Penyimpangan
Parlemen
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE,
PENULIS BUKU PRESIDENSIALISME
SETENGAH HATI
Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012
Masyarakat
semakin sulit memberi apresiasi positif atas kinerja anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) belakangan ini. Hal itu tecermin dari semakin merosotnya tingkat
kepercayaan dan kepuasan publik terhadap DPR berdasarkan berbagai survei opini
publik. Buruknya citra DPR dalam persepsi publik ini menyebabkan segala
kebijakan yang dikeluarkan lembaga itu--terutama berkaitan dengan penambahan
fasilitas dipastikan selalu mendapat penolakan karena dianggap mencederai rasa
keadilan masyarakat.
Potret
paling anyar tentang kuatnya penolakan publik terlihat dari kritik keras
terhadap kebijakan penggelontoran dana sebesar Rp 20,3 miliar untuk merenovasi
ruang rapat Badan Anggaran. Sebelumnya, pada pembuka tahun 2012, DPR juga
dikritik karena mengalokasikan Rp 2 miliar untuk biaya renovasi toilet dan Rp 3
miliar untuk renovasi tempat parkir. Masyarakat juga pernah menentang keras
rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam
renang, pusat kebugaran, dan ruang spa, yang berpotensi menguras APBN sebesar
Rp 1,6 triliun. Namun rencana itu akhirnya dibatalkan DPR.
Inilah
risiko lembaga perwakilan yang mengalami defisit kepercayaan tetapi dianggap
surplus fasilitas, akan sulit mendapatkan dukungan publik. Memburuknya citra
DPR itu disebabkan oleh berbagai perilaku tidak terhormat, seperti korupsi
misalnya, yang ditampilkan beberapa wakil rakyat yang menyandang status
terhormat itu. Jika integritas (perilaku koruptif) wakil rakyat masih dinilai
rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana sesungguhnya kinerja DPR
dalam menjalankan fungsi-fungsi esensialnya sebagai anggota parlemen?
Kinerja
Rendah
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, paling tidak kita dapat melihatnya dari tiga
fungsi utama parlemen. Fungsi pertama adalah membuat undang-undang (legislasi).
Produktivitas dan kualitas DPR dalam menjalankan fungsi legislasi terbilang
masih rendah. DPR hanya berhasil menyelesaikan kurang dari 30 persen dari
target Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional 2011.
Selain secara kuantitas tidak memenuhi target Prolegnas, secara kualitas juga
masih bermasalah dan tak sejalan dengan konstitusi maupun aspirasi rakyat. Hal
itu terlihat dari banyaknya undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi,
dan di antara UU tersebut ada beberapa pasal yang dibatalkan MK.
Padahal,
melalui fungsi legislasi ini, sejatinya DPR diharapkan menjadi episentrum
penuntasan demokratisasi dan reformasi politik. Sebab, proses legislasi di DPR
dapat menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan problematika kerancuan dan
penyimpangan sistem politik Indonesia selama ini. Persoalan efektivitas
pemerintahan akibat dari inkompatibilitas kombinasi antara sistem presidensial
dan sistem multipartai ekstrem; problem politik biaya tinggi akibat dari
liberalisasi sistem pemilu; persoalan korupsi politik dan mafia anggaran akibat
rapuhnya sistem pendanaan partai, merupakan sekelumit persoalan yang mestinya
dapat diantisipasi melalui pembenahan sistem melalui regulasi
perundangan-undangan di DPR.
Katakanlah
misalnya RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR saat ini, masih jauh dari semangat
untuk mengantisipasi persoalan-persoalan itu. Regulasi pembatasan belanja atau
pengeluaran kampanye (limited spending) untuk mengantisipasi praktek
korupsi anggaran karena motif untuk mengembalikan modal akibat biaya politik
tinggi, ternyata tidak tersentuh sama sekali. Perdebatan paling krusial justru
pada persoalan angka persentase parliamentary threshold. Itu pun bukan
dilandasi dengan semangat benar-benar untuk melakukan upaya penyederhanaan
partai politik secara komprehensif, melainkan lebih pada kepentingan
masing-masing partai di Pemilu 2014.
Fungsi
kedua, pengawasan (controlling), juga belum dijalankan secara optimal
karena seolah hanya dijadikan sekadar alat bagi partai-partai di DPR untuk
bernegosiasi dengan pemerintah. Padahal, jika dijalankan secara serius, fungsi
pengawasan ini dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong peningkatan
kinerja pemerintah dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus besar yang tidak
tuntas hingga saat ini.
Ketidakjelasan
dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang tentang
ketidakseriusan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan. Padahal gegap gempita
skandal ini di awal telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya
pemerintahan. Namun kegaduhan politik ini ternyata berakhir antiklimaks dan
tanpa kejelasan. Hak angket dan hak interpelasi DPR sebagai instrumen
pengawasan selama ini cenderung hanya menjadi alat bagi partai-partai di DPR
untuk bernegosiasi dan memperkuat posisi tawarnya di dalam pemerintahan.
Perbedaan politik antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir melalui
proses tawar-menawar politik yang beraroma "politik transaksional".
Sementara
itu, dalam menjalankan fungsi penganggaran, sering kali terjadi kebocoran,
bahkan praktek korupsi anggaran sering kali menjadi pemasukan tidak resmi bagi
partai politik. Praktek mafia anggaran ini berawal dari rapuhnya sistem
pendanaan partai politik di satu sisi, dan besarnya celah-celah kelemahan
sistem penganggaran dan peluang penyimpangan di sisi lain. Pada situasi
kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan
partai yang bermasalah, serta besarnya celah penyimpangan dalam sistem
penyusunan anggaran inilah, akan terdorong terjadinya korupsi di parlemen dalam
bentuk praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah oleh anggota
legislatif. Karena itu, wajar jika setiap penambahan fasilitas bagi DPR yang dinilai
berkinerja rendah kerap ditolak publik.
Partai
Gagal
Potret
tentang rendahnya kualitas dan produktivitas DPR sejatinya merupakan refleksi
atas kegagalan partai, sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme
partai. Bahkan partai di era reformasi saat ini memiliki posisi dan kekuasaan
politik amat kuat dan strategis: tak hanya mendominasi proses sirkulasi di
legislatif (DPR) tetapi juga pergantian elite kepemimpinan politik di eksekutif
serta kepemimpinan di lembaga yudikatif dan komisi-komisi negara melalui proses
di parlemen.
Kegagalan
partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu menyebabkan demokrasi Indonesia
mengidap "sindrom partai gagal", suatu kondisi di mana postur
kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak "penyakit"
dan penyimpangan (deviasi demokrasi), akibat kekuasaan partai menguat tetapi
tidak diimbangi dengan "sistem imunitas" berupa penguatan sistem dan
pelembagaan internal, sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Pada
situasi seperti inilah berimbas pada citra dan kinerja DPR. Karena buruknya
citra dan rendahnya kinerja DPR adalah kegagalan partai politik.
Karena itu, sejauh mana prospek DPR mampu
mendorong reformasi politik dan ikut mendorong kinerja pemerintah dalam
penuntasan kasus-kasus besar, seperti korupsi dan penegakan hukum pada 2012,
sangat bergantung pada komitmen partai politik. Tanpa komitmen baru dari
partai-partai di parlemen, DPR akan tetap sekadar menjadi "arena"
permainan politik saling sandera dan permainan anggaran demi kepentingan
elektoral 2014, maka sulit berharap DPR akan menjadi bagian dari solusi
perbaikan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar