Uni
Eropa: Pelajaran bagi ASEAN
Pamungkas Ayudhaning Dewanto ; Research
Associate
di Institute for Business
and Diplomatic Studies, Binus University
Sumber : KOMPAS,
20 Juni 2012
Ancaman berakhirnya zona euro nyaris di depan
mata setelah koalisi ”Merkozy” terpecah pasca-terpilihnya Presiden Perancis
yang baru, Francois Hollande.
Krisis utang yang dialami juga telah menanam
bom waktu pada aspek politik. Krisis ini akan menjadi pelajaran menarik bagi
ASEAN yang baru saja usai menyelenggarakan KTT ke-20 di Kamboja, April lalu.
Ini saat yang tepat untuk menilik kembali
regionalisme. Dunia mengalami krisis tata kelola yang mengarah pada situasi
anarkistis. Hilangnya kepercayaan publik (negara) terhadap lembaga
internasional, seperti IMF, WTO, dan berbagai rezim internasional lain,
menjadikan masyarakat dunia mencari medium yang lebih representatif.
Ancaman kebangkrutan negara anggota Uni Eropa
(UE) telah merevisi persepsi atas kriteria regionalisme yang ideal yang melekat
di UE. Integrasi UE yang dikenal paling signifikan ternyata belum sepenuh hati
dilakukan.
Ada dua pelajaran yang patut dicatat dari
kasus UE. Pertama, setiap negara punya sumber daya ekonomi dan pilihan
kebijakan fiskal yang bervariasi. Integrasi moneter yang semula mampu
mengangkat nilai perdagangan kawasan tidak lagi aman karena stabilitasnya akan
bergantung pada kesehatan fiskal negara anggota lain. Kebijakan fiskal kolektif
yang didengungkan juga tidak mudah diterapkan, mengingat otoritas nasional
memiliki polarisasi berdasarkan keadaan ekonominya masing-masing.
Kedua, integrasi politik yang parsial akan
jadi bom waktu bagi para pemimpin. Keputusan-keputusan yang disepakati para
pemimpin UE tak dapat secara langsung dikoreksi oleh masyarakat meski Parlemen
UE telah ada. Belakangan, pemilu di Perancis menjadi sangat berpengaruh bagi
Yunani karena harapan perubahan dalam kebijakan regional bertumpu kepada
Hollande.
Sebelumnya, perubahan pemimpin di satu negara
tak berpengaruh ke negara lain karena tak ada gelombang krisis yang
mengakibatkan perlunya perubahan kebijakan regional secara drastis. Kini,
rakyat yang tercekik oleh pengetatan anggaran akan menaruh harapan besar pada
pemilu di negara-negara penyumbang terbesar Eropa sebagai kiblat dari setiap
keputusan penting UE. Di sisi lain, rakyat UE dibatasi yurisdiksi nasional
sehingga tak punya hak politik untuk menentukan pemimpin di negara-negara
kontributor utama itu.
Bangkitnya kesadaran politik publik UE inilah
yang akan menjadi bom waktu bagi sistem politik UE yang saat ini belum
representatif. Warga Yunani, contohnya, yang mau tidak mau harus menerima
segala keputusan yang diambil UE, justru akan meningkatkan skeptisisme publik
Yunani atas integrasi lebih jauh. Akibatnya, wajar jika mengemuka gagasan untuk
mengembalikan mata uang nasional negara-negara di zona euro demi kesehatan
ekonomi nasional.
Integrasi atau Kooperasi?
Berbeda dengan UE yang jauh lebih siap dengan
situasi psikologis region-sentrisme, negara-negara ASEAN justru sejak awal
memiliki kesepahaman bahwa otoritas nasional masih menyandang kasta tertinggi
dalam prinsip keanggotaan ASEAN. KTT Ke-20 ASEAN di Kamboja menunjukkan
fenomena yang kuat atas keengganan negara anggota untuk mewujudkan integrasi.
Berbagai persoalan sensitif, seperti sengketa
perbatasan dan Laut China Selatan, tidak dibahas secara konkret dalam KTT itu.
Hal ini mengukuhkan ASEAN dengan tema dasar yang diangkatnya pada KTT itu, yakni
”kerja sama”, yang menjadi pilihan realistis dibandingkan ”integrasi”.
Sejauh ini fasilitas perdagangan dan
keimigrasian yang dicapai tidak banyak mendorong keterkaitan intra-kawasan.
Perdagangan bebas dengan China juga berkontribusi dalam melemahnya interaksi
perdagangan di dalam kawasan.
Masyarakat di ASEAN belum punya rasa kesatuan
dan kepemilikan kawasan. Bagaimanapun, ASEAN tetap jadi proyek elite bagi warga
biasa. Berbeda dengan UE, ASEAN juga belum mampu mengakomodasi tiga kebutuhan
pembentukan loyalitas publik, yakni politik, ekonomi, dan kepastian hukum. Di
UE, dua aspek terakhir sudah dipenuhi melalui penyatuan mata uang dan keputusan
regional yang diadopsi melalui ratifikasi nasional.
Tentunya sintesa dari pengalaman kedua
regionalisme ini harus mampu mewujudkan format institusi regional yang lebih
sempurna bagi ASEAN ke depan. Pelajaran dari krisis UE dapat diresapi agar
ASEAN fokus jadi medium diplomasi yang lebih bermartabat bagi Asia Tenggara.
Tak perlu terlalu jauh membentuk kosmopolitanisme parsial yang justru menanam
bom waktu bagi keberlangsungan institusi regional layaknya UE.
Meski capaian ASEAN masih jauh dari UE, ada
pelajaran berharga untuk meletakkan posisi ASEAN tepat menuju kerja sama
paripurna. Negara-negara anggota harus segera menyadari bahwa pertumbuhan Asia
diprediksi terus menguat dan terus mengambil porsi lebih besar dibandingkan
dengan siapa pun di belahan bumi lainnya. ASEAN harus mampu menyeimbangkan diri
dalam konstelasi ekonomi-politik dunia di era multipolar ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar