Rabu, 12 Februari 2014

BPJS dan Angka Keramat 2014

BPJS dan Angka Keramat 2014

Badrul Munir   ;  Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar Malang
MEDIA INDONESIA,  11 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Upaya pemerintah memberi madu ke rakyatnya berupa jaminan kesehatan nasional bisa berubah menjadi racun manakala tidak dibarengi dengan persiapan yang matang dan sistem yang sempurna.”

TAHUN 2014 merupakan angka keramat bagi bangsa Indone sia. Begitu keramatnya tahun ini seolah tidak ada tahun sebelum dan sesudahnya. Lihatlah betapa aktivitas media masa memberitakan pernak-pernik pemilu, mulai DPC/DPT, calon anggota legislatif, hingga survei elektabilitas partai dan calon presiden/ wakil presiden.

Pemilu 2014 juga sangat mahal dengan perkiraan menelan dana Rp50 triliun, yang tentunya bersumber dari APBN. Biaya itu belum termasuk biaya caleg dan partai politik yang menanggung sendiri ongkos keikutsertaan mereka dalam kontes lima tahunan ini, seperti untuk biaya kampanye dan sosialisasi.

Bagi partai pemerintah yang sekarang berposisi sebagai petahana (incumbent), berbagai langkah politis juga dilakukan. Kebijakan populis yang menyentuh langsung diputuskan menjelang tahun keramat ini dengan harapan simpati publik bersemi kembali seperti pemilu sebelumnya. Salah satu kebijakan populis yang diambil oleh pemerintah ialah pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di awal 2014, dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pelaksananya. Kebijakan yang sangat penting dan mendasar bagi rakyat Indonesia itu telah diresmikan oleh Presiden SBY di akhir Desember 2013.

Para pengamat menilai kebijakan program itu sangat baik. Sayangnya, belum direncanakan secara matang dan menyeluruh serta sosialisasi yang belum maksimal. Bahkan program yang terkesan dipaksakan dan menjadikan masyarakat seperti ‘kelinci percobaan’ itu memunculkan masalah krusial di lapangan. Penulis tidak dapat membayangkan sebuah sistem yang rencananya melayani kesehatan 121 juta-140 juta warga Indonesia dan mengelolah aset iuran dana jaminan Rp39 triliun per tahun yang direncanakan hanya dalam beberapa bulan sebelum di-launching, tanpa sosialisasi yang masif terhadap masyarakat dan pelayan kesehatan. Suatu langkah yang cukup berisiko menuai kegagalan dan menyengsarakat masyarakat (baca; pasien).

Evaluasi pelaksanaan

Satu bulan lebih pelaksanaan JKN telah dilakukan, dan selama itu terjadi kegaduhan dan kebingungan yang berjemaah, mulai pasien, dokter/pelayan kesehatan, bahkan petugas BPJS-K (dulu PT Askes). Hal itu berlangsung di semua daerah di Indonesia baik di kota besar apalagi di daerah pelosok. Kegaduhan tersebut mungkin belum terpantau secara jelas oleh media massa.

Sebagai praktisi kesehatan, penulis bisa merasakan betapa sistem baru itu membuat `kalang kabut pelayanan kesehatan' di lapangan.

Kegaduhan itu tergambar dari satu penelitian selama Januari 2014. Sebuah penelitian ilmiah yang mengkaji penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan nasional dianalisis dari pemberitaan media massa nasional dan lokal di seluruh Indonesia dan memberi data yang menarik. Pemberitaan ‘positif ’ JKN selama Januari 2014 sebesar 60%, tetapi cenderung menurun dari minggu pertama dan kedua dengan rata-rata penurunan 16%. Sebaliknya pemberitaan ‘negatif’ JKN awal Januari 40% dan cenderung meningkat pada minggu pertama dan kedua dengan rata-rata 15,9%, yang memberi sinyal potensi masalah semakin besar bila tidak segera dicarikan solusinya.

Kegaduhan merata mulai sistem pelayanan kesehatan (health care delivery system), sistem pembiayaan kesehatan (health care financing), hingga sistem pembayaran kesehatan (health care reimbursement) yang pada ujungnya membingungkan masyarakat yang selama ini sudah terlayani dengan sistem ansuransi sebelumnya (Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan lainnya).

Kegaduhan itu muncul karena ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan (baca PT Askes) dalam melaksanakan amanat UU ini. Hal yang sangat fundamental berupa regulasi operasional seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri kesehatan terlambat dikeluarkan dan disosialisasikan.

Sebagai contoh di sistem pembiayaan kesehatan, berdasarkan UU No 24/2011 tentang BPJS dinyatakan bahwa peserta Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan, sehingga tanpa mendaftar sebenarnya mereka sudah tercatat sebagai peserta. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Peserta Jamsostek harus mendaftar sendiri sebagai peserta BPJS Kesehatan. Bahkan para pengusaha masih dibingungkan tentang jumlah iuran dan tata cara pembayarannya. Hal yang sama juga terjadi pada peserta Askes dan Asabri, Jamkesmas, dan lainnya.

Di sistem pelayanan kesehatan juga menimbulkan kegaduhan luar biasa. Sistem rujukan yang baru dan bertingkat tidak disosialisasikan lebih dulu sebelum dilaksanakan sistem JKN ini sehingga para pasien kebingungan dan pontang-panting mengurus tata cara mencari rujukan demi mendapatkan pelayanan kesehatan. 
Rujukan yang berjenjang dan terbagi menjadi tiga tingkatan, yang pada awalnya ditujukan untuk mengaktifkan sistem rujukan, menjadi sesuatu yang `menyiksa dan menambah penderitaan' pasien JKN.

Abaikan profesi kesehatan

Sistem pembayaran JKN dengan INA-CBG'S yang terbagi dalam tiga regio dan tiga kelas juga bukan tanpa masalah. Penerapan tarif yang dilakukan BPJS sepertinya terburu-buru dan tidak melibatkan organisasi profesi kesehatan sehingga besaran pembiayaan kacau-balau dan banyak mendapat protes dari rumah sakit dan organisasi profesi. Sebagai contoh, biaya operasi kandungan (caesar) kelas 3 regional A Rp5.484.728 lebih rendah daripada circumsisi (khitan) Rp15.633.431. 
Padahal tingkat kesulitan dan risiko medis operasi caesar jauh lebih tinggi daripada mengkhitan. Tidak mengherankan jika beberapa rumah sakit berniat mengundurkan diri dari sistem ini.

Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus segera membenahi secara holistis dan sistematis serta mengajak semua pihak agar permasalahan BPJS Kesehatan tidak membuat masyarakat semakin menjadi `korban'. Upaya pemerintah memberi madu ke rakyatnya berupa jaminan kesehatan nasional bisa berubah menjadi racun manakala tidak dibarengi dengan persiapan yang matang dan sistem yang sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar