Kabar
Gembira bagi Koruptor
Hibnu Nugroho ; Dosen Program
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
|
SUARA
MERDDEKA, 06 Februari 2014
SURAT
Edaran Jaksa Agung (Seja) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 mengenai petunjuk bagi
para jaksa supaya tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara di
bawah Rp 10 juta dalam proses peradilan akhirnya bocor ke masyarakat,
beberapa hari lalu. ”Imbauan” itu sontak menuai banyak kecaman. Sejatinya,
edaran itu bukan isu baru mengingat diterbitkan sekitar 2 tahun lalu,
tepatnya pada 18 Mei 2010.
Dalih
penerbitan edaran itu adalah demi efisiensi mengingat menurut Jaksa Agung
penanganan sebuah kasus korupsi membutuhkan biaya lebih dari Rp 10 juta, dari
proses penyidikan hingga pelaksanaan eksekusi. Konsekuensinya, andai nilai
kerugian negara di bawah angka itu, akan lebih efisien bila tersangka diminta
mengembalikan jumlah uang yang dikorupsi dan ia bisa terbebas dari jerat
hukum.
Apakah
sudah pantas Indonesia menerapkan kebijakan itu pada saat ini? Saat modus
korupsi makin pesat berkembang, dan pelakunya berderet-deret, dari pejabat
daerah hingga pusat, bahkan di pusat kekuasaan. Dari politikus daerah hingga
anggota parlemen. Tujuan hukum pidana di Indonesia adalah untuk melindungi
kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan
hukum pidana harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa
kepentingan secara adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, hukum
pidana di Indonesia bisa mengayomi seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Selama
ini kita semua telah menyepakati bahwa korupsi merupakan salah satu jenis
tindak pidana yang berdampak buruk luar biasa bagi negara dan bangsa. Korupsi
menghancurkan seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kita pun menyepakati bahwa nilai ”jahat” korupsi bukan hanya
semata-mata atau berhenti pada besar kecil kerugian tapi lebih pada niat
jahat (mensrea) yang hendak melakukan.
Penanganan
korupsi telah dijalankan di Indonesia lewat beragam cara namun keberadaan
tindak pidana tersebut telah sedemikian lama membelenggu. Akibatnya,
sebagaimana fenomena gunung es, tiap kali satu kasus terungkap ternyata itu
hanya merupakan bagian kecil dari rentetan kasus yang lebih banyak di
bawahnya.
Akhir-akhir
ini pelaku korupsi cenderung mengalami regenerasi, dalam arti beberapa bagian
di antaranya dari golongan muda dan terdidik. Karena itu, sungguh sayang bila
tekad pemberantasan korupsi menjadi makin melunak hingga kehilangan arah.
Akhirnya semua itu lebih menonjol pada semata-mata urusan keperdataan.
Perilaku korup berawal dari niat jahat yang berkolaborasi dengan kesempatan,
kemelemahan sistem pengawasan, keminiman
keteladanan dari para pemimpin, dan kekurangmaksimalan pemidanaan.
Selain
surat edaran Jaksa Agung yang memberikan perlakuan berbeda untuk nilai
kerugian di bawah Rp 10 juta, RUU tentang Tipikor juga mewacanakan bahwa korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp
25 juta, cukup mengembalikan sejumlah kerugiannya selesai perkara.
Pergeseran
pemahaman filosofi dari tujuan pemidanaan dengan meniadaan penilaian terhadap
”niat jahat” pelaku sungguh memprihatinkan. Dampak paling nyata pada masa
mendatang akan muncul korupsi kecil-kecilan tapi merata sehingga jumlah
totalnya makin banyak. Apalagi andai muncul pemikiran baru, yaitu ”mengambil
sedikit uang negara bukan berarti korupsi melainkan hanya utang-piutang, itu
pun andai ketahuan”.
Hakikat Korupsi
Makna
perilaku korup menjadi terkikis, lalu hilang. Dalih negara merugi dan tidak
efisien mengusut korupsi dengan nilai kerugian kecil menjadi pertanda bahwa
negara tidak sedang mendidik warga negaranya untuk menjadi manusia jujur dan
tidak suka korup. Bahkan lebih ekstrem lagi negara tengah mengubah pemahaman
hakikat sifat korup. Sungguh berbahaya sekaligus memprihatinkan.
Penjatuhan
hukuman maksimal terhadap koruptor dengan pidana mati belum pernah terjadi.
Bahkan penjatuhan pidana berat terhadap koruptor pun jarang dilakukan. Pidana
pemiskinan baru beberapa waktu dilaksanakan sehingga belum kelihatan efeknya.
Larangan remisi bagi terpidana koruptor juga belum signifikan.
Sangatlah
tidak bijak meniru negara lain yang membebaskan koruptor yang mau
mengembalikan uang yang dikorupsi dalam jumlah tertentu. Solusi pemberantasan
korupsi sebagaimana surat edaran Jaksa Agung justru seperti menyiratkan
kelelahan menghadapi banyaknya kasus korupsi. Sebaliknya, hal itu sangat
menggembirakan pihak-pihak yang berpeluang menjadi pelaku korupsi. Bahkan
menjadi kabar gembira bagi para koruptor.
Seyogianya
pemerintah juga mulai menggencarkan upaya mencegah perilaku korup. Ikhtiar
itu dapat dilakukan dengan mendayagunakan semua sektor kehidupan, selain
proses penegakan hukum secara adil dan keteladanan para pemimpin. Perjuangan
masih panjang, dan masyarakat masih sangat membutuhkan ketegaran, kegigihan,
konsistensi sikap pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar