UU
MD3 dan Sesat Pikir DPR
Syamsuddin Alimsyah ; Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif
(Kopel) Indonesia
|
KORAN
SINDO, 14 Februari 2018
DPR
melalui rapat paripurna, Senin (12/2), telah mengesahkan revisi Undang-Undang
Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pengesahan UU MD3 ini
langsung memantik polemik karena dipandang penuh kontroversi. Bukan hanya
karena aksi walk out yang dilakukan Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi PPP,
melainkan juga muatan pasal-pasal dalam revisi UU tersebut dinilai pandang
akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang otoriter.
Terlihat
jelas dalam revisi tersebut semangat
untuk memosisikan DPR sebagai lembaga yang membuat tirani berhadapan dengan
konstituennya. Bagaimana anggota DPR berupaya maksimal memproteksi diri
terhadap hal-hal yang dianggap akan mengganggu atau mengancam zona nyamannya.
Meski
isi pasal tersebut menggunakan bahasa yang diperhalus, ini harus menjadi
peringatan bagi publik; bahwa hati-hati memberikan kritik dan koreksi, Anda
bisa berhadapan hukum. (baca pasal 122 huruf k). Ancaman yang ditebar melalui
pasal tersebut sangat penting disikapi secara serius oleh semua pihak yang
memiliki kepedulian terhadap isu-isu parlemen.
Entah
karena sudah lelah dikritik sehingga parlemen memutuskan membuat pasal yang
bisa dijadikan benteng agar terlindungi dari serangan kritik. Namun hal yang
pasti, DPR seolah lupa dan kurang paham bahwa selama ini yang membuat citra
lembaga terpuruk dan bahkan kepercayaan publik hilang sesungguhnya karena
ulah oknum-oknum anggota DPR sendiri yang kinerjanya buruk dan cenderung
korup.
Adalah
cara keliru dan sesat pikir apa yang dilakukan DPR dengan memberi kewenangan
kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum bagi
pengkritik sebagaimana diatur dalam pasal 122 huruf k. Di pasal ini diatur
bahwa DPR bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak tertentu yang dianggap
melecehkan lembaga dan anggota. MKD yang diberi wewenang untuk mengambil
langkah hukum.
Harus
diingat semangat awal pembentukan MKD sesungguhnya sebuah ikhtiar dalam upaya
maksimal mengembalikan citra DPR yang kian terpuruk. Sebagai alat kelengkapan
DPR yang bersifat tetap, MKD sesungguhnya
bekerja dalam rangka untuk memantau, mengawasi, dan memastikan semua anggota
termasuk pimpinan DPR dalam bekerja tidak korup, menjunjung tinggi norma,
nilai-nilai etik dalam masyarakat yang diterjemahkan dalam Kode Etik DPR.
MKD
memastikan tidak boleh ada anggota DPR yang malas berkantor. tapi rajin
terima gaji. Tidak boleh ada anggota DPR yang faktanya menerima dana reses,
namun tidak melaksanakan kegiatan reses.
Semua
itu masuk wilayah pengawasan MKD, termasuk bertanggung jawab memastikan para anggota DPR tidak terlibat
dalam praktik perjudian dan asusila. Mengapa? Sekali lagi, karena orang-orang
yang masuk dalam MKD diberikan gaji khusus dengan uang rakyat agar bekerja
maksimal menjaga marwah DPR.
Hal
yang ironi adalah muatan pengaturan dalam pasal 73, yakni kewenangan DPR bisa
melakukan pemanggilan paksa, bahkan hak sandera bagi siapa saja yang tidak
memenuhi undangan DPR untuk memberi keterangan. Bahkan hak sandera ini
dilakukan dengan bantuan polisi. DPR seolah ingin mempertegas jati diri
sebagai lembaga pengawas superbodi.
Fakta
lain, semangat otoriter juga tercermin dari pasal yang dibuat untuk
memproteksi diri/lembaga. Hal ini terkait dengan mekanisme yang mengatur
bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR
harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD (pasal
245).
Publik
perlu tahu, orang-orang yang duduk di MKD adalah anggota DPR yang sekarang
ini jumlahnya 17 orang merupakan representasi dari fraksi-fraksi di DPR.
Karena wakil-wakil fraksi, maka tentu tidak mudah bagi MKD bisa bekerja objektif dan
memperlancar proses hukum yang menimpa seorang anggota DPR.
Bukankah
selama ini cukup banyak kasus pelanggaran etik yang melibatkan anggota DPR
namun kurang mendapat respons dari MKD. Mengapa demikian? Karena MKD segan berlakon "jeruk makan
jeruk".
MKD
seharusnya tidak dilibatkan dalam mekanisme penegakan hukum. DPR harus mampu
membedakan secara tegas wilayah kerja MKD dengan lembaga penegak hukum murni.
MKD jelas bekerja di wilayah etik, menjaga agar anggota DPR aktif bekerja dan
menjaga diri agar tidak melanggar Tata
Tertib dan Kode Etik. MKD mandat utamanya adalah menjaga marwah DPR sebagai
lembaga terhormat, berbeda dengan penegak hukum murni yang menjalankan tugas
menangani pelanggaran hukum seperti korupsi
Nah
, apa yang terjadi dengan revisi UU MD3 tersebut akan menjadi titik balik
bagi perjalanan demokrasi di Indonesia, bahkan dikhawatirkan akan kembali ke
masa gelap bila tidak segera disikapi. DPR yang sejatinya adalah lembaga
representasi rakyat dan akan menjadi aktor utama penjaga kualitas demokrasi
kini seolah berbalik menjadi monster
menakutkan. DPR akan bekerja dengan powerfull tanpa kontrol politik yang
berarti.
Catatan Kopel
Berdasarkan
catatan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, proses revisi UU MD3 sesungguhnya bukanlah aspirasi publik secara luas,
bahkan tidak masuk kategori yang mendesak meski diakui di sana-sini terdapat
kekurangan. Bila merujuk data Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak
2014 hingga sekarang, cukup banyak agenda pembentukan UU yang tertunda tanpa
alasan yang jelas.
Tahun
2015, misalnya, DPR hanya berhasil menetapkan 3 dari 40 yang direncanakan di
Prolegnas. Pada 2016, dari 50 yang direncanakan di Prolegnas hanya 9 UU yang
berhasil ditetapkan.
Salah
satu agenda yang sudah lama mengalami penundaan tanpa alasan jelas adalah
revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal, UU ini sejatinya akan menjadi payung hukum pengangkatan tenaga
honorer menjadi CPNS.
Nuansanya
sungguh berbeda dengan agenda
revisi UU MD3, yang prosesnya
berlangsung sangat cepat seolah tanpa hambatan. Meski tanpa kajian mendalam,
agenda revisi UU MD3 sudah resmi masuk daftar prioritas Prolegnas 2017 pada sidang
paripurna, 15 Desember 2017.
Sempat
redup beberapa saat ketika situasi
politik saat itu karena mencuatnya
kasus dugaan korupsi e-KTP yang menyeret nama sebagian pimpinan dan anggota DPR. Namun
tak disangka, kemudian bergulir cepat dan akhirnya ditetapkan menjadi
UU.
Tentu
saja ada banyak faktor yang mempermulus agenda ini. Argumentasi yang paling
kuat adalah kehadiran UU MD3 berkaitan
langsung dengan hajat hidup para politisi yang sehari-harinya berkantor di
Senayan, baik sebagai anggota DPR,
anggota DPD, tidak terkecuali di MPR.
Masih
dalam catatan Kopel, semangat revisi UU MD3 seolah dominan hanya
diperuntukkan untuk memenuhi dua hal. Pertama, nafsu kuasa bagi partai yang
secara kebetulan tidak kebagian jatah pimpinan karena kalah dalam pertarungan
pemilihan kursi pimpinan yang dimotori solidnya koalisi Merah Putih pada
2014.
Data
ini setidaknya terkonfirmasi dari berbagai ragam komentar yang dibangun
fraksi-fraksi di DPR di tahun 2016 lalu yang seolah sepakat revisi dilakukan
hanya untuk penambahan kursi pimpinan di DPR dan MPR. Seharusnya
mereka paham betul apa yang terjadi merupakan risiko atas mekanisme pemilihan
yang mereka sepakati sendiri melalui
UU MD3 dan tata tertib pemilihan pimpinan.
Bagi
penulis, dengan revisi ini dipastikan berimplikasi pada penambahan beban anggaran
yang cukup besar dan akan terus
berkelanjutan. Ingat seorang pimpinan DPR dan MPR akan mendapatkan fasilitas
gaji, rumah kedinasan, kendaraan, pengawal keamanan, staf pribadi, dan
sebagainya yang berkaitan keprotokoleran dalam sebulan saja bisa menghabiskan
miliaran rupiah.
Kedua,
kuat dugaan, agenda terselubung oleh mereka yang selama ini berada dalam zona
nyaman mulai terganggu, merasa terusik bahkan terancam atas kuatnya pantauan
publik. Melalui momen revisi ini, lembaga DPR dibuatnya menjadi lembaga yang
tidak mudah dikontrol oleh siapa saja. Caranya tentu dengan melakukan atas
revisi pasal-pasal yang dipandang merugikan, sekaligus mengubah atau menambah
pasal yang membuatnya bisa berlaku superpower dan secara nyata melawan
semangat demokrasi.
Bagi
penulis, revisi UU MD3 bukanlah sesuatu yang haram sifatnya. Kapan saja boleh
dilakukan asalkan semangatnya dipastikan untuk kepentingan publik. Tentu
syaratnya adalah harus melalui kajian yang mendalam. Tidak karena atas dasar
tiba masa tiba akal, apalagi karena ada muatan tertentu yang berkaitan
kepentingan pribadi dan golongan.
Disadari
apa yang ada dalam muatan UU MD3 selama ini gagal mewujudkan parlemen yang
amanah. Atau setidaknya UU MD3 selama ini dipandang gagal dalam mengawal
anggota untuk tidak korup.
Itulah
sebabnya, penulis sesungguhnya sempat menaruh harapan sekiranya proses revisi
kemarin betul-betul dilakukan secara maksimal agar memberi makna bagi publik.
MD3 harus didesain mampu menjawab problem utama yang dihadapi lembaga parlemen
sekarang ini, yakni dari lembaga terkorup menjadi lembaga negara yang
terhormat.
Bahkan
UU MD3 sejatinya didesain menjadikan lembaga parlemen sebagai pelopor anti
korupsi. Caranya, tentu dengan menghapus, menghilangkan, merevisi pasal-pasal
yang memberi peluang anggota DPR untuk berprilaku. Wallahu A"lam Bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar