Sumbangsih
Habibie untuk Peradaban
Fachry Ali ; Cendekiawan Muslim
|
REPUBLIKA,
15 Februari
2018
Dalam
membaca secara cepat buku Mr Clark dari
Parepare, mata penulis tertumbuk pada Bab 7, ’’N-250 Menghilang, R-80
Terbilang”. Bab ini mendeskripsikan proses pembuatan dan peluncuran pesawat
rancangan Habibie pada 10 Agustus 1995. Peluncuran pesawat itu adalah event
yang menyumbangkan titik kesadaran mendalam penulis atas eksistensi Habibie.
Sambil
meneteskan air mata, kepada kawan yunior, Prof Dr Bahtiar Effendy, penulis
berkata, “Saya melihat yang terbang mengapung di udara itu bukan pesawat,
melainkan ‘Islam’.” Dalam bab 7 ini, penulis menemukan perasaan terharu itu
bukan milik penulis semata.
Pasangan
suami istri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Sutrisno serta ribuan
awak IPTN berkombinasi dengan jutaan pemirsa televisi pada saat yang sama
ikut terharu. Jadi keharuan penulis di rumah, di depan televisi, menjalar dan
menyatu dengan jutaan lainnya.
Namun,
apa arti “Islam” di sini? Jawaban umumnya, mungkin event itu merefleksikan
peristiwa “antropologis” di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
representasi dunia modern, menyatu dengan dunia agama. Makmur Makka, penulis
buku Mr Clark dari Parepare yang diterbitkan
Penerbit Republika (2018), mendeskripsikannya. Ia menceritakan, sehari
sebelum terbang perdana, karyawan IPTN yang Muslim, berdoa bersama di Masjid
Habibur Rahman, di kompleks IPTN.
Sekitar
7.000 jamaah memadati ruang berukuran 50 x 50 meter. Mereka shalat Isya
berjamaah, dilanjutkan pemanjatan doa bersama yang dipimpin Ketua MUI Jabar,
KH Totoh Abdul Fatah. Jamaah yang hadir seperti sedang mengikuti shalat Id.
Mereka
mengenakan pakaian terbaik, batik dan jas. Ada di antara mereka bahkan
mengajak anak-anaknya. ‘’Dengan doa kita malam ini dan juga doa rakyat
Indonesia, insya Allah, masa depan bangsa menjadi cerah,’’ kata BJ Habibie di
depan jamaah.
Di
sini, kita melihat agama, yaitu “Islam”, telah “dianggap” kekuatan tersendiri
dalam “membantu” keberhasilan kinerja iptek. Anggapan ini, seperti terlihat
pada paragraf di atas, juga dimiliki Habibie, sang ilmuwan dan teknolog
terkemuka dunia.
Namun,
agama “Islam” yang terbawa ke dalam event proses peluncuran pesawat N-250,
lebih bersifat suportif dan “penyerahan” diri. Dengan kehadiran jamaah yang
begitu besar, event ini sulit kita katakan hanya memenuhi kewajiban. Ada
unsur “kesukarelaan”.
Di
atas itu, ada pengharapan “di luar dunia teknikal” atas keberhasilan
eksperimen iptek, peluncuran penerbangan N-250. Apa yang bisa kita catat dari
fenomena ini?
Dengan
metode berpikir antropologis seperti dikembangkan antropolog Perancis Claude
Levie-Strauss tentang “totemisme”, kita bisa mencerna pantulan balik karya
iptek seperti pesawat N-250 ke dalam penghayatan keagamaan.
Coba
perhatikan pernyataan Levi-Strauss, ’’Pertama-tama, totemisme adalah pantulan
dari luar alam kita sendiri, seakan-akan melalui sejenis upacara pembebasan
diri dari roh jahat, tindak-tanduk alami yang tak sejalan dengan krisis yang
dilahirkan ketidaksinambungan antara manusia dan alam.’’ Ini bersambung
dengan pernyataan antropolog Roger Poole, betapa pun tersembunyinya pikiran
dalam diri manusia, jejaknya tetap bisa ditemui.
“Krisis”
atau exigency yang lahir dari ketaksinambungan antara alam dan manusia yang
dinyatakan Levi-Strauss di atas identik dengan kegalauan berbagai pihak yang
terlibat pembuatan dan peluncuran pesawat N-250. Absennya kemampuan iptek
dalam memprediksi esok hari adalah wujud krisis tersebut. Itulah yang
dikompensasi dengan ritual keagamaan.
Maka
itu, tingkah-laku “istimewa” para pengunjung di masjid IPTN satu malam
sebelum peluncuran pesawat N-250 adalah sebuah teks, dalam versi Poole di
atas, yang memungkinkan kita membaca pikiran para pengunjung di masjid IPTN
malam itu. Upacara keagamaan yang berlangsung khusus pada malam itu bukanlah
sesuatu yang biasa. Melainkan, betapa pun tersembunyi, adalah refleksi
pemikiran jamaah, yang mengharapkan bantuan kekuatan supranatural untuk
keberhasilan eksperimen iptek itu.
Dalam
arti kata lain, melalui karya ipteknya, Habibie mempertautkan dunia modern
dengan agama “Islam”. Bukan saja iptek tak bertentangan, melainkan juga agama
dijadikan supporting element bagi kinerja iptek. Ini mengingatkan penulis
pada konsep ie yang diperkenalkan antropolog Jepang, Nakane. Secara harfiah,
kata ie di dalam bahasa Jepang adalah keluarga.
Namun,
dalam konteks sejarah dan sosiologis, ie adalah sistem keluarga yang menjadi
pedoman kaum feodal Jepang pada masa lalu. Keanggotaan dalam ie bukan
ditentukan garis darah, melainkan kesamaan lapangan dan tempat kerja.
Kesetiaan
anggota terhadap ie-nya inilah yang menjadi landasan struktur sosial Jepang
dalam menerima modernisasi. Lembaga tradisional ini secara fungsional
bertransformasi menjadi unit-unit usaha modern, seperti Toyota, Mistsubishi,
dan Panasonic.
Walau
sedikit agak “dipaksakan”, peleburan “antropologis” antara agama “Islam” dan
iptek yang terjadi melalui karya Habibie, yaitu N-250, itu menunjukkan
fenomena sama dengan dukungan sistem dan lembaga tradisional Jepang atas
perkembangan modernisasi. Bisalah disebut “peleburan antropologis” ini
merupakan sumbangan Habibie bagi peradaban yang berarti bagi bangsa
Indonesia, ketika peristiwa iptek mendapatkan “pengesahan” agama.
Lalu,
apa arti pesawat yang mengapung terlihat sebagai “Islam” yang mengudara,
seperti pernyataan penulis kepada Prof Dr Bahtiar Effendy di atas? Pada
Agustus 1995 itu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) baru berumur
setengah dasawarsa. Kemunculannya pada 1990, membelah “kekuatan politik”
nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler.
Walau
penulis tak suka dengan frasa ini, penggolongan bersifat dikotomis ini bisa
memberikan kita pegangan untuk melihat arti keberhasilan peluncuran N-250
dalam konteks “politik budaya” kala itu.
Nasionalisme
sekuler berakar dari elite kaum inteligensia didikan Barat yang bukan saja
berhasil merumuskan konsep negara-bangsa Indonesia yang terlepas dari penjajahan,
melainkan juga mengabdikan diri dalam perjuangan merealisasikannya.
Gagasan
mereka, terciptanya negara-bangsa bersifat sekuler, di samping mewadahi
pluralisme, peranan agama tak boleh diformalkan. Karena pada mulanya Presiden
Soeharto, sejak 1967, memperlihatkan kecenderungan pemikiran yang sama, maka
sampai akhir 1980-an, akomodasi politik terhadap kalangan nasionalisme
sekuler berlangsung besar-besaran ke dalam sistem politik negara.
Namun,
pada akhir 1980-an dan awal 1990-an politik budaya Presiden Soeharto berubah
kepada “Islam”. Indikasi paling mencolok adalah dukungan politiknya pada
pendirian ICMI pada 1990. Perubahan inilah yang memunculkan kembali kekuatan
politik nasionalisme Islam.
Kendatipun
demikian, walau sekadar ─mengutip frasa yang pernah penulis buat─ “akomodasi
nonpolitik”, kemunculan kekuatan politik Islam nasionalis awal 1990-an ini
menimbulkan reaksi kaum nasionalis sekuler.
Inilah
yang menyebabkan pembelahan politik nasional. Dalam keterbelahan politik ini,
Habibie tampil memberi “isi” atas kebangkitan kelompok nasionalis Islam
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini, tentu berbeda dengan gambaran
kelompok “Islam” masa lalu yang ditandai keterbelakangan sosial-ekonomi,
terlebih dalam iptek. Dalam konteks inilah penulis menghayati melesatnya
N-250 bukan sekadar benda yang terbang melainkan “Islam”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar