Moralitas
Hukum dan Cinta kepada Anak
Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU
HUKUM UGM
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012
Di tengah suasana kerja yang katanya ”tidak
nyaman” karena toilet rusak dan ruang kerja pun sedang direhab dengan biaya Rp
20 miliar, DPR didesak oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak agar segera
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka
Sirait mengatakan, dengan adanya UU itu, setiap hakim dan penegak hukum tidak
bisa lagi selalu beralasan dan bersembunyi bahwa ”tidak ada payung hukum untuk
tidak melaksanakan restorative justice (keadilan restorasi)”.
Bagus! Dilandasi prasangka baik, kita dukung
upaya pembuatan UU Sistem Peradilan Anak (SPA) tersebut. Dari sudut pandang
moralitas hukum, ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, dalam
negara hukum, keberadaan sebuah UU memang penting agar kepastian hukum mudah
ditegakkan. Akan tetapi, demi keadilan seorang anak, jangan terlalu berharap
dengan adanya UU SPA, lantas sim salabim perlindungan anak terwujud. Hukum
hanya pelengkap dan bukan tumpuan kehidupan.
Kedua, RUU SPA—kalau nanti telah
disahkan—hendaknya tetap dipahami sebagai teks. Teks itu merupakan hukum yang
mati, dan akan hidup apabila diterima, dipatuhi, atau dijalankan oleh masyarakat.
Berbagai faktor nantinya memengaruhi penerimaan UU SPA itu, seperti
profesionalitas penegak hukum, dukungan masyarakat, tersedianya
sarana-prasarana, dan budaya hukum yang mengitarinya. Faktor-faktor tersebut
secara simultan wajib dibenahi agar keberadaan UU SPA tidak mubazir.
Ketiga, jauh lebih penting dari sekadar teks,
dibutuhkan sikap empati, peduli, cinta, dan kasih sayang kepada anak oleh semua
pihak. Walau tidak kasatmata, dapat dinilai bahwa bobot adanya UU SPA lebih
merupakan kebutuhan orang tua dan aparat penegak hukum, sementara bagi anak
kebutuhannya adalah cinta dan kasih sayang.
Pendekatan
Kasih Sayang
Kajian ilmiah dan religius telah menegaskan
bahwa melalui gen yang mereka miliki, orangtua berpotensi mewariskan karakter
kejiwaan (rohaniah) dan jasmaniah kepada anak-cucunya. Maka, pesan moral yang
mesti diingat: kehatian-hatian menaburkan benih yang mengandung gen tersebut.
Suasana batin bapak-ibu dalam ”berhubungan” pun perlu diusahakan dalam cinta
dan kasih sayang karena hal demikian akan mewarnai karakter anak yang
dilahirkannya.
Moralitas hukum pun telah mengingatkan kepada
kita bahwa pada satu sisi anak adalah ”hiasan hidup” dan ”sumber harapan”. Di
sisi lain, apabila orangtua dan lingkungan serta sekolah lalai mendidiknya
dengan benar, anak bisa menjadi ”musuh”. Betapa bahagia orangtua ketika
anak-anaknya mampu melanjutkan generasi keturunannya dan sukses menggapai
kehidupan dengan amal saleh.
Itulah gambaran anak sebagai ”hiasan hidup”.
Sebaliknya, alangkah nelangsa bila anak tumbuh berkembang jadi ”musuh”, berbuat
nakal, jahat, ditangkap polisi, ataupun dipenjara. Duh Gusti, mugi tinebihno
(jauhkanlah) dari hal demikian.
Saya tergolong orang yang tak setuju
dilakukan pemidanaan penjara terhadap anak yang melakukan ”kenakalan” walaupun
itu dikatakan sebagai jalan terakhir. Keadilan restorasi, oleh karena itu, tak
sepantasnya diukur dengan pemulihan ganti kerugian bagi korban ”kenakalan”
dalam ukuran materi (kebendaan) atau uang, melainkan sikap dan perilaku
kemanusiaan sebagai pengejawantahan cinta dan kasih sayang antarsesama warga
masyarakat yang bersifat kekeluargaan. Masyarakat, dalam konteks keberagaman
budaya hukum, saya yakin masih memiliki kearifan lokal dalam menghadapi ”anak
nakal” itu. Sebaiknya kearifan lokal tersebut didayagunakan secara maksimal.
Kiranya, tanpa harus menunggu terwujudnya UU
SPA, perlindungan anak harus sudah dimulai saat ini. Dimulai dengan cara
pemberian cinta dan kasih sayang orangtua, keluarga, teman bermain (peer
group), lingkungan, dan sekolah. Tak kalah penting, polisi pun perlu mengubah
cara/metode penanganan ”kenakalan” anak: dari pendekatan hukum menjadi
pendekatan cinta dan kasih sayang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar