Selasa, 24 Januari 2012

Keadilan dan Pembelajaran Kriminal


Keadilan dan Pembelajaran Kriminal
Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
Sumber : SUARA KARYA, 24 Januari 2012


Success is neither magical or mysterious. Success is the natural consequence of consistently applying the basic fundamentals. (Jim Rohn)

Pernyataan Rohn itu menggariskan bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang ajaib atau penuh misteri. Kesuksesan adalah konsekuensi alami dari kekonsistenan menerapkan dasar-dasar hukum alam. Kalau setiap pilar negara atau aparat penegak hukum konsisten menegakkan norma yuridis, maka kesuksesakan dalam mewujudkan keadilan bukanlah keajaiban.

Bagaimanapun, idealnya, suatu produk legislatif diberikan pada aparat penegak hukum sebagai senjata menjaring atau mempertanggungjawabkan para pelanggar hukum, tetaplah tidak ada manfaatnya, bilamana pilar yudisial (aparat penegak hukum) ini tidak konsisten menegakkannya.

Harapan publik supaya aparat konsisten, di antaranya seiring dengan janji Presiden yang akan memperbarui aturan mengenai remisi. Presiden menyetujui pemberian remisi kepada koruptor dicabut, artinya Presiden meminta dilakukan amandemen yuridis yang semula memberikan hak bagi koruptor untuk mendapatkan remisi. Pernyataan Presiden ini sejalan dengan tuntutan publik yang tidak menghendaki segala bentuk praktik atau diskresi yang berisi pemanjaan terhadap koruptor.

Masalahnya, apakah nantinya aparat penegak hukum akan mampu mengimplementasikan norma yang tidak lagi memihak dan memanjakan koruptor? Apakah aparat bisa menjaga konsistensi yuridis dengan memperlakukan koruptor tak ubahnya maling ayam?

Mengubah norma itu gampang. Yang sulit adalah menegakkannya. Sebagai sampel kasus, misalnya, regulasi tentang remisi boleh jadi memang nantinya tidak akan bisa dinikmati oleh koruptor, tapi 'remisi' lainnya atau praktik yang bercorak memberikan perlakuan istimewa dan eksklusif selama dalam lembaga pemasyarakatan (LP), masihlah sangat mungkin bisa dilakukan. Motto peradilan Inggris mengajarkan pada kita, "Berikan aku hakim, polisi, atau jaksa yang baik, meskipun dengan hukum yang buruk."

Motto peradilan di Inggris itu sebenarnya bermaksud menunjukkan pada kita bahwa amandemen atau perubahan tatanan tentang remisi koruptor bukanlah sisi yuridis yang harus diperdebatkan berkepanjangan. Namun, yang perlu digugat adalah, apakah nantinya paska remisi, LP akan menjadi tempat yang benar-benar adil baginya.

Dalam ranah filsafat hukum dikenal suatu pepatah sumum ius suma iuria, artinya 'adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya'. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Adil di mata aparat, belum tentu adil seperti dirasakan rakyat. Adil di mata koruptor, bisa jadi adalah penyediaan fasilitas yang berbeda dan mengistimewakannya, pasalnya dirinya menganggap kalau apa yang diperbuat untuk negara dengan apa diperolehnya dari 
menjarah kekayaan rakyat, tidaklah berlebihan.

Sedangkan adil di mata rakyat, koruptor tidak berhak mendapatkan remisi dan bahkan kalau perlu diasingkan di LP Nusakambangan, karena apa yang diperbuatnya telah mengakibatkan kesengsaraan pada rakyat. Sulitnya mengentaskan kemiskinan rakyat Indonesia merupakan kondisi riil dari kemenangan koruptor dalam mempengaruhi dan mengendalikan aparat, termasuk di aparat LP. Kasus Artalita dan Gayus menjadi bagian dari bukti kemenangan atau dahsyatnya supremasi koruptor atas kedaulatan norma yuridis.

Al-kisah filosof kenamaan Socrates pernah ditahan oleh aparat penjara karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan. Aparat tidak menerima alasan atau bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Socrates tidak bersalah. Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid Socrates ini kasihan melihat gurunya ditahan seperti kriminal-kriminal pada umumnya. Creto menganggap ini perlakuan tidak adil.

Dengan maksud membebaskan Socrates, Creto hendak menyuap petugas penjara yang menahan gurunya itu, tetapi di luar dugaan, Socrates menolaknya sambil berujar, "Keadilan memang harus ditegakkan, tetapi keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice for all) atau yang lainnya. Mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap) demikian akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara kejahatan."

Socrates bukan hanya tidak membenarkan cara memperjuangkan atau merebut keadilan dengan kejahatan, melanggar dan menyelingkuhi hukum, atau 'main pintu belakang' seperti suap-menyuap, tetapi juga menghargai dan menghormati berlakunya sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mencita-citakan tegaknya keadilan untuk semua (justice for all), berlaku secara egaliter, atau tanpa sekat kasta dan strata sosial, atau praktik-praktik non-diskriminasi.

Socrates menghormati kinerja aparat penegak hukum dalam menangani masalah kejahatan. Apa yang dilakukan oleh aparat kepada dirinya dianggap sebagai segmentasi dari kebenaran secara de jure, meski kepada dirinya merugikan. Dalam tataran ini, Ia merelakan dirinya menjadi bagian dari korban legalitas dan kebenaran dari sistem yang sedang berlaku. Dalam asumsinya, kalau sistem ini tidak dihormati, bagaimana mungkin norma-norma hukum akan mampu menjadi sumber utama kontrol atau monitoring setiap warga negara.

Idealitas itu sejalan dengan apa yang dituangkan dalam UUD 1945 yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum. Maknanya, setiap orang dituntut, diperlakukan, dan dkontrol dengan mekanisme kesederajatan, tanpa membedakan atau mendiskriminasikan di antara lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip ini, maka ia menabur penyakit moral yang mengarahkan pada penodaan citra negara hukum (rechstaat).

1 komentar: