BPJS
dan Angka Keramat 2014
Badrul Munir ; Dokter
Spesialis Saraf RS Saiful Anwar Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Februari 2014
“Upaya pemerintah memberi madu ke
rakyatnya berupa jaminan kesehatan nasional bisa berubah menjadi racun
manakala tidak dibarengi dengan persiapan yang matang dan sistem yang
sempurna.”
TAHUN 2014 merupakan
angka keramat bagi bangsa Indone sia. Begitu keramatnya tahun ini seolah
tidak ada tahun sebelum dan sesudahnya. Lihatlah betapa aktivitas media masa
memberitakan pernak-pernik pemilu, mulai DPC/DPT, calon anggota legislatif,
hingga survei elektabilitas partai dan calon presiden/ wakil presiden.
Pemilu 2014 juga
sangat mahal dengan perkiraan menelan dana Rp50 triliun, yang tentunya
bersumber dari APBN. Biaya itu belum termasuk biaya caleg dan partai politik
yang menanggung sendiri ongkos keikutsertaan mereka dalam kontes lima tahunan
ini, seperti untuk biaya kampanye dan sosialisasi.
Bagi partai pemerintah
yang sekarang berposisi sebagai petahana (incumbent),
berbagai langkah politis juga dilakukan. Kebijakan populis yang menyentuh
langsung diputuskan menjelang tahun keramat ini dengan harapan simpati publik
bersemi kembali seperti pemilu sebelumnya. Salah satu kebijakan populis yang
diambil oleh pemerintah ialah pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) di awal 2014, dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan sebagai pelaksananya. Kebijakan yang sangat penting dan mendasar
bagi rakyat Indonesia itu telah diresmikan oleh Presiden SBY di akhir
Desember 2013.
Para pengamat menilai
kebijakan program itu sangat baik. Sayangnya, belum direncanakan secara
matang dan menyeluruh serta sosialisasi yang belum maksimal. Bahkan program
yang terkesan dipaksakan dan menjadikan masyarakat seperti ‘kelinci
percobaan’ itu memunculkan masalah krusial di lapangan. Penulis tidak dapat
membayangkan sebuah sistem yang rencananya melayani kesehatan 121 juta-140
juta warga Indonesia dan mengelolah aset iuran dana jaminan Rp39 triliun per
tahun yang direncanakan hanya dalam beberapa bulan sebelum di-launching, tanpa sosialisasi yang
masif terhadap masyarakat dan pelayan kesehatan. Suatu langkah yang cukup
berisiko menuai kegagalan dan menyengsarakat masyarakat (baca; pasien).
Evaluasi pelaksanaan
Satu bulan lebih
pelaksanaan JKN telah dilakukan, dan selama itu terjadi kegaduhan dan
kebingungan yang berjemaah, mulai pasien, dokter/pelayan kesehatan, bahkan petugas
BPJS-K (dulu PT Askes). Hal itu berlangsung di semua daerah di Indonesia baik
di kota besar apalagi di daerah pelosok. Kegaduhan tersebut mungkin belum
terpantau secara jelas oleh media massa.
Sebagai praktisi kesehatan, penulis bisa merasakan betapa sistem baru itu
membuat `kalang kabut pelayanan kesehatan' di lapangan.
Kegaduhan itu
tergambar dari satu penelitian selama Januari 2014. Sebuah penelitian ilmiah
yang mengkaji penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan nasional dianalisis
dari pemberitaan media massa nasional dan lokal di seluruh Indonesia dan
memberi data yang menarik. Pemberitaan ‘positif ’ JKN selama Januari 2014
sebesar 60%, tetapi cenderung menurun dari minggu pertama dan kedua dengan
rata-rata penurunan 16%. Sebaliknya pemberitaan ‘negatif’ JKN awal Januari
40% dan cenderung meningkat pada minggu pertama dan kedua dengan rata-rata
15,9%, yang memberi sinyal potensi masalah semakin besar bila tidak segera
dicarikan solusinya.
Kegaduhan merata mulai
sistem pelayanan kesehatan (health care
delivery system), sistem pembiayaan kesehatan (health care financing), hingga sistem pembayaran kesehatan (health care reimbursement) yang pada
ujungnya membingungkan masyarakat yang selama ini sudah terlayani dengan
sistem ansuransi sebelumnya (Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan lainnya).
Kegaduhan itu muncul
karena ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan (baca PT Askes) dalam
melaksanakan amanat UU ini. Hal yang sangat fundamental berupa regulasi
operasional seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan
menteri kesehatan terlambat dikeluarkan dan disosialisasikan.
Sebagai contoh di
sistem pembiayaan kesehatan, berdasarkan UU No 24/2011 tentang BPJS
dinyatakan bahwa peserta Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan,
sehingga tanpa mendaftar sebenarnya mereka sudah tercatat sebagai peserta.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Peserta Jamsostek harus mendaftar
sendiri sebagai peserta BPJS Kesehatan. Bahkan para pengusaha masih
dibingungkan tentang jumlah iuran dan tata cara pembayarannya. Hal yang sama
juga terjadi pada peserta Askes dan Asabri, Jamkesmas, dan lainnya.
Di sistem pelayanan
kesehatan juga menimbulkan kegaduhan luar biasa. Sistem rujukan yang baru dan
bertingkat tidak disosialisasikan lebih dulu sebelum dilaksanakan sistem JKN
ini sehingga para pasien kebingungan dan pontang-panting mengurus tata cara
mencari rujukan demi mendapatkan pelayanan kesehatan.
Rujukan yang berjenjang
dan terbagi menjadi tiga tingkatan, yang pada awalnya ditujukan untuk
mengaktifkan sistem rujukan, menjadi sesuatu yang `menyiksa dan menambah
penderitaan' pasien JKN.
Abaikan profesi kesehatan
Sistem pembayaran JKN
dengan INA-CBG'S yang terbagi dalam tiga regio dan tiga kelas juga bukan
tanpa masalah. Penerapan tarif yang dilakukan BPJS sepertinya terburu-buru
dan tidak melibatkan organisasi profesi kesehatan sehingga besaran pembiayaan
kacau-balau dan banyak mendapat protes dari rumah sakit dan organisasi
profesi. Sebagai contoh, biaya operasi kandungan (caesar) kelas 3 regional A Rp5.484.728 lebih rendah daripada
circumsisi (khitan) Rp15.633.431.
Padahal tingkat kesulitan dan risiko medis
operasi caesar jauh lebih tinggi daripada mengkhitan. Tidak mengherankan jika
beberapa rumah sakit berniat mengundurkan diri dari sistem ini.
Pemerintah dan BPJS
Kesehatan harus segera membenahi secara holistis dan sistematis serta
mengajak semua pihak agar permasalahan BPJS Kesehatan tidak membuat
masyarakat semakin menjadi `korban'. Upaya pemerintah memberi madu ke
rakyatnya berupa jaminan kesehatan nasional bisa berubah menjadi racun
manakala tidak dibarengi dengan persiapan yang matang dan sistem yang
sempurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar