Menanti
Pengakuan Bahasa Indonesia
Ragam
Whatsapp
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
06 Februari
2018
"Bu
q Tony mahasiswi ibu ibu ke kampus jam berapa luang jm brp qtunggu untuk
bimbingan kasitau kalo sudah sampe bls cepat qharus segera pergi nih
tq."
Jenis-jenis
pesan Whatsapp semacam itu sering menjadi korban screenshot dan tersebar di
dunia maya. Para dosen yang menerima pesan biasanya mengeluh, disusul para
komentator yang tertawa bersama sembari menyimpulkan, "Ah, anak zaman
sekarang memang sudah nggak kenal tata krama."
Kesimpulan
gegabah itu akan lebih nikmat lagi manakala ditambahkan bahwa segalanya
terjadi akibat hilangnya Penataran P4 dan pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila. Wow.
Nah,
betulkah problemnya adalah problem etika, alias anak jaman old lebih paham
tata krama dan anak jaman now tidak?
Sebelum
masuk ke situ, mestinya kita lebih jeli dulu dalam memetakan psikologi anak
generasi milenial. Mereka dibesarkan oleh internet, khususnya media sosial.
Medsos mengaburkan batas-batas hierarki, dan melahirkan karakter komunikasi
yang lebih terbebas dari sekat-sekat kecanggungan. Karakter komunikasi itu
melekat dalam karakter pribadi-pribadi mereka, terbawa ke pembawaan
keseharian. Saya rasa sudah banyak orang yang membahas itu, jadi tak perlu
saya perpanjang.
Dalam
iklim seperti itu, anak-anak muda cuma menjalani, barangkali, 30% aktivitas
tulis-menulis dalam bahasa Indonesia ragam resmi untuk tugas-tugas sekolah
dan kampus. Selebihnya, 70% apa yang ia tuliskan dalam hidup sehari-harinya
adalah pesan pendek, pesan panjang, unggahan medsos, berikut
komentar-komentar serta perdebatan di dalamnya. Bukan mustahil jika teks
Whatsapp, Telegram, Line, dan segala unggahan mereka di medsos selama satu
semester dibukukan, tebalnya tak akan kalah dengan novel Arus Balik. Eh,
mereka baca Arus Balik tidak ya?
Ini
beda jauh dengan generasi sebelumnya yang bisa jadi hampir keseluruhan
aktivitas menulisnya hanya terkait urusan bangku sekolah, sehingga bahasa
tulis yang paling mereka akrabi adalah ragam formal.
Maka,
alih-alih hanya menonjolkan keprihatinan perkara tata krama dan
ujung-ujungnya nyerempet ke moralitas, selayaknya kita juga menengok
pendidikan bahasa, khususnya materi bahasa tertulis. Sudahkah pendidikan
bahasa di sekolah menyikapi perkembangan situasi mutakhir dengan medan
kebahasaan yang sudah sama sekali berubah ini?
Sebagaimana
kita sudah hafal luar kepala, jargon dalam berbahasa Indonesia adalah
berbahasa dengan baik dan benar. Poin "baik" di situ dijelaskan
sebagai berbahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Orang beli cilok
tidak perlu memakai bahasa sebagaimana Gubernur DKI berpidato. Seorang
pembina upacara tidak pas memberikan amanat dengan gaya bahasa stand up
comedy. Dan sebagainya.
Rumus
itu tetap selalu bisa diterapkan. Namun, mestinya di masa ini aktivitas
menulis sebagai sarana berkomunikasi via gawai oleh anak-anak milenial itu
mendapat penekanan khusus untuk mewujudkan kemampuan "berbahasa yang
baik", sebanding dengan porsi kebutuhannya dalam realitas yang mereka
hadapi sehari-hari. Bukan mustahil nantinya akan muncul pengakuan atas
"bahasa tulis ragam pesan pendek", misalnya. Kenapa tidak?
Dengan
jalan demikian, pendidikan bahasa menemukan relevansi sosialnya. Ia tidak
berhenti sekadar sebagai pengetahuan, melainkan juga sebagai life skill yang
konkret, life skill yang sungguh-sungguh menjawab kebutuhan riil anak didik
dalam berbahasa. Manfaat utama dari life skill tersebut tentu saja adalah
mengoptimalkan lancarnya komunikasi tertulis dengan gawai mereka, dan
mengurangi potensi konflik yang sangat mungkin terjadi karenanya.
Ada
satu hal yang kerap tidak kita sadari, yakni kemampuan verbal seseorang tidak
selalu berbanding lurus dengan kemampuan literernya. Ini berlaku di segala
generasi. Berkali-kali saya berjumpa para penulis dengan buku-buku yang
begitu memukau, namun dalam forum diskusi kemampuan oral mereka tidak setara
dengan kedahsyatan tulisan-tulisan yang melambungkan nama mereka. Demikian
pula sebaliknya, orang yang memesona di panggung dengan ceramah mereka tak
jarang amburadul tulisannya.
Kemampuan
verbal tidak selalu sebanding dengan kemampuan menulis, kemampuan menulis
tidak selalu bisa menjadi cerminan kemampuan lisan, dan satu lagi: kemampuan
menulis tidak selalu bisa kita jadikan acuan untuk mengukur keterampilan
seseorang dalam urusan kesopanan.
Di
zaman SMS, saya pun tidak cuma satu-dua kali menjumpai kasus yang kira-kira
menunjukkan gejala pola serupa.
Pernah
suatu ketika saya menjadi panitia sebuah seminar. Lalu seorang aktivis pers
mahasiswa berkirim pesan pendek ke ponsel pisang saya. Bunyinya: "Mas
tolong sampaikan tujuan dari acara seminar tadi!!! Apa yang melatarbelakangi
Anda memilih tema tersebut!!! Saya tunggu jawabannya!!!"
Di
lain waktu, ketika bekerja di sebuah rumah penerbitan, saya membuka
penerimaan karyawan untuk pos pemeriksa aksara. Kemudian datanglah sebuah
pesan: "Pak tolong terangkan maksudnya pemeriksa acara!! Karena saya
belum begitu jelas!!!"
Pesan-pesan
pendek itu sebenarnya hanya bermasalah pada penggunaan tanda seru yang
berlebihan. Secara naluriah, kesan yang muncul seketika di kepala saya adalah
kedua anak itu berambut cepak, berdiri tegak, dan membentak-bentak saya.
Padahal dari maksud mereka—yang sesungguhnya mudah saja kita pahami, mereka
berada pada posisi yang sangat membutuhkan saya. Artinya, betulkah mereka
mengetik seperti itu karena minimnya tata krama?
Saya
yakin bukan itu yang terjadi. Andai saya berjumpa langsung dengan mereka pun
(sayangnya tidak), saya percaya mereka tidak melotot di depan muka saya,
apalagi sampai menyuruh saya push up 50 kali atau lari keliling lapangan.
Mereka akan datang sebagaimana seorang mahasiswa wartawan kampus yang
malu-malu, juga seorang pelamar kerja yang berwajah memelas. Mereka tahu tata
krama, mereka bisa menerapkan etiket saat berjumpa langsung dengan orang
lain. Malangnya, mereka kurang cukup terampil mengaplikasikan konsep
unggah-ungguh itu secara tertulis. Itu saja masalahnya.
Rasanya,
itu juga yang terjadi pada masa kejayaan Whatsapp ini. Belum tentu mahasiswa
yang mengetik pesan pendek ke dosen-dosen mereka itu dari jenis yang sama
dengan anak sekolah pencekik guru di Sampang kemarin itu. Jika bertemu
langsung, sangat mungkin para pengirim Whatsapp itu sebenarnya baik-baik
saja. Cuma, bisa jadi mereka membutuhkan sentuhan lebih dari guru bahasa
Indonesia mereka tentang betapa pentingnya menuliskan titik dan koma yang
benar pada percakapan semi-verbal di pesan pendek, apa makna tersirat dari
hujan lebat tanda seru, bagaimana mengucapkan maaf dan terima kasih yang
cocok untuk ragam tertulis nonformal, dan sebagainya.
Oh,
ya. Di zaman pra-ponsel, saya sendiri merasa cukup terampil berbahasa tulis.
Saya pernah menulis sebuah pesan di balik kertas ujian saya, saya tujukan
kepada dosen mata kuliah Kewiraan yang seorang purnawirawan Letnan Kolonel
itu.
"Pak,
dua tahun yang lalu saya mengambil mata kuliah ini, dan dapat C. Tahun lalu
saya mengambilnya lagi, dan dapat D. Semester pendek berikutnya saya kembali
mengambilnya, dan dapat C lagi. Sekarang, saya mohon kebijaksanaan Bapak.
Terima kasih."
Pesan
tertulis itu cukup sopan. Untuk ukuran dosen-dosen jaman now pun, saya rasa
bahasa pesan saya itu sudah memenuhi aturan tata krama. Tidak ada kalimat
kurang ajar dengan nada memerintah, tidak ada tanda seru banyak, dan tidak
ada singkatan-singkatan kata yang asal-asalan.
Meskipun
begitu, toh terbukti bahasa tertulis yang halus dan lembut tidak selalu
dianggap sebagai jaminan sopan santun dan tata krama. Buktinya jelas sekali:
nilai Kewiraan saya akhirnya malah tidak keluar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar