Jumat, 07 Februari 2014

Kabar Gembira bagi Koruptor

Kabar Gembira bagi Koruptor

Hibnu Nugroho   ;   Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
SUARA MERDDEKA,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SURAT Edaran Jaksa Agung (Seja) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 mengenai petunjuk bagi para jaksa supaya tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara di bawah Rp 10 juta dalam proses peradilan akhirnya bocor ke masyarakat, beberapa hari lalu. ”Imbauan” itu sontak menuai banyak kecaman. Sejatinya, edaran itu bukan isu baru mengingat diterbitkan sekitar 2 tahun lalu, tepatnya pada 18 Mei 2010.

Dalih penerbitan edaran itu adalah demi efisiensi mengingat menurut Jaksa Agung penanganan sebuah kasus korupsi membutuhkan biaya lebih dari Rp 10 juta, dari proses penyidikan hingga pelaksanaan eksekusi. Konsekuensinya, andai nilai kerugian negara di bawah angka itu, akan lebih efisien bila tersangka diminta mengembalikan jumlah uang yang dikorupsi dan ia bisa terbebas dari jerat hukum.

Apakah sudah pantas Indonesia menerapkan kebijakan itu pada saat ini? Saat modus korupsi makin pesat berkembang, dan pelakunya berderet-deret, dari pejabat daerah hingga pusat, bahkan di pusat kekuasaan. Dari politikus daerah hingga anggota parlemen. Tujuan hukum pidana di Indonesia adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan secara adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, hukum pidana di Indonesia bisa mengayomi seluruh rakyat, tanpa terkecuali.

Selama ini kita semua telah menyepakati bahwa korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana yang berdampak buruk luar biasa bagi negara dan bangsa. Korupsi menghancurkan seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita pun menyepakati bahwa nilai ”jahat” korupsi bukan hanya semata-mata atau berhenti pada besar kecil kerugian tapi lebih pada niat jahat (mensrea) yang hendak melakukan.

Penanganan korupsi telah dijalankan di Indonesia lewat beragam cara namun keberadaan tindak pidana tersebut telah sedemikian lama membelenggu. Akibatnya, sebagaimana fenomena gunung es, tiap kali satu kasus terungkap ternyata itu hanya merupakan bagian kecil dari rentetan kasus yang lebih banyak di bawahnya.

Akhir-akhir ini pelaku korupsi cenderung mengalami regenerasi, dalam arti beberapa bagian di antaranya dari golongan muda dan terdidik. Karena itu, sungguh sayang bila tekad pemberantasan korupsi menjadi makin melunak hingga kehilangan arah. 

Akhirnya semua itu lebih menonjol pada semata-mata urusan keperdataan. Perilaku korup berawal dari niat jahat yang berkolaborasi dengan kesempatan, kemelemahan sistem pengawasan, keminiman  keteladanan dari para pemimpin, dan kekurangmaksimalan pemidanaan.

Selain surat edaran Jaksa Agung yang memberikan perlakuan berbeda untuk nilai kerugian di bawah Rp 10 juta, RUU tentang Tipikor juga mewacanakan bahwa  korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta, cukup mengembalikan sejumlah kerugiannya selesai perkara.

Pergeseran pemahaman filosofi dari tujuan pemidanaan dengan meniadaan penilaian terhadap ”niat jahat” pelaku sungguh memprihatinkan. Dampak paling nyata pada masa mendatang akan muncul korupsi kecil-kecilan tapi merata sehingga jumlah totalnya makin banyak. Apalagi andai muncul pemikiran baru, yaitu ”mengambil sedikit uang negara bukan berarti korupsi melainkan hanya utang-piutang, itu pun andai ketahuan”.

Hakikat Korupsi

Makna perilaku korup menjadi terkikis, lalu hilang. Dalih negara merugi dan tidak efisien mengusut korupsi dengan nilai kerugian kecil menjadi pertanda bahwa negara tidak sedang mendidik warga negaranya untuk menjadi manusia jujur dan tidak suka korup. Bahkan lebih ekstrem lagi negara tengah mengubah pemahaman hakikat sifat korup. Sungguh berbahaya sekaligus memprihatinkan.

Penjatuhan hukuman maksimal terhadap koruptor dengan pidana mati belum pernah terjadi. Bahkan penjatuhan pidana berat terhadap koruptor pun jarang dilakukan. Pidana pemiskinan baru beberapa waktu dilaksanakan sehingga belum kelihatan efeknya. Larangan remisi bagi terpidana koruptor juga belum signifikan.

Sangatlah tidak bijak meniru negara lain yang membebaskan koruptor yang mau mengembalikan uang yang dikorupsi dalam jumlah tertentu. Solusi pemberantasan korupsi sebagaimana surat edaran Jaksa Agung justru seperti menyiratkan kelelahan menghadapi banyaknya kasus korupsi. Sebaliknya, hal itu sangat menggembirakan pihak-pihak yang berpeluang menjadi pelaku korupsi. Bahkan menjadi kabar gembira bagi para koruptor.

Seyogianya pemerintah juga mulai menggencarkan upaya mencegah perilaku korup. Ikhtiar itu dapat dilakukan dengan mendayagunakan semua sektor kehidupan, selain proses penegakan hukum secara adil dan keteladanan para pemimpin. Perjuangan masih panjang, dan masyarakat masih sangat membutuhkan ketegaran, kegigihan, konsistensi sikap pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar