Imlek
dan Kepedulian pada yang Lemah
Tom Saptaatmaja, ESAIS,
ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 23 Januari 2012
Jika dibandingkan dengan tahun baru
lainnya, Imlek boleh jadi merupakan satu-satunya hari yang paling unik dan
inklusif.
Keunikannya, perayaan tahun baru ini bisa dirayakan warga Tionghoa yang beragama apa pun. Bahkan yang sekuler pun boleh merayakan Imlek, termasuk para pejabat di jajaran Partai Komunis di China. Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia memang merupakan perayaan para petani di China yang lalu menyebar ke Mongolia, Korea,Jepang,Vietnam, Kamboja,Thailand, dsb. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi. Seiring migrasi nenek moyang bangsa Indonesia dari Hindia Belakang (China Selatan, di utara Thailand dan Myanmar) ke Nusantara pada awal Masehi, Imlek beserta budaya Tiongkok masuk dan memperkaya khasanah budaya kita.
Namun perlu diketahui, Imlek pada mulanya bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat China. Imlek bisa diperingati oleh masyarakat China yang beragama Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik,dan Kristen. Memang bagi penganut Tao, Konghucu, dan Buddha, Imlek diberi sentuhan keagamaan seperti tampak pada ritual keagamaan yang harus dijalani. Identifikasi Imlek sebagai hari raya Buddha dimulai setelah agama Buddha menyebar di China pada zaman Dinasti Han (202 SM–221 M) di bawah Raja Han Ming Ti.
Bagi Tionghoa Kristen atau Islam, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Meski demikian tentu tidak ada salahnya jika pada tahun baru Imlek yang merupakan warisan budaya leluhur,setiap etnik Tionghoa yang beragama Kristen atau Islam berdoa dan bersyukur kepada Sang Khalik. Nah, dari ilustrasi di atas, menjadi menarik bahwa Imlek ternyata tidak eksklusif menjadi milik satu agama atau golongan tertentu. Dalam Imlek terkandung pesan inklusif yang mencoba menjembatani semua sekat yang ada.
Pada era Orde Lama, kerap pada tiap Imlek berbagai etnik berpawai bersama,saling membuka diri, seolah tidak ada sekat-sekat lagi. Kecenderungan ini sekarang muncul lagi dan sudah seharusnya orang tidak suka menonjolkan perbedaan karena perbedaan adalah kenyataan yang harus kita terima dan hormati,terlebih di negeri yang majemuk ini. Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di kelenteng-kelenteng, di antaranya Kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban, Jawa Timur, yang menerima siapa pun yang hendak masuk maupun menginap.
Bahkan saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-kelenteng itu sering terdapat patung-patung dari tokoh atau dewa setempat, yang sama sekali tidak terdapat dalam tradisi China. C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki sekitar 115 dewa yang ada di kelenteng-kelenteng di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda. Ini boleh jadi selaras dengan prinsip “Yin-Yang” agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga.
Spirit Naga Air
Tahun Baru Imlek 2563 yang akan kita masuki disebut Tahun Naga Air. Salah satu karakter naga air adalah selalu menjernihkan dan mendamaikan. Berbagai konflik yang terjadi akhir-akhir ini di antero negeri, mulai dari Mesuji, Bima, Papua hingga Sampang sebenarnya kontraproduktif dan membuat energi positif kita tersita sia-sia.
Belum lagi setiap hari selalu ada masalah baru, entah korupsi, entah proyek ini atau itu yang tidak prorakyat seperti proyek-proyek DPR di Senayan. Semua masalah itu sungguh menyedot energi positif kita sebagai bangsa dan ujung-ujungnya rasa kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa kian pudar. Maka memasuki Tahun Naga Air, mari kita revitalisasi semangat kebersamaan yang memudar itu. Hanya dengan kebersamaan, kita akan bisa menjaga rumah Indonesia tidak ambruk atau bangkrut. Mari kita ingat pepatah lama, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Karena itu pada Tahun Naga Air ini, penulis berharap kepada etnik Tionghoa agar tidak meninggalkan komitmen keindonesiaannya. Jangan lupa pada tiap Imlek, masyarakat non-Tionghoa kerap menyoroti sejauh mana sebenarnya etnik ini mau lebih dalam terlibat dalam permasalahan bangsa.
Pesan Confucius
Maka setiap etnik Tionghoa jelas bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Semisal, bagi etnik Tionghoa yang punya modal kuat, mohon tidak melupakan sesama yang lemah.Silakan terus berekspansi dalam usaha, tetapi kesejahteraan karyawan, khususnya di level terendah, jangan pernah diabaikan. Mari terus berempati pada sesama yang terpinggirkan atau tidak mampu bersaing ini. Jangan lupa, kelebihan manusia dari binatang adalah bahwa manusia masih punya akal budi sehingga bisa mengasah nurani dan berempati kepada sesama yang tidak berdaya dalam persaingan hidup.
Semoga Imlek kali ini menjadi momentum untuk semakin mengasah rasa kemanusiaan kita sehingga kita tidak pernah lupa pada sesama anak bangsa, khususnya saudara-saudara yang kurang beruntung seperti para buruh yang jadi korban PHK, kaum miskin yang susah hidupnya di tengah melonjaknya harga sembalo, dsb. Sebab apa artinya Imlek sebagai pesta kebersamaan kalau ternyata kemudian kita menjadi manusia yang egois dan tidak peduli pada penderitaan sesama? Pada setip Imlek kian populer ucapan “Gong Xi Fa Coi” (semoga semakin menjadi kaya).
Dalam hemat penulis, menjadi kaya hanya akan terjadi kalau kekayaan materi disertai dengan kekayaan hati. Dengan demikian kita yang kaya juga akan mampu membuat kaya sesama yang sebelumnya tidak kaya, baik dalam tataran materi atau kepandaian. Lalu ada hubungan yang setara dan tidak timbul gap atau jurang pemisah. Dengan kata lain,kita sesungguhnya tidak dipanggil oleh Sang Pencipta untuk menjadi kaya sendirian.
Confucius pernah berpesan: ‘’Bila diri sendiri ingin tegak atau maju, kita juga wajib membantu orang lain untuk tegak atau maju.’’ Semoga Imlek memang sungguh menjadi pesta kebersamaan yang mampu mengikis segala bentuk egoisme dalam diri kita. Semoga bersama- sama kita sejahtera. Sin tjun kiong hie, thiam hok thiam sioe, ban soe djie ie (selamat tahun baru, tambah rezeki dan tambah umur, segala yang diinginkan terkabul). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar