Pidana
Zina, Mengapa Takut?
Adian Husaini ; Pendiri Pesantren for The Study of Islamic
Thought and Civilization/PRISTAC
|
REPUBLIKA,
15 Februari
2018
Menyusul
keluarnya draf revisi RUUKUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan, edisi 6-12
Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul "Rancangan KUHP: Kitab
Yang Semakin Menakutkan". Pada pekan yang sama, majalah mingguan lainnya
memuat sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan zina
diatur dalam KUHP. Menurut mereka, zina itu masalah pribadi.
Majalah
mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal zina dalam RUUKUHP tahun 2003
tersebut, "Jeratan Buat Para Pezina". Tulis majalah ini:
"Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang
pribadi. Aroma hukum Islam, minus sanksi."
Ada
sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, Pasal 419,
yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a) Laki-laki
yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan
yang bukan istrinya. (b) Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya.
(c)
Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan
perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki, pada hal diketahui laki-laki tersebut berada
dalam ikatan perkawinan.
Sementara
Pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: "Laki-laki dan perempuan yang
masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan
karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan
penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750
ribu)."
Entah
mengapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini tahun 2018, kembali
muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal
perzinaan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes.
Logika
bahwa soal-soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak
pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari bahwa saat ini,
begitu banyak masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba,
meskipun mengonsumsi untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap
ditangkap dan diadili. Mereka pun tak protes ketika dipaksa mengenakan helm
atau sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan bermotor. Tidak ada
argumentasi bahwa itu soal privat.
Musuh agama
Dalam
Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum
yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu
muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk
negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri".
(HR Thabrani dan Al Hakim).
Dalam
tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan
super berat. Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati,
dan bahkan beberapa jenis perzinaan dijatuhi sanksi hukuman bakar
hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22,
menyebutkan:
"(20)
Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada
si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah
ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu,
sehingga mati sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya.
Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
(22)
Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka
haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan
itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu
dari antara orang Israel." (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab
Indonesia tahun 2000).
Dalam
Kitab Imamat (Leviticus) 20:8- 15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan
zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus dihukum
mati, termasuk binatangnya. "Bila seorang laki-laki berkelamin dengan
seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itu pun harus kamu
bunuh juga." (ayat 15).
Jadi,
menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah Alquran.
Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini.
Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok
tertentu.
Misalnya,
Pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan
pidana. Pasal 488 menyatakan bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami
istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun
atau pidana denda paling banyak ketegori II.
Alasan
penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu "beraroma hukum
Islam". Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum
perempuan, anak, dan remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar
orang-orang yang perkawinannya tidak tercatat oleh negara dengan berbagai
alasan.
Kekhawatiran
kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak secara terbuka
mendukung perzinaan. Mereka tidak secara tegas menya takan bahwa berzina merupakan
hak asasi manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka. Sebaliknya,
yang me midanakan zina dituduh sebagai pelanggar HAM.
Pandangan
bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan maksiat,
durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk
bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh
Prof. Syed Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified?
(Tuhan dijadikan sebagai manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja
hawa nafsu, manusia sampai berani melawan Tuhan.
LGBT dan Yahudi
Senin
(12/12/2018), sekelompok massa yang mengatasnamakan "Aliansi Masyarakat
Sipil" melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa menuduh
RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak
beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan. Satu spanduk berbunyi:
"LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lain nya. LGBT bukan
penyakit." Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: "Kami
menolak RKUHP. Tidak sesuai HAM."
Para
pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan
penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik
seks sejenis. Jargon "persamaan" dan "kesetaraan"
digunakan para pendu kung LGBT di berbagai negara. Dengan jargon
"equal", pendukung LGBT di Irlan dia yang mayoritas Katolik,
akhirnya memenangkan referendum.
Perkawinan
LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh Vatikan.
Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim MK
agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS).
Pada 26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis,
mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya.
Perjalanan
legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat
cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang
mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama
kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis
(https://www.cathedral.org/press/PR- 60QF1-3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun
baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan perkawinan sejenis.
Apa
yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di
AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
Muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup
religius. Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of
Values and Religious Views in the United States (California: Regal Books,
1991), memberikan gambaran tingkat religiositas rakyat AS yang masih lumayan.
Terhadap
pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup
anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju".
Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah
"bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan:
"We are a Christian people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah
Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian
Nation." (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to
Ameri ca's National Identity (New York: Si mon&Schuster, 2004).
Bagaimana
bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis?
Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan
pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi
bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah
berita berjudul "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes".
Dikatakan, bahwa, "Vice Presi dent Joe Biden is praising Jewish leaders
for helping change American attitudes about gay marriage and other
issues."
Kajian-kajian
tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof Norman Cantor,
dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi
di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka
setara dengan kekuatan 20 persen pen duduk AS. Bahkan, Prof Cantor menulis,
"Jews were over represented in the learned professions by a factor of
five or six."
Kemampuan
dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi.
Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher,
Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish
power, it's the power of the word, the po wer of Jewish columnist and Jewish
opinion makers." (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in
America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press,
2004).
Laman
http: www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita
"US Jews among the most supportive of gay marriage". Disebutkan
bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan
dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi)
di AS. Itulah hasil survei "Pew Research Center for the People and the
Press."
Menurut
hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen
Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan se jenis, sedangkan 18
persen menentang, dan delapan persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu
jauh lebih besar dibandingkan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk
Katolik (53 persen).
Tidak
mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof Kevin McDonald, dalam bukunya The
Culture of Critique, menyimpulkan bahwa gerakan intelektual abad ke-20,- yang
sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – "have
changed European societies in fundamental ways and destroyed the confidence
of Western man."
Semoga
khafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang
benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan, dan ancaman
dalam perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis maupun lain jenis.
Yakinlah, bahwa jika penduduk satu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah,
pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar