa kerusakan dalam diri kita. Ketika mengobati salah satu organ, atau bahkan mengamputasi, bisa jadi bagian lain terasa sakit. Tapi itulah risiko supaya penyakit tidak menjalar dan badan tetap sehat.

Aparatur negara, yang umumnya dikaitkan dengan kesempatan berbuat korup, seharusnya berdiri depan memelopori kesadaran masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi, dari lingkup terkecil sampai terbesar. Banyak harapan bisa dibangun bahwa demokrasi bisa ditegakkan dengan membangun sistem yang transparan, kredibel, dan membawa efek jera bagi koruptor.

Kekuasaan berperan sangat vital dan bila tidak justru komponen rakyat melalui berbagai pola gerakan akan melampiaskan berbagai ketidakpuasan tersebut. Sangat jelas dan terang bahwa pemberantasan korupsi butuh dukungan kekuasaan. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat. Itu semua terjadi karena begitu dekatnya aroma korupsi dengan kekuasaan.

Politik Citra

Akhir-akhir ini publik gundah, masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh? Perlu ditegaskan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan yang bersih mengandung makna sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut substansi dan kita belum sampai pada proses inti pemerintahan yang bersih.

Korupsi membawa bangsa ini pada kebangkrutan. Kita harus bersama-sama menyelamatkan bangsa ini karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran akibat gurita korupsi. Ketidakseriusan memberantas korupsi berarti mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya mencita-citakan masyarakat yang adil dan makmur, serta bangsa yang cerdas.

Kita tak memungkiri selalu ada tarik-menarik dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging. Terutama aspek penegakan hukum yang mau tidak mau akan berhadapan dengan kekuasaan. Pengintervensian hukum lewat pola-pola barter politik pada akhirnya membuat hukum tidak akan pernah bisa membasmi korupsi.

Korupsi begitu dekat dengan politik sehingga korupsi paling sering dilakukan karena ada dukungan kekuasaan politik dari pelaku. Sudah seharusnya semua pihak menjauhkan intervensi politik dalam penanganan kasus korupsi sehingga akan menghasilkan keputusan hukum berkeadilan. Tentu, aparat penegak hukum tak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan kepada pihak mana pun, terutama penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar