Antara
Narsisisme dan Komodifikasi
Abd A’la ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya
|
KOMPAS,
08 Februari 2014
HINGGA saat ini kekerasan
(meminjam istilah Galtung dalam Violence,
Peace, and Peace Research, 1969) dalam tiga bentuknya—struktural,
kultural, dan kekerasan langsung—masih terus menimpa sebagian kelompok dan
masyarakat Indonesia. Bahkan, pada sebagian kasus ada nuansa kuat untuk
melestarikan kekerasan tersebut.
Fenomena pelestarian kekerasan,
minimal pelambanan penyelesaiannya, terlihat kuat dari upaya oknum atau pihak
tertentu untuk menutup rapat-rapat pintu solusi. Selain itu, hal tersebut
dapat ditelusuri pula dari pelibatan diri oknum atau kelompok yang senyatanya
justru kian memanaskan situasi dan kondisi yang ada.
Kekerasan dengan tiga bentuknya
yang biasanya dilakukan oleh atau dan terhadap kelompok akan berimplikasi
jauh. Implikasi tersebut bukan hanya pada korban kekerasan semata, melainkan
juga pada masyarakat keseluruhan. Demikian pula, bukan tidak mungkin
dampaknya akan menjadi bumerang bagi sang pelaku. Bahkan, hal itu nyaris
dipastikan akan menjadi pemicu bagi retaknya kebangsaan kita.
Matinya nurani
Semua pelaku kekerasan di
Indonesia pasti mengaku beragama. Namun, jangan ditanya peran agama dalam
membimbing nurani para pelaku kekerasan. Bagi sebagian pelaku, agama tidak
lebih dari sekadar nama yang memang nyaris tidak berpengaruh sama sekali
dalam kehidupan mereka. Simbol agama disebut hanya di saat-saat tertentu dan
ajarannya dilakukan sebatas sebagai tradisi tanpa substansi.
Kekerasan model ini tentu saja
sama sekali tidak terkait dan tidak dikait-kaitkan dengan agama. Sementara
bagi sebagian yang lain, agama dan segala turunannya, termasuk
aliran-alirannya—sampai derajat tertentu—lebih dikedepankan sebagai simbol
untuk lebih mengentalkan identitas diri dan kelompok yang
dilawankan vis-a-vis kelompok lain. Pada kekerasan yang dilakukan
orang dan kelompok semacam itu, nuansa agama demikian kental dikedepankan.
Alih-alih untuk menajamkan nurani dan melabuhkan moralitas ke dalam
kehidupan, agama direduksi untuk justifikasi tindakan mereka.
Sejatinya dua kekerasan itu
mengacu pada akar yang nyaris tunggal. Sikap dan tindakan bahkan pikiran para
pelaku kekerasaan—meminjam ungkapan Christopher Lanch dalam The Culture
of Narcissism (1979)—lebih ”dibimbing” budaya narsisisme.
Memodifikasi
penjelasan Lanch, budaya itu muncul dari kepribadian yang kemudian
berkembang menjadi fenomena sosial kelompok yang mengalami kecemasan dan
ketidakberdayaan terhadap kehidupan modern. Mereka memiliki perhatian utama
lebih pada kebutuhan diri mereka sendiri dan cenderung mengabaikan
kepentingan orang dan kelompok lain.
Mereka menganggap kehidupan di
luar mereka, lingkungan, dan sebagainya sebagai ancaman terhadap diri,
pandangan, dan kehidupan mereka. Pada saat yang sama, mereka juga mengalami
perasaan kehilangan otentisitas diri dan kekosongan jiwa, yang membuat mereka
sulit berhubungan dengan dunia di luar mereka.
Dalam kondisi semacam itu,
kelompok narsistik menjadikan apa yang ada di balik realitas, seperti agama
bahkan imajinasi, sebagai pembentuk citra diri yang membuat diri mereka
nyaris satu-satunya kelompok yang kuat dan benar. Sejalan dengan itu, mereka
meletakkan segala sesuatu di luar dirinya sebagai hal yang salah, kotor yang
harus dimusnahkan.
Biasanya kekerasan dan sejenisnya
menjadi satu-satunya cara untuk membasmi segala yang dianggap tidak benar
tersebut. Narsisisme menjadikan pelaku kekerasan mati suri sehingga tidak
mampu membimbing lagi sikap dan perilaku mereka masing-masing.
Memotong akar
Persoalan menjadi bertambah runyam
ketika muncul oknum atau kelompok lain yang diduga menjadikan kekerasan sebagai
barang komoditas atau bahkan sumber penghidupan mereka. Dalam kasus-kasus
tertentu, nuansa komodifikasi tampak membayang-bayangi beberapa tragedi
kekerasan. Kendati wujudnya tidak transparan, aroma dan kelebatan jual-beli
itu demikian terasa.
Berlarut-larutnya penyelesaian
kekerasan merupakan salah satu fenomena yang bisa diangkat. Karena itu, bukan
mustahil kekerasan diupayakan dilestarikan selama mungkin.
Menguatnya narsisisme dan
kekerasan pada kelompok-kelompok tertentu berpulang pada persoalan yang
beragam, dari pendidikan yang (kata Lanch) sudah menjadi barang komoditas
hingga modernitas yang melecehkan martabat kemanusiaan kita. Oleh karena itu,
rekonstruksi pendidikan niscaya merupakan agenda yang harus digarap serius,
terutama untuk penyelesaian jangka panjang.
Pendidikan harus
benar-benar enlightening; mencerahkan, dapat mengantarkan manusia
menjadi dewasa yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab bukan hanya kepada
diri sendiri, melainkan juga keluarga, lingkungan, masyarakat, bahkan negara.
Pendidikan agama seutuhnya harus berada pula dalam tataran ini.
Peran keluarga juga niscaya
dikembalikan ke fungsi yang sebenarnya sebagai tempat pemanusiaan dalam arti
senyatanya. Fungsi keluarga dihadirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pendidikan, di dalamnya seseorang dikembangkan dan dimatangkan
kepribadiannya, sebagaimana pula aspek lainnya yang mencakup kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Perlu rujukan bersama
Pada saat yang sama, modernitas
harus selalu dalam kawalan moral sehingga tidak mengasingkan manusia dari
kehidupan dan manusia yang lain. Yang lebih penting lagi, modernitas harus
tetap diarahkan untuk meletakkan manusia sebagai makhluk yang selalu
memerlukan bimbingan moral dari Sang Pencipta.
Di atas semua itu, agenda mendesak
yang perlu dilakukan adalah pemangkasan peluang dan kesempatan untuk
terjadinya komodifikasi kekerasan. Satu pintu penyelesaian harus jadi
satu-satunya rujukan bersama.
Siapa pun asal berkompeten dan
satu koordinasi bisa saja melalui pintu itu. Namun, pintu itu harus
benar-benar transparan sehingga mampu mengeliminasi peluang sekecil apa pun
yang akan membiaskan penyelesaian kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar