Sabtu, 21 Januari 2012

Negara Lemah


Negara Lemah
Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012


Kekerasan yang marak kembali di beberapa wilayah Indonesia, seperti Papua, Lampung, dan Aceh, kembali menciptakan kepiluan bagi bangsa ini. Namun, tidak ada kesepakatan mengapa rangkaian kekerasan itu terus terjadi.

Setidaknyaadadua alurpikirutama yang bertolak belakang. Alur pikir pertama menekankan pada aspek kemerosotan wibawa negara dalam memonopoli penggunaan kekerasan. Aktor-aktor utama keamanan negarayang merepresentasikan penggunaan monopoli itu, terutama polisi dantentara,tidak bergeraksecarahar- monisdan salingbahu-membahu.Riva- litasini diyakinimemberikankontribusi mengapawibawa negaratelahmerosot dan mendorongkelompok-kelompok di luarnegara memilikikeberanianuntuk menantang monopoli kekerasan itu.

Fenomena Negara Lemah

Alurpikir keduamenekankanpada nilai-nilai tidak demokratis di masyarakat. Berbedadenganalur pikirpertama,pandanganinimeyakini bahwaterdapatsejumlah kelompok di masyarakat yang ti- dak memiliki kepercayaan terhadap esensi dari nilai-nilai demokrasi.

Kelompok-kelompok sosialini tidak melihat demokrasisebagai suatuproses penyelesaiankonflik kepentingandengan cara-cara non-kekerasan.Tersingkir dan terasingkan dari proses politik demokrasi yang ada telah mendorong kelompok ini untuk berada diluar jalur demokrasi. Kekerasan yang marak kembali di beberapa wilayah Indonesia, seperti Papua, Lampung, dan Aceh, kembali menciptakan kepiluan bagi bangsa ini. Namun, tidak ada kesepakatan mengapa rangkaian kekerasan itu terus terjadi.


Dalam analisis seperti ini, tindakan barbar dalampenyelesaian konflikkepentingan yang mereka promosikan disebut menjadi sebab utama mengapa tidak terdapat rasa hormat terhadapotoritas negaradalam memonopoli penggunaan kekerasan itu.

Duaalurpikir berbedainitentusaja menghasilkan rekomendasi kebijakan yangberbedapula. Alurpikirpertama menyarankan penguatan kerja sama dan koordinasidiantara aktorkeamanandengan menciptakan regulasi yang lebih ko- heren dan terpadu. Isu tentang pentingnya segera mengesahkan RUU Keamanan Nasional, termasukdi dalamnyagagasan pembentukan Dewan Keamanan Nasional,dapat ditempatkandalam alurpikir pertama ini. Diharapkan, dengan adanya UUini, negaradapatlebih tegasdalam menangani masalah keamanan.

Dalam aras yangsangat berbeda, alurpikir kedua lebih menekankan pada tanggung jawab partai politik untuk menarik kelompok-kelompok antidemokrasi dalam prosesdemokrasi danpenyelesaiankonflik yangada. Kritikterhadap watakoli- garkisdandominasi keluargadipartai-partai politik dapat dilihat sebagai wujud dari alur pikir kedua ini.

Jika mesin partai lebih terbuka terhadap kelompok-kelompok yang tersingkirkan dari prosesdemokrasi, diharapkan tindakan kekerasanmungkin berkurang. Dalam rumusan berbeda, sepanjang partai hanya sibuk denganurusan transaksi po- litik,sepanjang itupula kekerasandari kelompok yang teralieanasi dari proses demokrasi akan terus berlangsung.

Terlepas dari alurpikir dan rekomendasi yang berbeda ini, kedua perspektif ini sebenarnya bermuara pada satu kesimpulan yangsama. Rangkaiankekerasan yang terus terjadi telah memperlihatkan wajah Indonesia sebagai negara lemah.

Fenomenanegara lemahini dapatdilihatdaridua indikasi.Pertama,negara tidak mampu mewujudkan salah satu prinsip dasar kehadirannya,yaitu memberikan keamanan bagi warga negara. Kedua, sebagian masyarakattidak memiliki civic values ketika menjalanikehidupan bernegara.Negara lebihdilihatsebagai musuh masyarakat, bukan dilihat sebagai institusi yang dapat melindungi dirinya.

”Sheriff”dan Bandit

Khususnyadi wilayah-wilayahkonflik kekerasan, fenomena negaralemah ini telah mengakibatkantidak jelasnyabatas wilayahgerak antara sheriff dan bandit. Mirip sepertidalam film-film c ow b oy Barat,tangan kekuasaannegara jadisangat sukar diidentifikasikan dan dibedakan dengan tangan kekuasaan non-negara.

Dari wilayah-wilayahkonflik itutak jarang penulis mendapatkan potongan ceritatentang bagaimanaaktor-aktorkeamanan telah menjadiaktor bisnis pula. Demikian sebaliknya, aktor-aktor non-negara, atas nama kelompok masyarakat, yang perilakunya seperti bandit, telah pula memainkan fungsi sebagaipemberi ke- amanan (security provider). Bahkan, kerap pula terdengarcerita bagaimana sheriff dan bandit itu bekerjasama untuk tetap melestarikan konflik kekerasan.

Jika potongan-potongan cerita seperti iniditempatkan dalamgambaranyang lebihbesar, akanmuncul sesuatuyang sangat serius.Gagasan bahwaekonomi politik perdamaian (politicaleconomy of peace) jauhlebih menguntungkanbagi bangsa inidaripada ekonomipolitik kekerasan (politicaleconomy ofviolence) tak akan menemukan lahan yang subur untuk dikembangkan. Ketikaruang abu-abuan- tarawilayahgerak sheriff dan bandit itu begitu luas,dan terkesansaling bahu-membahu, wilayahyang rawanke- kerasantelah menjadisuatu lahanbisnis tersendiri.

Regulasi baru memang dibutuhkan untuk memperkuatmonopoli negaradalam penggunaankekerasan. Namun,keberanian untuk mengambil tindakan setelah regulasiitu dibuatjuga samapentingnya. Pekerjaan sesungguhnya bukanlah pada saat pembuatan regulasi, tetapi justru mulai muncul ketikaregulasi telahselesai dibuat dan bagaimana ketentuan regulasi itu diterapkan di lapangan.

Selain itu, bebanuntuk pembenahan tak hanya ditangan sektor negara.Partai politik juga harus mengemban tanggung jawab untuk menarik kelompok yang tersingkirkan dariproses politi kdemokratis. Para pemimpin partai politik yang bergerak dalam ruang demokrasi tak bisa lepas tanggung jawab terhadap munculnya fenomena negara lemah ini.

Memperkuat negara seharusnya merupakan kepentingan integral dari parpol karena hanya dalam negara yang kuat, partai politik dapat berperan besar. Jika negara lemah, parpol tidak dapat berperan banyak menggunakan kekuasaan negara untuk mengubah keadaan. Karena itu pula, partaipolitik tidakboleh membiarkan dirinya menjadi bagian dari sistem yang melestarikan hubungan simbiosis dari bandit dan sheriff ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar