Tak
Perlu Khawatir pada Masa Depan Milenial
Ahmad Risani ; Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai
staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung
|
DETIKNEWS,
06 Februari
2018
Sebagai
bagian dari milenial, saya merasa tersanjung saat banyak pengamat yang
membicarakan kami. Ada semacam optimisme tersendiri bagi saya setelah kritik
dan harapan dilontarkan kepada generasi ini. Di satu sisi menyimpan beban
moral tersendiri jika itu tak sesuai harapan di masa depan.
Secara
demografis, kami mendominasi dalam kelompok usia produktif di kisaran 34,45%.
Banyak penelitian mencoba memprediksi di periode 2035-2045 arah pasar dan
situasi politik akan dikendalikan oleh generasi ini. Atau, setidaknya menjadi
pemain penting di dalamnya.
Benih Kekhawatiran
Namun,
ada semacam pesimisme dari prediktor itu jika kami tak mendapat tempat dalam
ruang kreativitas, politik, dan pendidikan. Sebab kami ini langgas. Kekebasan
dan fleksibilitas kami akan menjadi bumerang manakala tak terfasilitasi
dengan baik.
Bukan.
Bukan karena kami akan menjadi pemberontak. Tapi, justru sebaliknya, kami
apatis dan tak punya modal apa-apa. Apa yang dapat kami lakukan kalau sudah
memang sifat dasarnya telanjur tidak peduli? Apa pula yang bisa kami beri
kalau tak punya modal? Kami lebih senang dengan budaya kongkow, chatting, dan
narsisme di medsos. Seperti kata para pengamat itu.
Sementara,
generasi lama kian bikin kami menjadi cuek karena muak dengan kondisi yang
ada. Belum lagi lapangan kerja dan ruang ekspresi yang minim ini bikin kami
tak punya ruang untuk berkembang. Maka silakan khawatirkan kami di sektor ini
saja. Perkara rumah, kuota internet, dan gajet biar kami yang saja pilih
sendiri.
Aplikasi
media sosial Yogrt sempat melakukan survei yang hasilnya cukup menarik. Anak
muda milenial disebut lebih senang bicara soal musik dan film. Di angka 45%
dan 30% tepatnya. Sementara, bicara politik cuma 9% saja. Apalagi bahas tentang
dunia literasi, kami terdampar di angka 7%.
Bukan
apa-apa, harga buku di negeri ini mahal. Belum lagi fasilitas
infrastrukturnya juga minim, dan pastinya juga tak asyik untuk dijadikan
tempat nongkrong. Saat bicara politik pun kami seolah sedang membicarakan
grup dagelan yang garing. Jadi untuk apa bahas buku dan politik? Mending
bahas musik, band indie, game online, bola, atau film-film yang akan tayang
di bioskop Sabtu depan. Kalaupun tak ada uang kami download saja secara
baik-baik di internet.
Virtual Aktivism
Jelang
tahun politik di 2019, Charta Politika memetakan suara milenial di kisaran
47-50% suara pemilih. Ini artinya separuh arah politik negeri ini kami yang
pegang. Pertarungan opini publik juga akan bermain di kandang milenial. Ada
81,7% pengguna Facebook, di WhatsApp menyentuh angka 70,3%, dan di medsos
yang paling seru sedunia, Instagram, mencapai 54,7%. Penetrasi internet
milenial lebih dari 75%. Dari total pengguna 132,7 juta pengguna aktif, kami
kuasai 42,8%-nya.
Angka
ini menyiratkan bahwa milenial akan menjadi opinion maker yang berpengaruh
pada pikiran publik. Potensi revolusi via internet bukan tidak mungkin
terjadi. Seperti yang pernah terjadi di Mesir, Tunisia, atau di Hong Kong.
Setidaknya milenial akan menjadi generasi yang kritis, anti-hoax, dan
selektif dalam menerima informasi.
Tak
melulu soal internet, di lapangan, milenial merupakan generasi terdidik dan
kritis. Terlebih saat ini arus religiusitas milenial dinilai lebih semakin
naik. Kondisi ini memicu identical awareness di kalangan anak-anak muda. Ini
modal kuat untuk memupus kekhawatiran kita. Dunia aktivisme milenial juga
tengah bertransformasi dalam bentuk yang bebeda. Masifnya gerakan petisi
online di change.org misalnya, gerakan sosial di kitabisa.com, atau ngoceh
politik macam saya di kolom detikcom ini juga representasi dari itu.
Selebihnya
memang kita patut mewajarkan adanya kegamangan pada generasi ini. Setidaknya
ada problem isu yang lekat dengan milenial yang saling berhadap-hadapan
antara "milenial baik" dan "milenial jahat". Pertama,
pandangan keagamaan yang mempertemukan kelompok radikalis dengan kelompok
moderat. Pandangan keagamaan bisa jadi akar konflik dan perpecahan yang
meluas jika tidak disikapi dengan serius.
Dua,
apatisme versus aktivisme. Diskursus soal ini bukan saja di lingkungan
kampus. Tapi, juga meluas ke lingkungan masyarakat yang lebih kompleks.
Individualisme dan hilangnya saraf altruisme (kepedulian) menjadi ancaman
yang berbahaya.
Ketiga,
values melawan make-over. Antara politik nilai dengan politik pencitraan,
antara ketulusan dengan cari muka. Dalam ranah politik ini masalah serius.
Terlebih saat ini politisi kita gandrung dengan "politik salon
kecantikan". Tak ada esensi, sekedar sensasi.
Keempat,
asing melawan lokalitas. Ini soal gaya hidup yang cenderung kebarat-baratan
ketimbang menjunjung nilai luhur masyarakat kita. Adat ketimuran kian luntur
seiring berkembangnya teknologi dan informasi.
Secara
sederhana, barangkali begitulah gambaran milenial saat ini. Terakhir,
akhirnya saya akan menutup tulisan ini dengan kalimat klise nan membosankan:
Milenial akan menjadi kekuatan penting di masa depan, manakala ancaman ekstra
dan intra dapat teratasi. Ruang ekspresi, ekses pendidikan, stabilitas
politik, dan perluasan lapangan kerja menjadi jalan untuk mengubah
kekhawatiran kita. Jika itu terpenuhi, maka jangan khawatirkan kami! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar