Freeport
dan Newmont
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
08 Februari 2014
PEKAN
lalu, CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc Richard C Adkerson terbang dari New York ke Jakarta menemui
sejumlah menteri terkait kebijakan bea keluar yang dikenakan Pemerintah RI
melalui Permenkeu Nomor 6/PMK.011/2014. Kita sebut saja: PMK 6.
Sebelumnya, perusahaan tambang
lain asal AS, Newmont, telah melayangkan surat keberatan dan mengancam akan
membawa pemerintah ke arbitrase internasional. Apa yang menjadi rasional bagi
pemerintah mengenakan bea keluar atas produk mineral?
PMK 6 merupakan turunan Peraturan
Pemerintah No 1/2012 yang melarang ekspor mineral yang belum diolah. PP
1/2014 merupakan pelaksanaan amanat dari UU No 4/2009 tentang Mineral dan
Batubara. Berdasarkan Pasal 103 UU itu, pelaku usaha pemegang izin
pertambangan diwajibkan mengolah dan memurnikan hasil penambangan di dalam
negeri.
Inti PMK 6 adalah pemegang izin
pertambangan harus melakukan pengolahan sampai tingkat tertentu hingga 2017.
Untuk memastikannya, setiap tahun mulai tahun ini hingga 2017, pemerintah
akan mengenakan bea keluar yang tinggi apabila pengolahan belum sampai ke
tingkat yang diharapkan.
Pada gilirannya yang divisikan UU
No 4/2009 agar Indonesia tidak sekadar mengekspor (baca: menjual) tanah (dan
air) terwujud. Visi pembentuk UU No 4/2009 yang mencerminkan aspirasi rakyat
agar industri pengolahan dan pemurnian berkembang dan memberi nilai tambah
bagi produk pertambangan akan terwujud. Visi ini diistilahkan sebagai
kebijakan hilirisasi.
Hanya satu kata: lawan
Mengapa dua perusahaan tambang
raksasa asal AS itu menentang kebijakan ini? Bukankah mereka telah banyak
beroleh untung dari bumi Indonesia? Tidak bisakah mereka memahami rasional
rakyat Indonesia melakukan hilirisasi? Apakah Freeport dan Newmont terus gali
untung di sektor hulu dan sektor hilir dengan melakukan pengolahan dan
pemurnian di luar RI?
Menghadapi manuver Freeport dan
Newmont, tiada pilihan lain bagi pemerintah: lawan! Rakyat akan marah jika
penyelenggara negara menyerah dengan tuntutan dan ancaman diarbitrasekan
Freeport dan Newmont.
Apabila dianalisis, posisi pemerintah
kuat menghadapi Freeport dan Newmont.
Pertama, keberatan Freeport dan
Newmont ditujukan kepada pemerintah atas dasar kontrak karya (KK). KK
merupakan perjanjian antara anak perusahaan mereka dan pemerintah. Dalam KK,
pemerintah dianggap mitra atau entitas perdata, bukan regulator. Padahal,
dalam konteks pengenaan bea keluar, pemerintah sebagai entitas publik dapat
mengeluarkan peraturan.
Pemerintah sebagai regulator tak
seharusnya dikekang melaksanakan kedaulatannya—termasuk kedaulatan
hukum—karena suatu kontrak yang dibuatnya dengan pelaku usaha. Keberadaan KK
memang bisa dimaklumi saat Indonesia pada awal kemerdekaan tak memiliki dana,
teknologi, dan ahli melakukan penambangan. Namun, KK tak dapat diterima
sebagaimana adanya pada masa sekarang secara hukum dan tingkat ekonomi
politik.
Melalui proses demokratisasi,
rakyat dapat bersuara dan tahu apa yang baik baginya. Ini berbeda dengan masa
lampau, khususnya era Soeharto, ketika penyelenggara negaralah yang paling
tahu dan memonopoli apa yang baik bagi rakyat. Saat ini banyak ahli hukum
yang mempermasalahkan keberlakuan KK secara absolut, seolah-olah menyunat
kedaulatan pemerintah. Konsep keberlakuan KK sebagai lex specialis dipertanyakan
mengingat lex specialis berlaku
jika produknya sama.
Semisal, UU yang mengatur secara khusus akan
mengesampingkan UU yang mengatur sesuatu secara umum.
Lex
specialis tak
dapat berlaku apabila perjanjian, termasuk KK, bertentangan dengan hukum,
termasuk peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1337 KUH Perdata
ditegaskan: perjanjian akan terlarang jika perjanjian itu melanggar hukum.
Jika bertentangan, akibatnya—sebagaimana diatur dalam Pasal 1335
KUHPerdata—adalah tidak akan berkekuatan hukum alias batal. Ketentuan ini
berlaku juga bagi pemerintah ketika berperan sebagai entitas perdata yang
terlibat dalam suatu kontrak.
Kedua, PMK 6 dikeluarkan sa- ma
sekali tak menyebut dua perusahaan tambang asal AS. Artinya, PMK 6 berlaku
umum, tidak diskriminatif terhadap Freeport dan Newmont semata. Siapa pun
pelaku usaha akan terkena dengan aturan ini apabila tingkat pengolahan produk
pertambangannya masih rendah.
Ketiga, bea keluar secara filosofis
tidak sama dengan pajak. Bea keluar dikenakan agar Newmont, Freeport, dan
perusahaan tambang lain mau melakukan hilirisasi. Ini tidak berarti bahwa
pelaku usaha yang terkena PMK 6 harus membangun industri pengolahan dan
pemurnian sendiri. Mereka dapat saja melakukan pengolahan dan pemurnian ke
perusahaan lain sepanjang perusahaan itu berada di Indonesia.
Tahun politik
Bagi Freeport dan Newmont, jika
mereka berkeras membawa masalah ini ke arbitrase internasional, pada akhirnya
mereka akan dirugikan mengingat situasi Indonesia saat ini. Tahun ini adalah
tahun politik ketika berbagai pihak berlomba-lomba menduduki kursi di DPR,
DPRD, dan DPD. Di tahun ini kursi presiden dan wakil presiden pun
diperebutkan. Bagi yang sedang mengikuti kontestasi, mereka butuh
isu sexy agar dapat mendulang suara rakyat. Apabila Freeport dan
Newmont terus menekan pemerintah dan akhirnya pemerintah menyerah di mata
rakyat, isu ini menjadi isu sexy bagi para pendulang suara rakyat.
Tak heran jika sejumlah anggota
kabinet yang merupakan ketua umum sejumlah partai tidak mau terkesan
pemerintah lemah menghadapi tuntutan Freeport dan Newmont. Mereka tahu betul
konsekuensi dari kebijakan yang tak populis. Kursi wakil rakyat, bahkan
presiden dan wakil presiden, yang jadi taruhan bagi partainya akan hilang
karena rakyat tak memercayai mereka.
Belum lagi apabila tuntutan
Freeport dan Newmont dikabulkan pemerintah, sudah pasti kebijakan itu hanya
bertahan sampai SBY memegang jabatan sebagai presiden. Presiden mendatang
yang memanfaatkan isu ini akan mengubah pendulum kebijakan SBY yang tak
populis.
Pemerintahan yang baru bukan tak
mungkin bertindak lebih nekat daripada pemerintahan SBY yang mengenakan bea
keluar. Bisa jadi Freeport dan
Newmont akan ”diganggu” tidak hanya di sektor hilir, tetapi juga di sektor hulu. Dalam konteks inilah Freeport dan Newmont harus berpikir kembali jika ingin terus memaksa pemerintah mengubah kebijakannya. Mereka juga harus berpikir ulang jika hendak membawa pemerintah ke arbitrase internasional.
Bagi bangsa Indonesia, masalah bea
keluar bukan lagi sekadar masalah hukum, melainkan sudah jadi masalah
penolakan atas eksploitasi yang dilakukan perusahaan multinasional. Publik
pun akan menganggap apa yang dilakukan Freeport dan Newmont sama seperti
zaman ketika Indonesia dieksploitasi perusahaan yang bernama VOC. Rasional
untuk melakukan hilirisasi terhadap industri pertambangan pun akan berubah
menjadi isu nasionalisme: melihat negaranya terus-menerus terpuruk ketika
berhadapan dengan pemerintah dan pelaku usaha asing.
Oleh karena itu,
apabila Freeport dan Newmont masih ingin tetap melakukan usaha di
Indonesia, pilihannya tidak ada lain selain mereka harus patuh terhadap
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk PMK 6.
Apabila tidak, tak ada kata lain bagi pemerintah selain ”Lawan Freeport dan Newmont!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar