Madu
atau Racun BBM
Sumaryoto, ANGGOTA
KOMISI XI DPR DARI FRAKSI PDI PERJUANGAN
Sumber : SUARA MERDEKA, 24 Januari 2012
MENTERI ESDM Jero Wacik pada Selasa (17/01)
menyatakan revisi Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006
tentang Pembatasan BBM Bersubsidi, dan Rancangan Perpres tentang Diversifikasi
BBM ke BBG, siap diteken Presiden. Tiga hari kemudian, Menko Perekonomian Hatta
Rajasa menyatakan, meskipun UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN 2012
melarangnya, pemerintah tetap membuka opsi kenaikan harga BBM.
Esuk dhele, sore tempe. Mana yang benar? Kita
tidak tahu pasti. Yang jelas bila pemerintah menerapkan pembatasan BBM
bersubsidi per 1 April 2012 yang berarti mobil pribadi di Jawa dan Bali tidak
boleh lagi menggunakan premium maka akan menciptakan madu sekaligus racun.
Madu bagi siapa? Adalah bagi SPBU-SPBU asing
seperti Shell (Inggris), Total (Perancis), dan Petronas (Malaysia).
Diharuskannya mobil pribadi menggunakan pertamax maka SPBU asing itu menangguk
untung. Selama ini mereka sepi peminat karena SPBU Pertamina menjual premium
dengan harga Rp 4.500/ liter. Bila diharuskan memakai pertamax, pengguna mobil
pribadi pasti lari ke SPBU asing karena harganya pasti lebih murah.
Dengan kata lain, pembatasan BBM bersubsidi
akan berdampak buruk terhadap kelangsungan usaha SPBU nasional. Apalagi
sebagian pelaku usaha kita tidak siap membangun infrastruktur BBM nonsubsidi
karena keterbatasan dana. Pembangunan satu tangki dan dispenser pertamax saja
butuh Rp 450 juta.
Lalu racun bagi siapa? Simak saja pengakuan
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Djaelani Sutomo, Jumat (20/1). Ia
mengakui Pertamina keok bila harus bersaing dengan SPBU asing. Bila sama-sama
menjual pertamax di dalam kota, Pertamina pasti kalah karena pasokan pertamax
hanya dari kilang Balongan, sementara kilang lainnya memproduksi premium. Bila
memaksakan kilang lain memproduksi pertamax, harganya akan jauh lebih mahal.
Kilang Pertamina baru benar-benar siap memproduksi pertamax secara massal pada
2014.
Simak pula pengakuan Ketua Umum Hiswana Migas
Eri Purnomosidi. Menurutnya, saat ini saja SPBU Pertamina ngos-ngosan menjual
pertamax, dan total penjualannya pun sangat kecil. Sebaliknya SPBU asing saat
ini gencar berekspansi di Indonesia karena melihat peluang bila program
pembatasan BBM diterapkan.
Memihak
Rakyat
SPBU asing memang bak anak emas. Petronas
misalnya, meski tak memiliki kilang di Indonesia, ia boleh beroperasi di sini.
Sebaliknya Pertamina, bila tak punya kilang minyak di Malaysia maka ia tidak
boleh beroperasi di sana. Ironis memang. Lebih ironis lagi, Ketua Umum Kadin
Suryo Bambang Sulisto dan Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung
justru mendukung pembatasan BBM bersubsidi. Bercermin dari contoh ini kita
khawatir rencana pemerintah membatasi BBM bersubsidi akibat di-drive oleh pihak
asing.
Secara infrastuktur, Pertamina juga belum
siap menghadapi pembatasan BBM bersubsidi. Simak saja pengakuan Dirut Karen
Agustiawan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pekan lalu.
Menurutnya, secara infrastruktur Pertamina belum siap bila kebijakan pembatasan
BBM bersubsidi diterapkan mulai 1 April 2012.
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputri dalam acara ulang tahun partainya 10 Januari lalu menyarankan
pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa tidak dicoba? Apa pemerintah gengsi?
Atau tak berani menanggung risiko politiknya?
Memang bak menghadapi buah simalakama. Tapi
Presiden tak perlu merasa kehilangan muka. Demi rakyat, apa pun bisa dilakukan.
Presiden harus bicara dengan DPR dan melakukan pendekatan agar keputusan tidak
menaikkan harga BBM ditinjau kembali. Bukankah melindungi warga negara dan
seluruh tumpah darah adalah amanat Pembukaan UUD 1945?
Kini, semua terserah pemerintah: mau
memberikan madu buat pengusaha asing dan racun bagi rakyat atau sebaliknya.
Semestinyalah pemerintah berpihak pada rakyat. Jadikan kontroversi soal rencana
pembatasan BBM bersubsidi ini sebagai momentum bagi pemerintah untuk kembali
berpihak pada rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar