Drama Corby
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana
Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 12 Februari 2014
Schapelle
Corby adalah terpidana kasus narkoba asal Australia yang tertangkap di Bali
sembilan tahun lalu dan baru saja menerima pembebasan bersyarat dari
Pemerintah Indonesia.
Dalam syarat tersebut, Corby wajib menunjukkan perilaku baik, rutin melapor ke aparat berwenang, dan tidak boleh meninggalkan Indonesia sampai 2017. Di Indonesia, reaksi kecewa terhadap putusan pemerintah lebih kental daripada yang mendukung. Intinya, pemberian pengurangan hukuman bagi terpidana kasus narkoba adalah preseden buruk bagi penegakan hukum. Dari pengamatan saya secara langsung dari media-media di Australia, ada sisi lain yang menarik untuk dicermati yakni sisi reaksi dari media dan industri hiburan di Australia. Selama bertahun-tahun kasus Corby memberi materi hiburan yang tinggi bagi publik di Australia, bahkan selama berhari-hari menjelang penandatanganan surat pembebasan bersyarat dari Pemerintah Indonesia sejumlah media melakukan liputan live. Mereka menempatkan puluhan staf di berbagai titik agar dapat memperoleh gambar dan berita eksklusif tentang kejadian menit per menit menjelang dilepas Corby. Beberapa pernyataan yang berulang disebut oleh reporter antara lain: apakah Indonesia akan menunda pemberian pembebasan bersyarat? Apakah sistem penandatanganan surat pembebasan bersyarat tidak bisa dibuat lebih efisien? Mengapa para aparat penjara dan kepolisian tidak bisa mengatur suasana peliputan media supaya lebih manusiawi untuk Corby? Mengapa sampai terjadi dorong-mendorong? Segala drama itu dibingkai lebih seru dengan diputarkan ulang film berjudul Schapelle Corby yang sebenarnya menghilangkan banyak sisi riil dari tuntutan hukum atas Corby. Lagi-lagi kritik yang terasa dalam film itu adalah seputar para petugas bandara yang tidak menunjukkan rasa kasihan kepada perempuan muda yang di film itu digambarkan tak bersalah, petugas penjara yang minta disuap, dan suasana penjara yang sangat kotor dan tidak manusiawi. Artinya, kejadian pelanggaran hukum sekelas Corby menjadi teleskopbagi masyarakat Australia untuk melihat suasana dan menilai kemampuan aparat Indonesia. Apakah gambaran tersebut akurat, itu soal lain. Yang dibutuhkan dalam kondisi seperti itu, apalagi ketika dunia hiburan merasa menemukan objek baru, adalah spekulasi dan berita-berita yang tidak utuh. Model liputan live memberi ruang yang lebih luas untuk spekulasi tersebut karena para reporter tidak harus bicara tentang dokumentasi yang utuh dari tuntutan hukum yang menjerat Corby. Yang tampak di layar saja yang dikomentari habis-habisan. Kejadian ini semoga mengingatkan kita pada relasi bilateral Indonesia-Australia, juga relasi bilateral Indonesia dan Malaysia atau Singapura yang tergolong mudah terseret emosi. Satu liputan media bisa menyulut perasaan tersinggung yang berbuntut panjang. Eksploitasi kasus oleh media masing-masing negara telah memprovokasi dan menyediakan panggung bagi para politisi untuk memberi komentar yang terlihat berlebihan. Di titik ini mungkin politisi dapat lebih bijak untuk tidak sekadar memberikan pendapat yang populis tanpa mempertimbangkan dampak politisnya terhadap hubungan kedua negara. Di sinilah diperlukan pengamatan berjarak dari ragam stimulus yang menyulut emosi tersebut. Orang Indonesia harus percaya bahwa para aparat pemerintahnya punya profesionalitas yang cukup untuk mengenali mana kejahatan dan mana yang bukan. Kita juga harus mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat menyulut relasi buruk dengan negara tetangga. Dalam situasi emosional seperti yang dialami masyarakat Australia dalam kasus Corby ini, tindakan Pemerintah Indonesia untuk tampil tenang dan profesional sudah baik. Pada akhirnya semua harus dikembalikan pada porsinya; urusan hukum ditangani dengan cara hukum. Yang patut disayangkan adalahPemerintah Indonesia justru luput melihat jaringan masalah yang lebih besar terkait penyelundupan narkoba ke lokasi-lokasi pariwisata di Indonesia. Pemberitaan di Australia memberi indikasi bahwa sindikat perdagangan narkoba adalah masalah serius juga di Negeri Kanguru itu. Keluarga dan temanteman Corby bahkan termasuk yang tertangkap tangan mengedarkan narkoba. Indonesia juga luput membedakan apakah tekanan dari Australia untuk pembebasan Corby sebagai tekanan dari keluarga Corby atau tekanan dari Pemerintah Australia. Tampaknya kita cenderung menyamaratakan walau kenyataannya Pemerintah Australia pun sangat berhati-hati dalam mencampuri urusan ini karena mayoritas kasus tangkap tangan urusan narkoba seperti Corby memang terbukti melibatkan jaringan penjahat. Tidak akan ada jaminan pada masa depan bahwa hubungan Indonesia dan Australia akan tenang dan harmonis hanya karena Corby dibebaskan lebih cepat dan bersyarat oleh Pemerintah Indonesia. Secara sosial dan budaya dan dalam keseharian, Australia lebih mengasosiasikan dirinya dengan masyarakat Barat yang cenderung terbuka dan to the point dalam menyampaikan pendapat. Memang tahun lalu dalam dokumen hubungan luar negerinya disampaikan bahwa Australia adalah bagian dari Asia dan dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun lebih dari 50% penduduk Australia justru berdarah Asia atau dibesarkan di Asia, cara berpikir dan berpendapat mereka tidak (belum?) bisa dikatakan sama dengan cara-cara Asia atau ASEAN. Orientasi mereka adalah untuk bicara apa adanya, bahkan bicara sambil berpikir. Perbedaan budaya dan politik ini potensi-potensi yang dapat membuat hubungan Indonesia dan Australia turun-naik. Namun di sisi lain, ini juga peluang yang baik karena masih ada ruang-ruang dialog di antara masyarakat sipil kedua negara yang bisa dijajaki. Kasus Corby atau kasus pengungsi adalah contoh-contoh di mana masyarakat Australia pada umumnya masih melihat Indonesia sebagai negara yang sedang melakukan transisi politik dan ekonomi menuju masyarakat yang lebih demokratis dan maju. Kerja sama yang baik, terutama di bidang ilmu pengetahuan, akan saling membantu masyarakat sipil di kedua belah pihak untuk dapat memberikan tekanan-tekanan yang tepat bagi pemerintahan yang berkuasa agar adil dan proporsional dalam menanggapi isu-isu sosial ekonomi maupun politik yang berkembang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar