Bahagia
tapi Kurang Pintar
Agus M Irkham ; Aktivis Literasi
|
TEMPO.CO,
04 Februari 2014
Kemampuan anak Indonesia berusia 15
tahun di bidang matematika, sains, dan membaca dibandingkan dengan anak-anak
lain di dunia masih rendah. Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment 2012, Indonesia
berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes.
Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di peringkat
terbawah.
Penilaian itu dipublikasikan The Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) pada awal Desember 2013. Rata-rata skor matematika
anak-anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata skor untuk
sains 382. Padahal rata-rata skor OECD secara berurutan adalah 494, 496, dan
501.
PISA 2012 yang bertema Evaluating School Systems to Improve
Education diikuti oleh 34 negara anggota OECD dan 31 negara mitra
(termasuk Indonesia) yang mewakili lebih dari 80 persen ekonomi dunia. Murid
yang terlibat sebanyak 510 ribu anak berusia 15 tahun yang mewakili 28 juta
anak berusia 15 tahun di sekolah dari 65 negara partisipan.
Selain mengukur tingkat kemampuan
siswa terhadap matematika, sains, dan membaca, PISA 2012 mengukur seberapa
bahagiakah siswa saat di sekolah.
Ternyata hasilnya sungguh di luar
dugaan. Hasil PISA 2012 menunjukkan murid-murid di Indonesia paling bahagia
saat berada di sekolah. Sebaliknya, murid-murid di Korea Selatan yang
kemampuan sains, matematika, dan membacanya tinggi justru paling tidak
bahagia di sekolah.
Membaca hasil survei di atas, kita
akan dihadapkan pada fakta yang bersifat paradoksal. Hal ini berupa rasa
bahagia para murid kita saat di sekolah, namun tidak lantas secara otomatis
membuat mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam matematika, sains, dan
membaca. Bahagia tapi tidak pintar.
Temuan paradoks tersebut juga bisa
bermakna Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sudah berhasil
membuat para siswa senang di sekolah, karena mereka-yang mengikuti survei
itu-memakai KTSP. Dapat juga bermakna sekolah merupakan ruang publik (baca:
ruang kebebasan) buat para murid di tengah pola relasi yang terjalin di rumah
(anak dan orang tua) dan lingkungan masyarakat sekitar mereka (remaja dan orang dewasa) yang
berkemungkinan besar tidak memberi ruang ekspresi yang cukup untuk mereka.
Terlepas dari makna paradoks dan dua
cara pembacaan-pemaknaan tersebut, hasil PISA 2012 ini-terutama rasa bahagia
di sekolah-bisa menjadi titik masuk bagi ikhtiar perubahan dunia pendidikan
kita. Sebab, rasa bahagia ini adalah kunci bagi proses pembelajaran yang
optimal. Mereka dapat melihat satu dunia yang penuh dengan kemungkinan,
harapan, kesempatan, dan cita-cita. Akhirnya, para murid tidak hanya pintar,
tapi juga bahagia. Bahagia tapi juga pintar. Dengan demikian, para orang tua
tidak perlu mengatakan seperti yang pernah diutarakan oleh Alexander
Sutherland Neill, pendiri sekolah Summer Hill: "lebih baik anak saya menjadi tukang sapu yang bahagia ketimbang
menjadi sarjana tapi terkena gangguan jiwa." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar