Defisit
Demokrasi Kita dan UU MD3
Arya Fernandes ; Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
|
KOMPAS,
14 Maret
2018
Pengesahan revisi UU MD3
masih tertahan di meja Presiden Joko Widodo. Presiden memang dihadapkan pada
dua kondisi yang dilematis, yakni menerima usulan DPR terkait dengan revisi
UU MD3 yang dimotori oleh beberapa partai koalisi atau mendengarkan suara
masyarakat yang menolak penambahan beberapa pasal, seperti Pasal 122 huruf k.
Penolakan masyarakat dapat
dimafhumi karena pasal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berpendapat
seseorang yang mengkritik DPR.
Pasal tersebut berbunyi: ”dalam melaksanakan fungsi sebagai
dimaksud dalam Pasal 121 A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: (k) Mengambil
langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok
orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”.
Implikasi
Apabila Presiden menuruti
kehendak Dewan dengan menandatangani revisi UU MD3, bisa berimplikasi pada
beberapa hal. Pertama adalah berpotensi menurunkan tingkat dukungan dan
kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Saat ini, 74 persen masyarakat
mendukung demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik untuk bangsa kita
(SMRC, Mei 2017).
Kedua akan menurunkan
peringkat demokrasi Indonesia pada skala global. Data Freedom House
menunjukkan dalam lima tahun terakhir (sejak 2014-2018), status Indonesia
masih ”partly free”. Padahal status ”free” berhasil diraih Indonesia
berturut-turut 2006 sampai 2013.
Ketiga merosotnya
kepercayaan masyarakat kepada Dewan. Survei CSIS pada Agustus 2017
menunjukkan tingkat kepercayaan kepada DPR paling rendah dibanding lembaga
negara lain. Data survei menunjukkan
hanya 58,6 persen masyarakat yang mengaku percaya kepada DPR dan 58,7 persen
yang percaya kepada partai politik saat survei dilakukan. Sementara rata-rata
tingkat kepercayaan kepada lembaga negara sebesar 76,1 persen.
Anomali
Meskipun dukungan
masyarakat terhadap demokrasi cukup tinggi, hal tersebut tidak linear dengan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan (DPR) dan partai politik. Rendahnya
tingkat kepercayaan publik kepada lembaga perwakilan ini tentu menjadi lampu
kuning bagi pelembagaan politik kita. Itu karena DPR bertugas menjaring dan
mengagregasikan kepentingan kolektif publik.
Anomali selanjutnya yang
terjadi adalah lembaga perwakilan yang seharusnya menjadi contoh baik tentang
bagaimana demokrasi dipraktikkan justru mengekang kebebasan berpendapat dan
berbicara, dengan memasukkan Pasal 122 huruf k. Melalui pasal tersebut, DPR
seperti menunjukkan kecenderungan yang anti-kritik dengan mengancam hak warga
untuk mengkritisi kinerja dan perilaku anggota Dewan, bisa kena pasal karet
yang berujung pidana.
Kecenderungan anti-kritik
DPR tersebut tentu tidak baik bagi pelembagaan dan pendidikan politik
masyarakat. DPR harus menunjukkan kepada masyarakat bagaimana demokrasi itu
bekerja dan bagaimana mekanisme kontrol dilakukan.
Situasi ini menjadi fase yang
tidak baik dalam perkembangan demokrasi kita ke depan. Di saat keterbukaan
dan kebebasan berpendapat sudah terbuka luas, lembaga perwakilan justru
seperti menjadi lembaga tertutup dan cenderung anti-demokrasi.
Potret DPR yang terkesan
anti-kritik tersebut menunjukkan bahwa demokrasi (perwakilan) kita tengah
mengalami defisit. Majone (1998) menyebut defisit demokrasi ditandai
ketidakmampuan DPR dalam membuat keputusan politik yang berpihak kepada
rakyat, tidak adanya akuntabilitas dan transparansi, serta kegagalan
representasi yang ditandai dengan tidak adanya pelibatan warga dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
Defisit demokrasi
(perwakilan) juga ditunjukkan dengan performa DPR yang rendah. Target
legislasi nasional yang telah dirumuskan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tidak berhasil diselesaikan. Dari 57 RUU yang masuk dalam
Prolegnas 2017, hanya 18 RUU yang berhasil disahkan menjadi undang-undang
(www.dpr.go.id). Selain target legislasi nasional yang tidak terpenuhi,
persepsi publik terhadap kinerja DPR juga lemah. Survei CSIS pada 2017
menunjukkan hanya 59 persen pemilih tidak puas atas kinerja DPR. Berbeda
dengan kepuasan kepada Presiden yang 68 persen.
Lemah
integritas
Selain performa yang
rendah, defisit demokrasi juga ditunjukkan dengan lemahnya integritas wakil
rakyat. Sejumlah anggota Dewan baik di pusat dan daerah tersangkut masalah
hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan Laporan Tahunan KPK
2017, KPK menangani 20 kasus yang melibatkan anggota DPR/DPRD.
Memperbaiki kinerja dan
integritas anggota DPR saya kira bisa dilakukan melalui beberapa hal. Di
antaranya memperbaiki proses perekrutan dan penjaringan anggota Dewan oleh
partai politik. Proses penjaringan yang terbuka, demokratis, dan
memperhatikan rekam jejak dan integritas calon penting dilakukan secara ketat
oleh partai politik. Proses perekrutan tersebut akan memengaruhi kinerja dan
capaian anggota Dewan yang terpilih. Apabila proses perekrutan tertutup dan
rentan penggunaan mahar politik, potensi korupsi akan membayangi.
Untuk penjaringan, partai
bisa membentuk pansel yang diisi oleh orang-orang profesional luar partai
untuk mengukur kapasitas, integritas, dan kapabilitas calon anggota Dewan.
Selain itu, masyarakat
juga diberi ruang untuk dapat memberikan masukan terhadap daftar nama sebelum
partai mengusulkan daftar caleg sementara (DCS) kepada Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Evaluasi
berkala
Tahap selanjutnya adalah
mengevaluasi secara berkala dan sistematis kinerja anggota Dewan yang telah
terpilih.
Selama ini, proses
evaluasi dan pemberian penghargaan dan sanksi jarang dilakukan oleh partai
politik. Sering kali anggota DPR yang berkinerja buruk tetap bisa bertahan
sebagai anggota. Sementara, dari sisi kelembagaan, DPR perlu membuka ruang
bagi masyarakat untuk dapat mengakses kerja dan kegiatan anggota Dewan saat
reses.
Dari sisi alokasi dana dan
jumlah reses naik dibandingkan periode sebelumnya. Namun, hal tersebut tidak
berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR.
Akhirnya untuk mencegah
Indonesia defisit demokrasi, kita bergantung pada kearifan Presiden Jokowi
untuk menolak menandatangani revisi UU MD3.
Sekarang pilihan ada di tangan Presiden. Apakah Presiden menginginkan
defisit demokrasi atau demokrasi kita semakin terkonsolidasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar