Selasa, 31 Januari 2012

Republik Tanpa Nakhoda (90)


Republik Tanpa Nakhoda
Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UI
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012


Politik di Republik ini seperti bekerja di dua ruang yang berbeda. Yang pertama adalah ruang politik kelembagaan. Di ruang ini, politik steril dari segenap isu akar rumput yang kumuh. Fokus utama politik ruang pertama ini adalah urusan pertumbuhan ekonomi, peringkat laik investasi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan indeks persepsi korupsi. Sementara itu, ruang kedua politik bekerja di lapangan tanpa pendingin ruangan. Politik di ruang kedua bekerja di jalan tol yang disumbat, lahan yang dirampas, dan bantaran kali yang digusur.

Politik di ruang kedua tidak terstruktur dan hadir lebih sebagai peristiwa yang mengejutkan, tetapi bermakna. Persoalannya, mengapa politik ruang pertama yang gilang-gemilang tidak dapat meredam ledakan sosial di ruang kedua?

Negara yang Terkepung

Semua teori negara mengatakan betapa negara adalah transformasi khaos menjadi kosmos. Negara hadir mengubah ketidaktertiban sosial menjadi ketertiban politik. Transformasi itu sejatinya adalah sebuah tindak kekerasan. Negara adalah imperatif ketertiban yang dipaksakan kepada demos yang tak terorganisasi. Ini memiliki dua dampak yang sama dahsyatnya.

Pertama, negara memerlukan legitimasi abadi agar kekerasan purba yang dilakukannya dapat tetap terlindungi secara etis. Kedua, negara sejatinya ibarat perawan yang berada di sarang penyamun. Ia senantiasa dibayang-bayangi demos yang terus mengancam eksistensinya. Imperatif ketertiban dari negara sewaktu-waktu dapat dibantah oleh demos sehingga ketertiban politik pun kembali koyak.

Legitimasi direbut negara dengan menjalankan politik ruang pertama. Penyelenggara negara bekerja 24 jam untuk menggenjot kesejahteraan umum dengan segenap indikatornya. Ketika pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata, angka kemiskinan menurun, dan korupsi diminimalkan, legitimasi akan dipanen secara berkala. Maka, logika penyelenggara negara selalu berpijak pada politik kelembagaan. Wakil menteri diperbanyak. Lembaga ad hoc ditambah. Staf khusus dibentuk. Sentra pengaduan dibangun. Semua itu dilakukan guna menuntaskan proyek besar pembangunan kesejahteraan yang notabene berfungsi sebagai katalisator ledakan sosial.

Persoalannya, berbagai peristiwa belakangan ini, mulai dari kasus Mesuji hingga pembakaran kantor bupati di Bima, menunjukkan sesuatu yang berbeda. Politik ruang pertama hanya mendapat tepuk tangan setiap laporan tahunan di parlemen. Politik di ruang kedua sama sekali tak mendapat manfaat dari segenap kemajuan yang digelorakan politik ruang pertama. Buktinya, demos tetap menjadi korban ketakadilan. Demos tak dapat beribadah secara leluasa. Demos tak dapat menikmati panen dari tanahnya sendiri. Demos dihukum karena mencuri sandal. Dan, demos pun diupah di bawah standar hidup layak.

Jangan heran apabila demos bertiwikrama ke wujud semulanya. Demos kembali mengganas seperti masa hipotetis ketika negara belum hadir. Legitimasi yang dipupuk di ruang berpendingin gagal meredam akar rumput yang bergolak panas. Demos tak peduli dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang digenjot oleh konsumsi kelas menengah tak berarti apa-apa bagi demos yang tak sanggup membeli beras.

Frustrasi sosial tanpa katalisasi pun meluas. Demos kembali teringat pada kekerasan purba yang dilakukan negara. Alhasil, penyelenggara negara akhirnya terkepung dan legitimasi merosot tajam. Siasat yang tersisa adalah citra. Itu sebabnya politik dewasa ini disesaki oleh lembaga pemoles citra. Biro-biro iklan kebanjiran proyek setiap akhir tahun anggaran. Delusi politik ruang pertama adalah demos akan terhasut dan melunak oleh citra, kesan, dan advertorial.

Lalu Bagaimana?

Setiap penyelenggara negara harus paham bahwa dirinya ibarat seekor tuna di lautan hiu. Dirinya secara permanen selalu berada di bawah ancaman demos. Apalagi ketika ketakadilan merajalela. Kita harus paham satu hal. Wibawa tak dapat dibeli. Kebijakan tak dapat diserahkan kepada konsultan untuk dipikirkan dan dibedaki. Demos semakin dewasa dan cerdas. Mere- ka dapat membedakan mana loyang mana emas.

Demos mengganas ketika republik seperti berjalan tanpa nakhoda. Dia mengganas ketika pemerintah daerah tak mau melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Dia mengganas ketika kepala negara menyelesaikan masalah dengan instruksi dan lembaga ad hoc. Republik ini gemuk instruksi tetapi kurus implementasi. Lembaga lahir dan mati silih berganti. Alih-alih mengatasi kemiskinan struktural, kita lebih suka membuat struktur baru yang inefisien.

Demos marah besar ketika upah mini- mum Kabupaten Bekasi yang sudah dipu- tuskan gubernur kemudian digugat asosi- asi pengusaha. Di mana wibawa pemerin- tah di depan para cukong? Hakim pun, sayangnya, memenangkan gugatan pengusaha. Di sini Republik kembali berjalan tanpa nakhoda. Pemerintah pusat hanya bisa bingung dan belingsatan ketika Jalan Tol Cikampek ditutup demos hampir 20 jam.

Penyelenggara negara terlalu anonim untuk dijadikan tertuduh. Setiap kapal pu- nya nakhoda. Setiap negara punya kepala negara. Kepala negara dituntut mengendalikan Republik saat badai. Dia juga ditun- tut dapat mengantisipasi badai. Badai sosial, ekonomi, dan politik yang melanda Republik sayangnya direspons sang nakhoda dengan diktum pertumbuhan ekonomi belaka. Tak ada keputusan yang me- nentukan di saat darurat. Artinya, nakho- da memiliki jabatan, tetapi tuna-kedaulatan.

Ibarat kapal, negara harus berlayar dengan panduan yang benar. Konstitusi adalah panduan bagi siapa pun nakhoda Republik ini. Konstitusi menggariskan bahwa kekayaan alam harus berdampak sosial yang adil dan merata. Perekonomian tak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar bebas yang abai terhadap kesenjangan sosial. Sang nakhoda, sayangnya, mengendalikan Republik dengan panduan sendiri. Tak heran, petani pun korban ketika lahannya dicaplok pengusaha perkebunan yang dilindungi penguasa. Nakhoda sepertinya lebih berpihak pada badai ketimbang panduan yang diwariskan pembuat kapal.

Saya ingin memakai bahasa terang. Kita memerlukan nakhoda baru. Nakhoda yang dapat bekerja di dua ruang politik sekaligus. Dia yang cakap menjaga stabilitas makroekonomi, juga lihai menyelesaikan persoalan akar rumput. Nakhoda baru nanti harus sadar dirinya adalah ikan tuna di lautan hiu. Demos adalah hiu yang tak dapat dihasut dengan citra. Demos tak silau dengan pertumbuhan ekonomi dan peringkat laik investasi. Demos hanya kembali tenang apabila kesepakatan upah minimum dilaksanakan, tanah yang dicaplok dikembalikan, ganti rugi dibayarkan, dan rumah ibadah dapat didirikan.

Kita harus selalu ingat. Politik bukan reproduksi kesan, melainkan produksi sebuah kekinian baru. Nakhoda Republik ini tak dinilai berdasarkan jumlah iklan yang menampilkan wajahnya. Dia dinilai berdasarkan kemampuan menciptakan kebaruan dari ketiadaan. Kita tiba-tiba rindu sosok seperti Gus Dur yang mampu menciptakan kekinian baru bagi pluralisme. Kita rindu politisi yang mampu menciptakan monumen kemanusiaan yang tak lekang dimakan kala. Kita tak sabar dinakhodai politisi sejati yang memainkan politik dua ruang secara murni dan konsisten. Kita rindu nakhoda baru.

Kelemahan Proses Transformasi Militer Indonesia


Kelemahan Proses Transformasi Militer Indonesia
Alexandra Retno Wulan, PENELITI DEPARTEMEN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES (CSIS), JAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 31 Januari 2012


Sesuai dengan hasil rapat pimpinan Kementerian Pertahanan dan rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia pada awal 2012, pemerintah telah memutuskan prioritas target pembangunan dalam konteks pembangunan pertahanan Indonesia. Prioritas pertama ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme, termasuk di dalamnya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Sayangnya, beberapa pembelian alutsista baru dalam konteks modernisasi persenjataan tidak sepenuhnya mendukung keseluruhan proses transformasi militer Indonesia.

Salah satu sinyal keseriusan yang telah diberikan oleh pemerintah terhadap upaya peningkatan modernisasi pertahanan adalah tambahan anggaran untuk pembelian dan pemeliharaan alutsista kira-kira sebesar Rp 156 triliun hingga 2014. Anggaran ini akan mencakup tiga komponen utama. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 untuk penguatan alutsista, Rp 66,5 triliun dialokasikan untuk pembelian alutsista sesuai dengan rencana pembangunan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), Rp 32,5 triliun untuk pemeliharaan dan perawatan. Komponen ketiga, Rp 57 triliun, untuk percepatan pemenuhan MEF sesuai dengan amanat Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2011.

Selanjutnya, tentu saja anggaran ini akan dipecah alokasinya untuk pembangunan kekuatan TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. Hingga saat ini beberapa rencana pembelian dan proses pembelian alutsista telah dilakukan dalam kerangka anggaran Rp 156 triliun ini. TNI Angkatan Darat rasanya akan segera memiliki 100 main battle tank (MBT) Leopard dari Belanda untuk menandingi kemampuan angkatan darat negara-negara tetangga. Sementara itu, TNI Angkatan Laut akan segera memiliki tiga kapal selam, hasil kerja sama dengan Korea Selatan ditambah dengan proses alih teknologi, sehingga diharapkan dapat menstimulasi percepatan pertumbuhan industri kapal selam di Indonesia. TNI Angkatan Udara akan memiliki 25 pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat.

Secara teoretis, transformasi militer Indonesia dilakukan untuk membentuk pertahanan negara yang profesional. Pertahanan profesional tentunya harus didukung oleh alutsista yang modern sekaligus sistem kerja birokrasi yang baik. Karena itu, proses peremajaan dan modernisasi alutsista Indonesia adalah hal yang baik serta wajib untuk dilakukan. Namun proses keseluruhan dari transformasi militer Indonesia menuju profesionalisme membutuhkan beberapa hal penting lainnya selain alutsista “baru” dan modern semata.

Salah satunya, berkaitan dengan proses pembenahan sistem peremajaan dan pembelian alutsista, Indonesia harus melihat kembali mekanisme perencanaan kekuatan pertahanan Indonesia. Selama ini, beberapa perbaikan sistemik telah dilakukan, misalnya dengan adanya aturan pengadaan secara elektronik, serta sistem pengadaan satu pintu pemerintah yang menempatkan Kementerian Pertahanan sebagai institusi yang sama hak dan kewajibannya dengan institusi pemerintahan lainnya dalam konteks pengadaan.

Selain itu, proses pembuatan cetak biru peremajaan dan pembelian alutsista melalui rancangan Kekuatan Pokok Minimum Pertahanan merupakan salah satu langkah maju yang memberikan dasar dan arah bagi penguatan kekuatan pertahanan Indonesia. Cetak biru ini diharapkan menjadi landasan kebijakan berkesinambungan dan tidak bergantung pada pembuat kebijakan yang kerap berganti-ganti keputusan. Tetapi tampaknya tahapan perencanaan yang sudah ada ini kurang didukung dengan perencanaan yang sifatnya lebih substansial.

Pertama, perencanaan MEF masih menunjukkan dilema antara menggunakan dasar kapabilitas (capability based) atau dasar ancaman (threat based). Kegamangan pemerintah untuk memberi arahan tegas mengenai kebijakan pertahanan Indonesia berkaitan dengan ancaman, misalnya, membuat prioritas pembelian alutsista juga menjadi kabur. Keputusan untuk membeli kapal selam, misalnya, menjadi sulit untuk dijustifikasi apabila definisi ancaman Indonesia adalah keamanan maritim dalam konteks pencurian sumber daya alam di perairan Indonesia.

Kedua, adanya kebutuhan untuk membentuk kekuatan pertahanan trimatra terpadu yang tampaknya tidak dijadikan landasan dalam pembuatan perencanaan MEF. Pada saat ini Indonesia memiliki berbagai platform persenjataan yang sangat berbeda antar-matra. TNI AD memilih membeli tank Leopard buatan Jerman, TNI AL sudah memastikan kerja sama pembuatan kapal selam dengan Korea Selatan, sementara TNI AU akan segera menerima hibah F-16 dari Amerika Serikat.

Adalah keputusan yang lebih bijaksana bagi masa depan pertahanan Indonesia apabila platform persenjataan bisa diminimalkan. Hal ini tentu akan mengurangi biaya serta meningkatkan efektivitas operasi operasi militer yang akan dijalankan oleh Indonesia. Salah satu pertimbangan negatif untuk mengurangi platform adalah kemungkinan ketergantungan kepada satu pihak.

Pada saat ini, tampaknya ada dua negara potensial yang bisa ditinjau oleh Indonesia. Melihat perkembangan positif kerja sama pembuatan kapal selam Indonesia dengan Korea Selatan, karena perjanjian alih teknologinya, maka tampaknya akan jauh lebih baik apabila pemerintah dapat mengakselerasi kerja sama serupa untuk pengembangan pesawat tempur KFX dan mungkin menginisiasi pengembangan kerja sama untuk alutsista TNI AD. Selain Korea Selatan, Turki merupakan partner potensial karena saat ini sudah mulai dirintis kerja sama pertahanan dengan berbagai upaya alih teknologi untuk menumbuhkan industri pertahanan domestik yang mampu menjawab persoalan ketergantungan kepada pihak lain.

Akan jauh lebih produktif apabila seluruh langkah positif yang telah diambil dalam proses transformasi pertahanan Indonesia tidak lagi diwarnai dengan perdebatan yang kurang substansial, misalnya tentang bobot main battle tank yang akan dibeli. Namun akan lebih baik bagi masa depan Indonesia apabila proses transformasi pertahanan Indonesia didukung dengan pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, harmonis, dan substansial.

Mampukah Indonesia Menuju Denmark


Mampukah Indonesia Menuju Denmark
Wahyu Prasetyawan, PENGAJAR EKONOMI-POLITIK DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012


Kasus-kasus rasuah besar, seperti pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, aliran dana Bank Century, dan kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin, yang belum selesai hingga saat ini, menjadi pertaruhan besar bagi akuntabilitas politik, demokrasi, dan pemberantasan rasuah di sini. Kegagalan menyelesaikan ketiga soal besar tersebut menjadi paradoks bagi keberhasilan manajemen ekonomi makro dan demokrasi.

Situasi ideal dengan adanya stabilitas politik, politik yang demokratis, damai, sejahtera, serta rendahnya tingkat rasuah diumpamakan dengan Getting to Denmark. Ini sebuah kiasan yang digunakan Lant Prichett dan Michael Woolcock bagi negara ideal. Jika elemen Getting to Denmark ditambah dengan akuntabilitas politik, perumpamaan ini cukup menarik dipakai untuk melihat dinamika ekonomi politik Indonesia.

Kasus-kasus rasuah (perburuan rente) memperlihatkan gambaran yang berlawanan dengan capaian dalam demokrasi dan stabilitas politik. Dukungan publik terhadap demokrasi cukup tinggi. Capaian ekonomi Indonesia juga baik. Lembaga pemeringkat Fitch memasukkan Indonesia dalam kategori tempat yang layak untuk investasi. Ini merupakan buah reformasi ekonomi, dalam bentuk kebijakan hati-hati dalam pengelolaan ekonomi makro yang dimulai sejak sepuluh tahun lalu. Saat ini Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tingkat inflasi yang rendah, dan rasio utang publik yang rendah.

Lambatnya penyelesaian rasuah besar yang terkait dengan pejabat lembaga publik memperlihatkan bahwa kita punya masalah dengan akuntabilitas politik. Di sini akuntabilitas politik dilihat sebagai upaya untuk membuat politik sebagai cara untuk mencapai kebaikan bagi banyak pihak, dan terutama rakyat yang menjadi pelaku penting. Singkatnya, kepentingan publik berada di atas kepentingan pribadi atau kelompok politik seorang/sekelompok politikus.

Akuntabilitas politik rendah karena elite politik di lembaga eksekutif dan legislatif menyandera. Dari sisi eksekutif, data Doing Business in More Transparent World 2012, yang dibuat Bank Dunia, memperlihatkan posisi Indonesia yang turun dibanding tahun lalu. Birokrasi menjadi penyebabnya. Birokrasi yang bekerja untuk dirinya sendiri merupakan bentuk penyanderaan yang bersumber dari kewenangan. Kewenangan yang diberikan birokrasi untuk mempermudah suatu urusan yang terkait dengan pelayanan berubah menjadi hambatan. Gambaran seperti tecermin dalam angka-angka dalam kategori umum kemudahan mendirikan usaha cenderung turun posisinya menjadi 129, sedangkan pada 2011 berada di posisi 126. Posisi ini juga jauh dari rata-rata di Asia-Pasifik, yaitu 86.

Selain itu, untuk memulai suatu usaha di Indonesia dibutuhkan waktu selama 45 hari dan melalui 8 prosedur (sementara di Malaysia dibutuhkan 6 hari kerja dan 4 prosedur). Dalam hal mendapatkan sambungan listrik, di Indonesia dibutuhkan waktu 108 hari dan 7 prosedur. Sedangkan di Malaysia diperlukan 51 hari dan 6 prosedur. Intinya, birokrasi di Indonesia bekerja untuk dirinya sendiri dengan cara menyandera proses untuk mendapatkan keuntungan.

Masuknya politikus ke ranah eksekutif menjadi alat deteksi guna mengetahui adanya hubungan di antara lambannya perubahan dalam birokrasi. Muasal keterlibatan partai politik dalam birokrasi terletak pada koalisi politik di tingkat eksekutif. Sejak 2004 lalu pos menteri diisi tokoh-tokoh partai politik, artinya politikus yang kapasitasnya untuk mengelola suatu kementerian diragukan. Situasi ini menimbulkan merosotnya spirit korps birokrasi, karena jabatan tertinggi birokrasi hanya didapatkan melalui lobi-lobi politik. Akibatnya, sistem meritokrasi mati, dan birokrat lebih menghabiskan waktunya untuk melakukan lobi politik. Insentif untuk melakukan lobi jelas lebih besar dibandingkan dengan memperbaiki kinerja.

Bentuk penyanderaan elite lembaga legislatif dapat dilihat dari kasus-kasus yang menyangkut anggota parlemen tingkat pusat yang masih belum selesai. Selain itu, perburuan rente di lembaga legislatif sangat kentara karena memiliki kewenangan yang bahkan lebih besar dari presiden untuk membuat undang-undang. Selain itu, anggota legislatif memiliki akses atas informasi dan kewenangan untuk mengesahkan suatu RUU bahkan RAPBN sekalipun. Kasus yang melibatkan dana infrastruktur daerah merupakan indikator terjadinya perburuan rente atas APBN, dan kasus yang melibatkan Nazaruddin masuk kategori ini. Dalam konteks Indonesia, keuntungan dari upaya rasuah lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang harus dibayar. Sebuah studi menemukan politikus pelaku rasuah rata-rata mendapatkan hukuman kurang dari lima tahun. Ini hukuman yang amat ringan, karena ada seorang anak remaja yang dituntut lima tahun karena mencuri sandal jepit.

Lemahnya akuntabilitas partai politik yang disebabkan oleh rasuah (perburuan rente) memiliki dua implikasi negatif. Pertama, penyanderaan yang dilakukan elite politik pada birokrasi akan semakin buruk. Absennya akuntabilitas politik membuat meritokrasi tidak berjalan. Jabatan menteri dan beberapa jabatan di bawahnya diisi berdasarkan logika politik “bagi-bagi” kekuasaan. Jabatan politik menjadi “giliran” elite politik melalui mekanisme demokrasi. Ini merupakan bentuk telanjang alokasi kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi di antara elite. Dan ini akan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Gejala ini sudah dapat diamati dengan cukup jelas, setidaknya ketika ada satu partai politik tertentu yang selama reformasi ini menguasai suatu kementerian. Rakyat sebagai pelaku yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan dilupakan setelah pemilihan umum usai.

Kedua, melemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Kemampuan pemerintah untuk intervensi atas kebijakan yang menguntungkan publik secara luas, terutama orang miskin, semakin melemah. Elite politik lebih cenderung memberikan dukungan kepada kelompoknya sendiri atau kelompok yang mampu memberikan tekanan kepada mereka, dalam hal ini kelas menengah. Program-program yang terkait dengan kelompok yang tidak terorganisasi dengan baik, seperti kelompok miskin, akan makin diabaikan. Di Indonesia, gejala ini dapat dilihat dari kecilnya dana program pengentasan masyarakat miskin dibandingkan dengan dana subsidi BBM yang jelas-jelas lebih dinikmati kelas menengah. Dana program pengentasan rakyat dari kemiskinan pada APBN 2012 berjumlah sekitar Rp 99 triliun, sementara subsidi secara menyeluruh mencapai Rp 209 triliun (subsidi BBM Rp 123 triliun, padahal tahun sebelumnya hanya Rp 96 triliun). Selain itu, dalam bidang penegakan hukum, kapasitas pemerintah malah amat jelek karena tidak mampu melindungi orang miskin. Dalam kasus di Mesuji atau tempat lainnya pemerintah jelas berpihak kepada pemodal.

Apakah kita sedang menuju atau menjauhi Denmark? Masa depan ekonomi politik masih sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan yang terkait dengan pertukaran antara kekuasaan (politik) dan modal (uang). Demokrasi dan stabilitas politik dapat dicapai, dan Indonesia dapat pergi ke Denmark dengan syarat akuntabilitas politik membaik dan rasuah dapat ditekan jumlahnya.

Memimpin adalah Menderita


Memimpin adalah Menderita
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012


Leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Kredo Agus Salim itu terasa otentik mewakili ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.

Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita. Biarkan rakyat Lebak, Banten, tetap hidup mengenaskan seperti zaman Multatuli, terus meniti jembatan gantung Ciwaru yang reyot menantang maut. Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara, seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada tuan-tuan perkebunan pada zaman tanam paksa. Biarkan rakyat di sekitar pertambangan mengalami kerusakan ekologis, kehilangan penghidupan, dan mengalami kelumpuhan sosial-budaya. Biarkan kekerasan agama berlangsung dengan menoleransi segolongan pemeluk agama yang menikam kebebasan berkeyakinan kelompok lain.

Seperti suasana kehidupan Nusantara pascaperang Jawa, kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa kepemimpinan. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Maka, ketika Sarekat Islam muncul dengan pembelaannya terhadap kaum tani dan buruh yang terempas dan terputus, pemimpin utamanya, seperti Tjokroaminoto, sontak disambut sebagai ratu adil.

Sekarang, dari manakah sumber kepemimpinan itu bisa diharapkan? Partai-partai politik bukanlah solusi, melainkan sumber masalah. Bung Karno berkata, ”Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide.” Adapun partai-partai hari ini dipimpin uang, menghikmati uang, memikul uang, dan membumikan uang. Tak ada partai yang sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi kolektif kewargaan demi kemaslahatan hidup bersama.

Partai-partai gagal melahirkan kepemimpinan organiknya yang menjadi artikulator kepentingan publik. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku dan kami di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Kepentingan oligarki penguasa-pemodal nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri. Ketika politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Pemimpin asyik meluncurkan album nyanyian keberhasilan, sementara rakyat meratapi penderitaan.

Mereka lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Dari keterpurukan ekonomi Amerika Serikat, begawan ekonomi Jeffrey Sachs menulis buku The Price of Civilization (2011). Ia mengingatkan bangsa-bangsa lain agar tidak meniru jalan sesat yang membawa kemunduran Amerika Serikat. Menurut Sachs, pada akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi. Suatu masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tidaklah memadai apabila orang-orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas kasih.

Dalam pandangannya, setiap bangsa yang ingin mencapai kemajuan harus siap membayar harga peradaban melalui pelbagai perbuatan kepemimpinan dan kewargaan terpuji: tanggung jawab, solidaritas, cinta kasih, dan keadilan bagi sesama dan bagi generasi mendatang. Bagi pemulihan krisis AS, Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan kecenderungan fundamentalisme pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang berjejak pada nilai kebajikan sipil (civic virtues) dan jalan karakter Amerika (American ways).

Bagi para pemimpin Indonesia, yang menjadi epigon setia fashion Amerika, rekomendasi Sachs itu bisa menjadi dering pengingat untuk menghidupkan kembali etos kepemimpinan pendiri bangsa. Tak ada kemajuan tanpa jangkar moral. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada nilai-nilai dasar Indonesia (Indonesia ways) yang menekankan kegotongroyongan dalam ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Marilah berdoa menirukan munajat para penjelajah bahari di kesilaman. ”Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhodanya mencari selamat sendiri!”

Mengadili Elite Predator


Mengadili Elite Predator
Teten Masduki, SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012


Hampir di mana saja, di negara maju atau berkembang, sistem demokrasi dikuasai segelintir elite. Namun, hebatnya, elite di Tanah Air tidak hanya menguasai jaringan politik, ekonomi, atau birokrasi, tetapi juga hukum sehingga bukanlah perkara mudah menyeret elite busuk ke pengadilan. Realitas ini sangat terasa dalam mengadili kasus-kasus korupsi yang melibatkan nama besar.

Di sini hukum hanya efektif untuk orang kecil, tetapi loyo terhadap penguasa dan orang kaya. Di luar sana, sebut saja di Korea Selatan, hukum tetap bisa tegak berwibawa menghadapi konglomerat besar kotor, bahkan
terhadap dua mantan presiden Korea Selatan—Chun Do-wan dan Roh Tae-woo—meskipun kemudian ada mekanisme politik untuk memberi pengampunan kepada mereka.

Di Amerika Serikat, hukum tampil relatif meyakinkan dalam mengadili megaskandal Enron yang melibatkan seorang senator atau dalam kasus megaskandal investasi Bernard Madoff yang menggegerkan bisnis keuangan dunia.

Dalam kasus Nazaruddin yang tengah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi: susah alang kepalang mengadili sejumlah nama besar politisi yang sudah disebut di media dan di sidang pengadilan. Bahkan, belakangan disebutkan ada indikasi rencana pembunuhan terhadap Mindo Rosalina Manulang, tersangka sekaligus pengungkap pelaku kejahatan yang sudah mendapat perlindungan LPSK.

Hingga saat ini, sejumlah nama yang sebagian sudah disebut-sebut dalam kesaksian di pengadilan, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, inisial ”apel malang”, masih merupakan tokoh fiksi dalam kisah telenovela kasus Nazaruddin.

Kita tahu berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangannya yang besar pun terpaksa harus menerapkan strategi makan bubur panas untuk membongkar kasus megakorupsi yang melibatkan sejumlah orang besar dengan mulai mengadili pelaku-pelaku kecil di tingkat operator. Sebut saja dalam kasus cek perjalanan, kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Bank Indonesia, atau Bank Century.

Jalan Pintas

Ihwal bagaimana pembentukan elite mutakhir sangat menarik dipelajari lebih lanjut. Namun, sepintas lalu, partai politik dan DPR belakangan ini adalah salah satu jalan pintas untuk menyulap orang-orang biasa menjadi elite yang mahaperkasa. Aktivis sosial, guru ngaji, dan preman pasar jadi politisi, atau rekanan bisnis pemerintah daerah menjadi kepala daerah adalah berkat demokrasi.

Bisnis Nazaruddin, sekadar contoh, diberitakan seketika melambung luar biasa setelah Nazaruddin menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat. Dan sekarang, banyak kontrak pemerintah di pusat dan daerah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan relatif baru, seperti dalam kasus Nazaruddin, yang tak dikenal selama ini. Ribuan kuasa pertambangan batubara jatuh ke tangan pengusaha yang berkantor di ruko, selain pemain lama.

Politisi yang membangun karier dari aktivisme politik lewat organisasi massa, keagamaan, atau jenjang kepengurusan partai kelihatan mulai tersingkir oleh mereka yang menguasai jaringan sumber daya ekonomi. Maka, tidaklah mengherankan jika banyak pengusaha yang memimpin partai politik akan membawa gerbong besar untuk menjamin kepentingan bisnis mereka.

Era partai massa memang sudah berakhir. Bukan kekuatan ideologi lagi yang menggerakkan dinamika politik sekarang ini, melainkan semata-mata uang. Rakyat biasa pun sudah tak lagi mau mengijonkan hak pilih mereka pada saat pemilu. Entah karena sudah lama mereka dibohongi politisi, mereka lebih senang mendapat pemberian langsung daripada dijanjikan dengan kebijakan publik yang baik.

Ketika kekuasaan ekonomi dan politik bersatu dalam satu tangan, sudah bisa dibayangkan di tengah alpanya aturan tentang konflik kepentingan, kebijakan-kebijakan publik akan berhadap-hadapan dengan kepentingan rakyat banyak.

Dengan adanya untung besar bagi penguasa seperti sekarang ini, kehadiran negara predator seperti diteorikan sosiolog masyhur Peter B Evans (1994) akan semakin nyata. Karakteristiknya mulai makin jelas: para elite penguasa menikmati paling banyak surplus ekonomi nasional dan mereka semakin terang-terangan tanpa malu-malu menjarah ekonomi kita dan mengabaikan kepentingan umum.

Memutus Sumber Logistik

Dalam memerangi oligarki elite predator, tidak ada jalan lain selain memutus sumber logistik dan pendukung mereka. Juga membongkar praktik-praktik operasi bisnis kotor mereka. Di sinilah penguatan KPK menjadi sangat penting, termasuk mensterilkan KPK dari aparat hukum konvensional yang sudah menjadi bagian dari rezim korupsi.

Dalam konteks ini bisa dipahami upaya sistematis untuk melemahkan KPK dan pengadilan tipikor terus hidup dari kalangan elite yang kepentingannya terganggu. Tidak mustahil pada masa yang akan datang, upaya kooptasi kekuatan politik terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi akan semakin kuat.

Dalam konteks inilah, gerakan sosial antikorupsi tidak bisa lagi sekadar jadi komentator pada media umum, tetapi harus betul-betul membangun fondasi gerakan yang kuat dalam masyarakat. Untuk melakukan perubahan besar, memang gerakan sosial saja tidak cukup. Namun, transformasi gerakan sosial ke politik yang sejak reformasi mewacana di kalangan organisasi non-pemerintah barangkali jangan ditafsirkan secara linier untuk menaiki tangga kekuasaan politik.

Mengapa? Karena terbukti selama ini, meskipun tak semua, ketika orang biasa menduduki kekuasaan, sering kali tali mandatnya putus dan terjadilah pengkhianatan terhadap nilai ideal atau kelompok rakyat jelata yang disuarakannya selama berada di luar lingkaran kekuasaan.

Membetot kekuasaan politik dan ekonomi dari puncak dan mendistribusikannya kepada orang-orang biasa barangkali lebih menjanjikan keadilan secara sistematis ketimbang ramai-ramai berlomba memanjat tangga kekuasaan yang biayanya kian hari kian mahal.

Berperang Melawan Flu Burung


Berperang Melawan Flu Burung
CA Nidom, KETUA AIRC–UNAIR, SURABAYA
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012



Flu burung di Indonesia meminta korban lagi. Awal tahun 2012, paman dan keponakan yang tinggal serumah terinfeksi. Ini kasus kluster pertama tahun ini di Indonesia.

Sampai 24 Januari 2012, korban flu burung di Indonesia mencapai 184 orang dan 152 meninggal (32 persen dan 44 persen korban dunia), tertinggi di dunia, diikuti Mesir dan Vietnam. Di Thailand dan Turki, kasus manusia berhenti sejak 2007.

Dari 33 provinsi di Indonesia, 32 merupakan daerah endemis flu burung pada unggas dan hewan lain. Belum tampak kemajuan cara pengendalian, apalagi edukasi kepada masyarakat, masih seperti delapan tahun lalu. Padahal, kasus pada manusia akan habis jika kasus pada hewan juga berhenti.

Belum ada sinergi antar-otoritas. Setelah Komnas Flu Burung bubar, masyarakat menunggu kiprah Komnas Penanggulangan Penyakit Zoonosis yang diharapkan berperan lebih, tidak lagi seperti ”koboi tanpa pistol”.

Interaksi inang dan virus

Sejak 1997, agen/virus flu burung berinteraksi spesifik dengan inang (host). Tatkala virus ini menginfeksi ayam, angka kesakitan dan kematian sangat tinggi, bisa 100 persen. Pada bebek, kesakitan tinggi, tetapi tingkat kematian rendah. Pada spesies unggas lain bersifat sporadis. Pada hewan lain, babi, kucing, anjing, dan mamalia lain, pola penularan belum jelas diketahui.

Saat virus melompat ke manusia, jumlah kasus sangat rendah dibandingkan jumlah penduduk, tetapi angka kematian (case fatality rate/CFR) sangat tinggi, 60-80 persen, tergantung penanganan penderita.

Akhir-akhir ini pola interaksi inang (manusia) dengan virus tampak spesifik dan perlu dicermati semua pihak. Khususnya tiga kasus terakhir di Bali, Jakarta, dan Tangerang.
Kasus di Bali, akhir 2011, korban tiga orang: dua anak dan ibu yang tinggal serumah. Saat kedua anaknya dirawat di rumah sakit, ibu masih sehat. Ibu sakit dan meninggal beberapa hari setelah kedua anaknya meninggal. Informasi awal, ibu bukan terinfeksi flu burung, tetapi akhirnya positif. Dari lapangan, sulit mencari hubungan dengan faktor penularan dari hewan.

Di Jakarta, keponakan meninggal setelah paman meninggal dan juga tinggal serumah. Keponakan sempat diumumkan tidak terinfeksi flu burung, tetapi kemudian dinyatakan positif. Tidak ditemukan virus H5N1 pada burung dara di rumah mereka.

Kasus terakhir, di Tangerang, sudah diumumkan terinfeksi virus flu pandemik (H1N1-p), tetapi tindakan di RS Tangerang seperti menangani korban flu burung. Berdasarkan informasi keluarga, korban tidak kontak dengan bebek di rumah.

Fatwa Otopsi

Berdasarkan kajian korban di negara lain, virus H5N1 tidak hanya menginfeksi saluran pernapasan, tetapi juga seluruh organ tubuh. Korban flu burung meninggal bukan hanya karena badai sitokin yang sangat cepat merusak jaringan pernapasan, melainkan juga infeksi pada beberapa organ (multiorgan failure). Hal serupa tampak pada hewan coba.

Sebetulnya virus flu burung manusia dari Indonesia paling sedikit menghasilkan sitokin dibandingkan virus flu burung negara lain dan virus H1N1-p. Namun, karena korban menunjukkan gambaran sebaliknya, setiap korban perlu diotopsi. Otopsi dan analisis virus pada organ akan membantu mendapatkan informasi perjalanan penyakit (patogenesis) yang penting untuk mencegah korban selanjutnya.

Memang tak mudah melakukan ini karena ada faktor sosial, budaya, dan agama. Diperlukan suatu peraturan atau fatwa agama agar korban flu burung atau penyakit lain yang menular dan mematikan bisa diotopsi.

Proses otopsi dan pengkajian ini memerlukan rumah sakit dan laboratorium khusus. Sebagai negara dengan korban tertinggi, pemerintah wajib menyiapkan fasilitas ini agar segera bisa menanggulangi flu burung. Kita bisa mencontoh Turki, yang sejak 2007 tidak ada korban manusia, dengan menangani penderita secara maksimal.

Penanganan korban sangat tergantung keaktifan penderita. Selama ini di Indonesia flu dianggap penyakit yang tidak membahayakan. Karena itu, perlu kesiapan tenaga medis untuk mengantisipasi penyakit flu burung, dan terakhir kesiapan rumah sakit rujukan. Jika rangkaian ini ada yang terlewatkan, kasus tidak akan tercatat sebagai flu burung. Jadi, jumlah selama ini hanya sebagian kecil saja dan merupakan fenomena gunung es.

Langkah yang bisa dilakukan adalah vaksinasi flu burung pada masyarakat yang berisiko, terutama yang tinggal di segitiga flu burung, yaitu Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang. Pilihan lain, menjual bebas obat antivirus flu (osiltamivir) di toko obat, mengingat obat ini hanya efektif 48 jam setelah terinfeksi.

Agar diagnosis awal tepat, diperlukan tes cepat (rapid test) yang tersedia di puskesmas. Gejala flu burung hampir sama dengan flu lain, bahkan sering dikelirukan dengan penyakit lain, seperti demam berdarah atau tifus. Sementara konfirmasi dengan uji lab (PCR) perlu waktu.

Koalisi Virus

Virus influenza, termasuk flu burung dan H1N1-p, mempunyai struktur sama: 8 gen yang saling lepas. Virus ini sangat gampang bermutasi, baik dalam gen tersebut (drift) maupun antargen (shift). Mutasi drift biasanya dipicu oleh kondisi ekstrem, seperti perubahan cuaca, vaksinasi yang tak tepat, dan faktor inang.

Vaksin yang tak tepat bisa menyebabkan virus melompat ke inang lain, terutama manusia, sehingga hati-hati menggunakan vaksin flu burung pada hewan. Apalagi saat ini dunia dikejutkan pandemik flu oleh virus baru, H1N1-p, yang begitu cepat menyebar. Padahal, flu burung belum berhasil dikendalikan.

Jadi, saat ini di Indonesia tersebar virus influenza musiman (H3N2, H1N1), H1N1-p, dan flu burung (H5N1) hewan dan manusia. Kita ”biarkan” mereka hidup leluasa di Indonesia, berkoalisi (rekombinasi) antarjenis virus flu, bertukar gen satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan aneka karakter virus.

Tidak aneh jika dunia khawatir dengan Indonesia. Kita tidak rela negara lain memanfaatkan virus flu burung Indonesia, tetapi kita juga tak melakukan apa pun. Kita perlu segera tahu, bagaimana karakter virus flu burung dari penderita terakhir dan bagaimana kemungkinan penularannya antarmanusia.

Meski beberapa pakar berpendapat tak mungkin virus flu burung menular antarmanusia, simulasi dengan berbagai model virus di lab berfasilitas keamanan tingkat tinggi (minimal BSL-3) perlu segera dilakukan.

Para peneliti di Avian Influenza-zoonosis Research Center- Universitas Airlangga (AIRC- Unair) telah meneliti pola virus influenza di lapangan dan di laboratorium. Tahun 2006, dilakukan mutasi ”buatan” pada virus H5N1 dari unggas di Indonesia tanpa koalisi.

Ternyata virus H5N1 unggas yang berkoalisi dengan H3N2 lebih virulen. Selama ini para pakar mengira virus H5N1 unggas akan beradaptasi pada mamalia, termasuk manusia, jika terjadi mutasi pada asam amino protein PB2, nomor 627 dan 701. Namun, para pakar dikejutkan struktur virus H1N1-p yang mampu beradaptasi tanpa mutasi 627. Mungkinkah ada mutasi serupa pada flu burung yang menginfeksi hewan ataupun manusia?

AIRC-Unair bersama Tim Universitas Tokyo melacak virus H1N1-p dan virus H5N1 pada hewan tahun 2011. Dari 1.607 sampel ayam sehat ditemukan delapan ayam positif membawa virus H5N1. Ayam sehat tetapi positif flu burung tersebut berada di Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Keseluruhan struktur virus yang berhasil diisolasi tahun 2011 lebih dekat dengan virus bebek dari Yogyakarta 2007. Virus H5N1 ayam di Indonesia sangat variatif. Ini berpengaruh pada keberhasilan vaksin yang digunakan. Kementerian Pertanian telah menetapkan master seed vaksin yang akan digunakan mulai 2012.

Dari serosurvei antibodi (zat kebal) anak-anak Indonesia berumur 10-11 tahun terhadap virus H1N1-p, 66,9 persen memiliki antibodi tanpa ada riwayat sakit. Artinya, anak-anak Indonesia secara alamiah terinfeksi virus H1N1-p tanpa gejala sakit dan sebagian besar mampu menimbulkan antibodi. Ini berbeda dengan anak seumur di Jepang, 75,6 persen memiliki antibodi dengan gejala sakit influenza jelas.

Penularan Antarmamalia

Apakah betul virus flu burung tidak menular antarmanusia? Jika virus flu burung berdiri sendiri tanpa koalisi, pendapat tersebut bisa dibenarkan. Namun, jika terjadi koalisi (mutasi shift), penularan antarmamalia (manusia) bisa terjadi.

Baru-baru ini dua pusat penelitian influenza, grup Universitas Wisconsin (AS) dan Erasmus Medical Center (Belanda), mengoalisikan virus flu burung H5N1 dengan virus H1N1-p. Hasilnya mirip: virus flu burung H5N1 koalisi berpotensi menular antarmamalia pada ferret.

Hal ini sangat penting bagi Indonesia untuk menghadapi pandemik, mengingat wilayah kita merupakan tempat ideal terjadinya koalisi. Semua strain virus flu tersedia, padahal penataan lingkungan hewan dan manusia masih belum jelas.