Transparansi
Pengadaan Pemerintah
Agus Sunaryanto ; Penulis adalah Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
15 Maret
2018
Presiden
Joko Widodo di beberapa kesempatan selalu menekankan pentingnya pemanfaatan
teknologi informasi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa agar lebih
transparan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengamini, bahkan belakangan menyarankan
tidak hanya mengandalkan e-procurement, tetapi juga e-katalog bagi semua
pengadaan barang dan jasa di kementerian, lembaga pemerintah, dan pemerintah
daerah.
Memang
pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pengadaan merupakan inovasi yang
terus dikembangkan untuk menggantikan pengadaan konvensional yang tak lagi
dianggap efisien, efektif, minim transparansi, serta berisiko menimbulkan
kongkalikong antara penyelenggara dan peserta lelang.
Tingkat efisiensi
Berdasarkan
data monitoring dan evaluasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (Monev LKPP), tingkat persentase efisiensi lelang elektronik tahun
2015 adalah 10 persen. Tingkat efisiensi cenderung fluktuatif, tetapi jika
diasumsikan belanja pengadaan secara nasional sekitar Rp 900 triliun, rata-
rata penghematan per tahun mencapai Rp 90 triliun.
Ironisnya
sistem ini belum efektif diterapkan di level kementerian dan lembaga,
termasuk pemda. Berdasarkan catatan LKPP tahun 2017, pemanfaatan sistem
elektronik baru sekitar Rp 403 triliun atau 40 persen dari total Rp 994
triliun belanja pengadaan secara nasional. Padahal, kewajiban 100 persen
pengadaan secara elektronik, baik pusat maupun daerah, telah diamanatkan
Peraturan Presiden No 54/2010 dan Instruksi
Presiden No 1/2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Minimnya
pemanfaatan sistem elektronik sepertinya akan menghambat sistem ini dijadikan
salah satu sarana pencegahan korupsi. Setidaknya terkonfirmasi dari hasil
pantauan ICW selama tahun 2017, di mana dari total 576 kasus korupsi yang
ditangani aparat penegak hukum, ternyata 42 persen atau 241 kasus terkait
korupsi pengadaan barang dan jasa. Jumlah itu menunjukkan tren kenaikan
dibandingkan dengan tahun 2016 yang hanya berjumlah 195 kasus korupsi.
Memang
tak ada jaminan penerapan sistem elektronik akan menghilangkan sepenuhnya
korupsi di sektor pengadaan. Bagaimanapun sistem elektronik tetap membutuhkan
campur tangan manusia sehingga efektivitasnya membutuhkan integritas penyelenggara
dan peserta pengadaan.
Kasus
korupsi pengadaan Videotron tahun 2012 di Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah membuktikan bagaimana proses lelang elektronik tetap bisa
direkayasa karena pelaksana pengadaan di intervensi oleh perusahaan peserta
tender yang pemiliknya notabene merupakan anak orang penting di Kemenkop dan
UKM saat itu.
Pada
kasus lain, seperti KTP elektronik, tergambar secara terang benderang
bagaimana rekayasa pengadaan dilakukan bahkan dari sejak rencana anggaran
pengadaan diputuskan bersama politisi DPR.
Urgensi transparansi
Maraknya
praktik korupsi di sektor pengadaan merupakan tantangan tersendiri di tengah
upaya pemerintah melakukan efisiensi. Oleh karena itu, penting menjaga
komitmen bersama mengefektifkan ekosistem pengadaan, baik dalam pelaksanaan
regulasi, menjaga integritas lembaga dan petugas pengadaan, platform
pengadaan serta mekanisme transparansi maupun akuntabilitasnya.
Komitmen
untuk mengefektifkan ekosistem pengadaan yang transparan dan akuntabel itu harus
menyentuh tiga area utama, yaitu keterbukaan pemerintah, integritas sektor
swasta, dan kontrol publik sebagai penerima manfaat utama.
Pemerintah
memegang peran penting karena selain memiliki otoritas anggaran sekaligus
penyelenggara pengadaan sehingga komitmen atas keterbukaan dan akuntabilitas
adalah hal mutlak. Langkah sederhana yaitu cukup mengumumkan rencana umum
pengadaan (RUP) yang akan dilaksanakan setiap tahunnya dalam portal setiap
institusi dan portal pengadaan nasional yang disediakan LKPP sesuai kewajiban
Pasal 112 (2) Perpres No 54/ 2010.
Instrumen pengawasan
Keterbukaan
RUP ini sangat penting karena menjadi instrumen bagi pengawas internal dan
publik untuk mengawasi dan mencegah setiap pengadaan dari pemburu rente,
termasuk dari kalangan politisi. Selain itu, publikasi RUP juga dapat
meningkatkan peran ekonomi domestik, khususnya UMKM, dalam mempersiapkan
kebutuhan barang dan jasa pemerintah.
Sayangnya
kepatuhan publikasi RUP pada portal pengadaan nasional masih sangat
rendah. Untuk tahun 2017, masih
terdapat 10 kementerian dan 16 lembaga yang sama sekali tak mengisi RUP di
aplikasi evaluasi dan pengawasan realisasi anggaran (Monev TEPRA LKPP). Jadi,
untuk transparansi dan efisiensi anggaran pengadaan, rasanya Presiden masih
punya pekerjaan rumah untuk menertibkan para pembantunya sendiri.
Pada
area yang kedua adalah membangun mekanisme insentif dan daftar hitam
(blacklist) yang terintegrasi secara nasional kepada perusahaan penyedia.
Seperti diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan Perpres No 13/2018
tentang prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi (beneficial ownership).
Selain
itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga telah mengembangkan manajemen
antisuap berdasarkan ISO: 37001. Jika kedua standar ini dijadikan persyaratan
utama bagi peserta pengadaan, tentu akan mempersempit ruang gerak perusahaan-
perusahaan bodong terlibat dalam kegiatan pengadaan.
Tentu
mekanisme blacklist tetap harus diberikan jika terbukti melakukan kecurangan,
sedangkan yang tertib patut diberikan insentif, misalnya jaminan dan
kemudahan kredit untuk menambah modal dan pengembangan jenis usahanya.
Akses publik
Pada
area yang ketiga adalah membuka akses publik terhadap dokumen pengadaan.
Fakta saat ini, dokumen lelang dan kontrak masih dipahami penyelenggara
pengadaan sebagai dokumen tertutup karena dianggap mengandung rahasia
perusahaan/dagang sehingga dikhawatirkan akan mengganggu persaingan usaha
tidak sehat.
Argumentasi
itu sebenarnya sudah terbantahkan karena sejumlah putusan Komisi Informasi,
seperti putusan Nomor 358/IX/KIP-PS-M-A/2011, Nomor 026/II/KIP-PS-M-A/2012,
dan Nomor 374/XII/KIP- PS-A/ 2013, telah menyatakan bahwa dokumen lelang dan
kontrak pengadaan sebagai dokumen terbuka bagi publik karena tidak
menyebabkan terganggunya persaingan usaha tidak sehat serta hak atas kekayaan
intelektual.
Namun,
agar keterbukaan dokumen lelang dan kontrak pengadaan menjadi pemahaman
bersama, seharusnya dicantumkan dalam revisi Perpres No 54/2010. Selain itu,
bisa disusun surat keputusan bersama atau nota kesepahaman antara Komisi
Informasi, LKPP, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri bahwa dokumen lelang
dan kontrak merupakan dokumen terbuka.
Intinya
reformasi pengadaan yang inovatif tetap harus diiringi komitmen transparansi
dan akuntabilitas, dilaksanakan secara sistematis, terintegrasi serta diawasi
publik sehingga potensi patgulipat di setiap tahap pengadaan bisa dicegah
semaksimal mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar