Ketahanan
Sosial
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
15 Maret
2018
Salah
satu gejala yang mesti diwaspadai pada tahun politik 2018 dan 2019 adalah
merapuhnya ketahanan sosial (social resilience). Jika tidak diwaspadai,
kemerosotan ketahanan sosial dapat memengaruhi ketahanan nasional (national
resilience) secara keseluruhan. Sumber ancaman ketahanan sosial bisa bermacam-macam.
Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran adalah salah satu penyebab
laten merosotnya ketahanan sosial. Karena masalah ini sudah klasik dan
penanganannya telah berkelanjutan—meski belum berhasil sepenuhnya— bahayanya
belum sampai pada tingkat darurat.
Peningkatan
eskalasi politik yang cenderung divisif dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019
juga dapat merusak kohesi sosial— tercabiknya tenunan keutuhan dan kesatuan
warga. Upaya pencegahan eskalasi politik ini sudah dilakukan dengan deklarasi
damai di antara para calon yang terlibat dalam kontestasi pilkada beserta
partai politik dan warga pendukung calon. Suasana kondusif ini seyogianya
terus dipertahankan.
Ancaman
dan bahaya paling serius belakangan ini terhadap ketahanan sosial justru
terlihat dengan peningkatan signifikan secara cepat penyebaran ujaran
kebencian (hate speech) dan hoaks—kabar bohong, adu domba, fitnah, dan
provokasi—melalui media sosial. Meski aparat Polri telah melakukan berbagai
tindakan, tetap saja penyebaran ujaran kebencian dan hoaks melalui medsos
belum memperlihatkan tanda-tanda surut.
Menurut
berbagai data, pada 2017 Polri menangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Angka
itu meningkat 44,99 persen dibandingkan dengan 2016 yang berjumlah 1.829
kasus. Kasus ujaran kebencian ini terutama terkait dengan penghinaan dan
pencemaran nama baik figur, tokoh, atau warga tertentu.
Bisa
dipastikan, kasus hoaks jauh lebih banyak lagi. Menurut estimasi Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada akhir 2016, ada sekitar 800.000
situs penyebar hoaks di dunia maya, khususnya medsos. Jumlah ini bisa
dipastikan meningkat tajam pada 2017. Dari jumlah yang begitu besar, hanya
sekitar 6.000 pada 2016 yang telah diblokir Kemkominfo dan lembaga lain
terkait yang bertugas memantau penyebaran hoaks dalam medsos.
Penyebaran
hoaks yang masif dan cepat terkait dengan adanya kelompok yang secara khusus
memproduksi hoaks. Di antara mereka yang telah diungkap Direktorat Tindak
Pidana Kejahatan Siber Polri (dibentuk Februari 2017), misalnya, adalah
Saracen dan yang terakhir Muslim Cyber Army (MCA).
Bahaya
hoaks sudah jelas. Hoaks lazimnya merupakan pemutarbalikan fakta,
penghasutan, dan provokasi terkait terutama isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA) dan juga terkait pemimpin serta figur tertentu. Dalam
kasus menghebohkan tentang ”penganiayaan terhadap ulama”, misalnya, menurut
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dari 45 berita tentang hal itu,
42 berita merupakan hoaks; hanya 3 berita sesuai fakta.
Cenderung
menerima begitu banyak hoaks yang beredar dalam medsos, wacana di kalangan
warga terlihat cukup memanas. Hal ini terutama terkait pernyataan tentang
pelaku penganiayaan yang disebut kalangan Polri sebagai ”orang gila”. Polri
berada dalam posisi defensif sehingga Kapolri dan petinggi Polri lain harus
berulang kali menjelaskan faktanya kepada publik.
Mengamati
perkembangan seperti itu, bisa diduga gangguan dan ancaman terhadap ketahanan
sosial bakal terus berlanjut. Meskipun Polri berhasil menangkap pelaku
penyebar hoaks dan ujaran kebencian—apakah kelompok terorganisasi atau
individu lone wolf—penyebarannya yang tampaknya sulit dihentikan terus pula
mengancam ketahanan sosial. Oleh karena itu, perlu upaya serius memperkuat
ketahanan sosial.
Ketahanan
sosial semestinya tak hanya dipahami sebagai ”ketahanan nasional” yang
bernuansa hankam dan militeristik. Pemahaman seperti ini beredar sudah lama
dalam masyarakat; apalagi istilah ”ketahanan nasional” merupakan nomenklatur
dan prioritas penting dalam masa pemerintahan Orde Baru.
Ketahanan
nasional tentu banyak terkait dengan ketahanan sosial. Semakin tangguh
ketahanan sosial, kian kuat pula ketahanan nasional. Sebaliknya, kian lemah
ketahanan nasional, juga terkait banyak dengan semakin lemahnya ketahanan
sosial.
Ketahanan
sosial secara sederhana dapat dipahami sebagai kemampuan individu dan
kelompok warga beradaptasi menghadapi berbagai perubahan global dan cepat
dalam bidang politik, ekonomi, agama, sosial-budaya, teknologi dan informasi
yang terjadi di lingkungannya. Kegagalan atau ketidakmampuan melakukan
adaptasi mengakibatkan terganggunya kehidupan serta ketahanan individu dan
sosial.
Ketahanan
sosial merupakan konsep baru di kalangan ilmuwan sosial. Berkembang dalam
dasawarsa terakhir, konsep ketahanan sosial semula terkait kemampuan adaptasi
dan penyesuaian diri warga individu dan masyarakat menghadapi perubahan
disruptif dalam ekosistem, ekologis, dan lingkungan hidup fisik. Perubahan
cepat dan disruptif yang terjadi di luar bidang ini membuat konsep ketahanan
sosial kemudian juga mencakup berbagai bidang kehidupan lain.
Dalam
kaitan dengan dunia informasi instan yang disruptif dan divisif terhadap
kehidupan dan ketahanan individu dan masyarakat luas yang beredar di dunia
maya atau medsos lewat ujaran kebencian dan hoaks, semua warga memerlukan
pengembangan kemampuan beradaptasi. Ketahanan sosial dalam menghadapi dunia
maya dan medsos dapat diperkuat dengan sikap kritis dan skeptis; tidak secara
instan menelan mentah- mentah dan taklid apa saja yang beredar sebagai kebenaran.
Dengan
demikian, setiap individu dan masyarakat perlu melakukan transformasi
adaptabilitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman terhadap diri
dari komunitasnya. Hanya dengan kemampuan transformasi ini, ketahanan sosial
dapat senantiasa diperkuat di tengah gejolak perubahan disruptif, khususnya
akibat banjir hoaks dan ujaran kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar