Jangan-Jangan,
Kurikulummu bukan Kurikulumku
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2014
MENARIK mengikuti penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh tentang pembeda antara kurikulum lama dan kurikulum 2013
bentukan tim pakar besutannya. Menurut Pak Nuh, kurikulum lama itu ibarat
sebuah baju yang dirancang secara sepotong-sepotong dan ketika jadi ternyata
lengannya pendek sebelah, warnanya rupa-rupa, kerahnya kekecilan, lingkar
perut dan dada berbeda desain, dan lain sebagainya. Pendek kata, baju
tersebut tetap disebut sebagai baju, tetapi kurang elok jika dipakai di muka
umum. Para pembuat pola dalam kurikulum lama ialah para guru yang terlatih
hanya membuat pola. Misalnya, pola matematika, fisika, biologi, agama, dan
sejarah geografi, tetapi tak ada kesamaan tema dan terintegrasi antara satu
pola dan pola lainnya.
Nah, sebaliknya
kurikulum baru, menurut Pak Nuh, memiliki keseragaman pola sehingga ketika
jadi jelas bentuk dan ukurannya. Namun, jika mengikuti logika ini tersisa
pertanyaan sederhana; apakah yang akan menjalankan kurikulum baru ialah para
guru yang terbiasa membuat pola lama atau guru baru yang sudah mengerti
format baru kurikulum anyar itu? Sayangnya jawabannya ialah tetap para
pembuat pola lama yang terbiasa mengajar dengan bidang studi masing-masing. Apakah
dengan pelatihan yang hanya sekali dan dua kali para pembuat pola lama itu
langsung bisa membuat model baju baru dalam kurikulum baru? Belum tentu. Hal
itu terlihat dari kebijakan pelatihan guru tahun lalu, ketika para guru yang
sudah dilatih dan memperoleh predikat guru inti di-grounded alias dianggap tidak efektif.
Saya orang yang sangat
percaya pada adagium at-thoriqo tu
ahammu min al-maddah (metode dan strategi itu lebih baik daripada isi).
Lebih dari 90% kondisi guru kita ialah mereka yang tidak memiliki keduanya.
Kedalaman materi atau subject matter yang lemah juga kemampuan metodologis
dan pedagogis yang tanggung.
Padahal, kurikulum baru versi tim Pak Nuh itu
sangat kencang berorientasi pada aspek meto dologis dan pedagogis. Jadi,
pasti akan ada kebingungan luar biasa, dan dalam prediksi saya, guru-guru
kita yang serbaterbiasa dengan ‘bimbingan dan tuntunan’ versi SKKD lama akan
terjerembap lagi ke dalam lembah formalitas implementasi kurikulum yang kaku
dan membingungkan peserta didik.
Berbasis sekolah
Kekhawatiran saya memiliki alasan tersendiri
karena cara dan skema pelatihan guru yang didengungkan akan menyertakan
partisipasi masyarakat tetap belum jelas muasalnya. Selain itu, selama
pemerintah tidak membuat skema pelatihan berbasis sekolah, sekali lagi
berbasis sekolah dan bukan mencabut guru, kepala sekolah, dan pengawas satu
per satu dan dikumpulkan secara homogen dengan guru, kepala sekolah, dan
pengawas dari sekolah lainnya, implementasi kurikulum baru jelas akan
mengalami kegagalan. Belum lagi jika angin politik setelah 2014 berubah dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki menteri baru yang memiliki
selera baru lagi dalam proses implementasi kurikulum baru ini.
Seperti terlihat dalam
sejarah pendidikan di Indonesia, dalam 30 tahun terakhir perubahan kurikulum
di Indonesia selalu bersifat top-down
approach, dengan mengambil perubahan pada aspek kurikulum dengan
menggunakan simplistic curriculum
change approach, atau fokus perubahan yang menitikberatkan pada aspek
kapasitas guru dengan model pendekatan teacher
competence development approach. Meskipun pelibatan semua pemangku
kepentingan telah dilakukan, jika dilihat dari sudut pandang arah perubahan
kurikulum yang diinginkan, agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan
manajemen sekolah belum dicakupkan ke skema perubahan kurikulum.
Yin Cheong Cheng dalam
Effectiveness of Curriculum Change in
School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar perubahan
kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu individu guru,
kelompok, dan sekolah.
Organizational model of curriculum change itu jelas harus
memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan
kurikulum berbasis sekolah (school
based curriculum), serta membiarkan sekolah memiliki strategi
implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang
sesuai dengan visi dan misinya.
Karena itu, melakukan
mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala sekolah yang terbuka dan
menetapkan kualifikasi yang sesuai dengan tujuan pengembangan kurikulum 2013
ialah imperatif. Demikian juga melakukan workshop
penguatan kapasitas leadership dan
manajemen sekolah merupakan keharusan yang tidak bisa diabaikan dalam proses
implementasi kurikulum 2013. Banyak hasil riset tentang pengembangan
kurikulum menunjukkan perubahan kurikulum sebaiknya selalu menimbang
kebutuhan lokal sekolah dan budaya yang berkembang di sekitarnya.
Artinya,
kontekstualisasi kurikulum dengan menempatkannya di jantung sekolah (curriculum school based program) ialah
hal yang tidak bisa ditawar untuk dilakukan, jika tak ingin kurikulum baru
bernasib sama dengan kurikulumkurikulum sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar